Saat ini pukul 9 pagi. Para penduduk dibebaskan beraktivitas di dalam kastil. Sebagian mengambil peratan dan barang pribadi dari reruntuhan rumah mereka.
"Jangan salahkan diri sendiri atas semua yang terjadi, bagaimanapun ini sudah takdir.." Luke berkata datar. Dia duduk takzim sambil menyesap secangkir teh. Saat ini ia dan Amaira ada di ruang kerja.
Amaira tetap menunduk.
"Tetap saja ini salahku.." gumam Amaira. Sejak pagi wajahnya murung, sekarang lebih murung lagi.
"Ohya, apa semua yang terluka telah kau sembuhkan?" Luke mengganti topik.
Amaira hanya mengangguk, tidak berminat menjawab.
"Apa kau baik-baik saja?" Luke bertanya tiba-tiba. Mata zamrudnya menatap Amaira cemas.
"Eh..?"
"Tentu, aku baik kok." Amaira mengusap tengkuknya. Mengalihkan pandangannya, sejak kapan Luke mencemaskannya?
"Jangan salah paham," Luke berkata ketus.
"Aku hanya heran, apa Mana* mu tidak habis atau bagaimana?"
(*Mana=sihir)
Amaira mengangkat bahu." Entahlah, selain lelah. Aku tak merasakan apa-apa..."
Luke mengangguk mendengarnya, beralih membaca secarik kertas dari mejanya.
"Apa itu?" Amaira penasaran, manarik kursinya lebih dekat kearah meja.
"Tentu saja bukti-bukti kalau keluarga Skyler tak bersalah.." Luke menghela nafas.
"Apa cukup ya?" Luke terlihat cemas.
Amaira mengambil beberapa lembar, membacanya sekilas. Dahinya berkerut.
"Ini bahasa apa sih?" Amaira melihatnya, nampak seperti coretan-coretan, tersusun. Sekilas mirip dengan tulisan china-bahkan lebih rumit lagi.
"Bahasa kuno." Luke menjawab pendek." Dulu Algerion menggunakan itu sebagai bahasa persatuan, tapi karna kasus Skyler, bahasa ini seakan dilupakan. Wajar kalau kau tak tau, Algerion tak menggunakannya lagi seratus tahun terakhir." Jelas Luke.
Amaira mengangguk." Kekaisaran seakan benar-benar ingin melupakan Skylerian."
Luke mendengus." Dasar para bangsawan buta, tuli dan bisu!"
" Mereka bisa saja memberontak, membela kebenaran. Tapi yang terjadi malah sebaliknya, mereka memilih mengabaikan kebenaran--lebih memikirkan nasib mereka kedepannya. Hidup bergelimang harta, diatas kesengsaraan rakyat Skylerian." Kemarahan nampak jelas dimatanya.
"Lihat saja, setelah aku memutuskan kontrak dengan Algerion, kalian akan ngemis-ngemis di kakiku!" Desis Luke mengutuk.
Amaira menelan ludah. Merinding mendengarnya.
"Oh iya, dari mana kau mendapat bukti-bukti ini?"
Luke mengatur nafasnya, mencoba tenang.
"Ruang bawah tanah kastil."
"Sebenarnya, ini hasil penyelidikan Kakek dan Ayahku."
Amaira mengangkat wajah. "Jadi dari dulu, keluarga Skyler memang ingin melepaskan diri dari Kekaisaran?"
Luke menggeleng." Sudah dipastikan Duke Skyler sebelumnya hanya ingin membuktikan bahwa mereka tak bersalah-hanya ingin membersihkan nama. Tapi masalah keluar dari kekaisaran itu ideku sendiri."
Amaira mengangguk pelan." Atas dasar apa kau ingin melepaskan diri? Bukankah kau bisa dicap sebagai penghianat?"
"Atas dasar apa? Tentu saja harga diri. Mana mau aku kembali bergabung dengan orang-orang yang ingin menjatuhkanku?" Luke mendengus.
"Penghianat? Mereka duluan yang berhianat. Aku akan membuktikanya." Tegas Luke.
Amaira menghela nafas, sepertinya ini akan berat. Melawan kekaisaran seorang diri? Luke benar-benar tangguh--kelewat nekat.
***
Setengah jam berlalu di ruangan minim cahaya itu. Amaira sejak tadi berkeliling, kesana-kemari melihat koleksi benda-benda antik diruangan itu. Buku-buku tebal tersusun rapi, kertasnya bewarna kuning dan pudar. Belum lagi debu dan sarang laba-laba yang menghinggapi hampir seluruh ruangan.
Bergeser ke sisi lain, rak-rak berisi benda-benda antik. Seperti patung perunggu, gelas-gelas kaca juga benda-benda antik lain--yang tentu saja tertutup debu.
Mata Amaira menangkap sesuatu yang menarik. Sebuah kertas dari serat tumbuhan, tergulung diantara benda-benda antik berdebu.
"Jangan sentuh itu." Luke berseru.
Gerakan tangan Amaira terhenti. "Kenapa?" Dia bertanya heran. Benda itu terlihat biasa saja.
"Itu benda yang sangat tua, kau bisa merobeknya kalau tak hati-hati." Jelas Luke tanpa melihat Amaira. Dia sendiri sibuk dengan buku-buku yang menumpuk dimejanya. Sesekali mengambil pena dan menuliskan sesuatu diatas kertas.
"Eumm, ini nampak seperti silsilah keluarga?"
Luke terbelalak. Amaira sudah membuka gulungan serat itu, membentangkannya lebar-lebar.
"Hei..." Luke mendesis, matanya berkilat.
"Baik-baik.."
"Maaf." Amaira segera menggulung kembali kertas itu, meletakannya di tempat semula. Dasar pelit.
Amaira kembali berpindah ke rak berikutnya. Rak yang kini penuh buku-buku. Meski terlihat tua dan usang, sepertinya buku-buku di rak ini sering digunakan. Dilihat dari bersihnya buku-buku itu.
"Apalagi sekarang?" Tanya Luke. Dia menatap Amaira dengan malas. Amaira terlihat santai duduk di sofa ruang kerjanya. Sibuk membaca sebuah buku.
"Aku hanya penasaran." Tukas Amaira, tanpa menoleh.
Luke mengangkat bahu, tidak peduli. Ia lebih memilih membaca buku di depannya, kembali menulis beberapa kata penting. Setidaknya Amaira sudah diam, dan tidak berkeliaran kesana-kemari dengan seenaknya.
"Ehh?" Amaira berseru.
"Apa ini nyata?" Amaira mengangkat buku yang ia baca, menunjukannya pada Luke.
"Bisa iya, bisa tidak." Jawabnya cuek.
"Jawab yang benar.."
"Mana kutahu, itu sebatas dongeng klasik. Masalah itu benar tidaknya, aku tak tahu. Bukan aku yang menulis." Luke kembali ke kegiatannya.
Amaira mendengus. Terdiam sejenak. "Tapi waktu itu, kau memanggilku putri Altair kan?" Tanya Amaira.
"Putri Altair kan yang ada dibuku ini?"
"Seorang putri dengan sihir penyembuhan terhebat, juga baik hati. Dia menyembuhkan semua orang dari wabah mematikan yang menyerang kerajaannya." Amaira melajutkan.
"Namun dia wafat karna terlalu memaksakan diri..." Amaira menghela nafas. Kisah yang kuno dan terdengar klise, namun juga menyedihkan.
Luke mendongak, menatap Amaira. "Kau bisa tahu keseluruhan isi buku itu dalam beberapa menit saja?"
Amaira mengerdikkan bahu. "Gampang kok.."
"Insting pembaca novel..." gumam Amaira.
"Hah? Apa?" Luke bertanya penasaran.
"Bukan apa-apa, lupakan saja."
***
Angin pagi berhembus. Membuat pucuk pepohonan bergoyang-goyang. Membuat suara gemerisik yang menenangkan. Salah satu ranting bergesekan dengan jendela.
Fred yang tengah duduk di kursi kamarnya menoleh keluar jendela. Cuaca hari ini sangat cerah. Sangat cocok untuk berlatih--setidaknya itu yang ia pikirkan.
Tapi mengingat para pasukan yang baru saja kembali dari pencarian adiknya yang terbilang sia-sia, sebaiknya latihan hari ini ditiadakan.
Pandanganya kembali beralih ke buku diatas pangkuannya. Buku kemiliteran.Sesekali ia bergumam pelan, menghela nafas sesekali.Melirik jam yang tergantung, menutup bukunya lantas beranjak berdiri. Menaruh kembali buku itu kembali ke rak.
Tok tok tok
"Tuan muda,"
"Ada yang ingin menemui anda." Seorang pelayan memberitahu dari balik pintu kamarnya."Siapa?" Fred bertanya datar.
"Sa-saya tidak tahu tuan. Dia menunggu di taman." Ucap pelayan itu gugup.
Fred tak pernah sekalipun membiarkan para pelayan masuk kedalam kamarnya. Jika berpakaianpun Fred lebih memilih melakukannya sendiri. Kebiasaan ini dilakukannya sejak ibunya meninggal.
"Baiklah, minta dia menunggu." Ucap Fred lagi.Pelayan dibalik pintu segera mengangguk, pergi dengan tergesa-gesa.
***
"Ternyata kau." Fred menghela nafas begitu sampai di gazebo taman.
"Jack Ashter.""Haha, selamat pagi Fred." Jack menyapa ramah. Dia baru pertama kali masuk ke kediaman Ravens, wajar saja pelayan tadi tak mengenalinya.
"Ada apa kau kesini?" Tanya Fred tanpa basa-basi.
Jack menghela nafas." Setidaknya tawarkan aku minuman kek.. atau menyambutku? Aku kan tamu mu."
"Siapa suruh kau datang tiba-tiba," Fred bersidekap. "Kau tamu tak diundang tahu."
"Baiklah, maafkan aku karna datang tiba-tiba," Jack menghela nafas. Basa-basi dengan Fred tak ada gunanya--pikir Jack.
"Ada hal yang ingin ku tanyakan."***
Maaf banget baru bisa update sekarang🙏
Janlup vomment:)
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Sang Antagonis
FantasyApa?! Aku jadi Antagonis ? Its okay, aku tinggal merubah alurnya kan? *** Bukankah hal yang wajar kalau sang Antagonis dalam novel memiliki ending yang buruk? Atau tragis? Sama seperti Amaira , sang Antagonis dalam novel berjudul 'Red lily'. Dikisa...