57

3.2K 297 2
                                    

Amaira bersama Kaila segera keluar dari kamar, dengan niat pergi ke taman timur. Baru beberapa langkah Amaira berjalan, dia langsung berhenti, segera berbelok, memasuki ruangan yang tepat berada di samping kamarnya.
Ruangan yang dulunya gudang penuh debu dan sarang laba-laba kini tersulap menjadi perpustaakan yang nyaman. Rak-rak penuh buku terjejer, puluhan jumlahnya, tersusun menjadi beberapa kategori, tertata rapi dan bersih. Ruangan itu setidaknya memiliki ukuran hampir sama dengan kamarnya, dengan meja belajar di tengahnya juga jendela yang terbuka di dinding timur.
Amaira menelisik buku-buku itu, tersenyum lebar. Koleksi buku itu lengkap dan terbaru. Sebelum Amaira benar-benar lupa waktu, Kaila segera mengingatkannya, segera pergi keluar perpustakaan pribadi itu.

***

"Wuah!" Amaira berseru tak berkedip, matanya melebar. Begitu ia melihat keadaan taman timurnya, yang kini sedikit berubah. Taman yang dulunya indah, kini lebih indah lagi. Dengan kolam air mancur, gazebo dan beberapa bangku yang di tambahkan disana.

Angin berhembus pelan, sedikit panas dan kering. Amaira merapikan rambutnya, menghela nafas, pandangannya langsung tertuju pada semak-semak yang tumbuh tak jauh dari sana. Matanya memicing, seseorang-tidak-sepertinya dua, sedang mengawasinya dari sana. Amaira, entah karna ingatannya sudah kembali, kemampuannya untuk merasakan aura seseorang meningkat tajam. Amaira kenal dua orang itu, dia segera berbalik, meminta Kaila mengantarnya ke taman tengah, mengabaikan dua penguntit itu.

Amaira kembali dibuat takjub dengan perubahan yang terjadi. Taman tengah yang notabenya taman paling luas dan megah, sekarang nampak berbeda. Bunga-bunga warna-warni itu telah diganti dengan semak hijau dan rimbun. Wilayah rumput kosong kini menjadi sebuah labirin sederhana dengan dinding-semak, tingginya hanya sepinggang. Tentu luas dan indahnya taman ini tidak bisa dibandingkan dengan taman labirin istana kekaisaran-kalian bisa berhari-hari tersesat di labirin semaknya jika sembarangan. Sesuatu di bagian lain taman tengah yang menarik perhatian Amaira adalah rumah kaca. Bangunan dengan dinding dan atap kaca itu kini berdiri megah di atas taman tengah. Rumah kaca itu berukuran 15×15 meter, penuh dengan berbagai jenis bunga dan tanaman langka. 

Di bagian tengah ruangan berbentuk kubus itu terdapat meja besar, sekaligus kursi-kursi dengan cat senada. Udara terasa sejuk disana, meski matahari tepat diatas ubun-ubun.
"Tuan meminta arsitek terkenal untuk membuat rumah kaca ini nona, sebagai tempat untuk menikmati teh bersama, menjamu tamu ataupun teman dekat." Kaila tersenyum di ujung kalimatnya.
Amaira mengangguk-angguk, kurang memperhatikan, dia lebih memilih meyapu pandangannya ke seluruh sisi rumah kaca.

"Omong-omong Kaila," Amaira teringat sesuatu. "Kamar-kamar di bagian timur untuk apa ikut dibersihkan?" Mereka sedang melanjutkan 'tour ulang' mengelilingi mansion dengan perubahannya.

"Tentu saja untuk menginap para kerabat atau tamu yang jauh, nona." Kaila menjawab dengan senang hati. Tangannya segera bergerak membuka acak sebuah ruangan. Ruangan dengan luas setengah kamar Amaira terlihat rapi, bersih dan nyaman.

"Anda tahu, meski tuan besar anak tunggal Grand duke Aaron, tapi tetap saja kakek anda memiliki beberapa saudari yang sudah melepas nama Ravensnya, mengikuti marga sang suami." Lanjut Kaila. Amaira mengangguk, sudah ia duga.

"Anda ingat Madam Roasche? Saya dengar keluarga besarnya diundang." Kaila sedikit tertawa.
"Ada apa memangnya?" Amaira jadi penasaran. Madam Roasche dulunya kakak dari kakek Amaira. Amaira tahu keluarga besarnya memang benar-benar besar. Bila dihitung, sepupunya ada lebih dari sepuluh orang di wilayah lain Algerion. Menjadi bagian keluarga bangsawan-maupun rakyat biasa yang kaya. Meski nama belakang mereka bukan Ravens, tatapi sebagian darah dari tubuh mereka adalah keturunan Ravesn. Berkat istimewa yang membuat mereka unggul dan disegani.

Kaila menggeleng, " bukan apa-apa nona, hanya saja saya teringat rumor para pekerja di dapur. Kalau salah satu sepupu anda itu tertarik dengan anda." Kaila tertawa kecil. Sedangkan wajah Amaira tertekuk, ia tau arah pembicaraan ini.
"Kudengar umurnya sepantaran dengan tuan muda Elios. Dengan wajah tampan nan gagah, ditambah reputasinya sebagai Viscount muda yang berkharisma-"

"Aku tidak tertarik." Amaira menjawab ketus. Kaila tertawa kecil, menggelengkan kepalanya.
"Saya tahu kriteria idaman anda itu setingkat dengan pangeran mahkota, ataupun seperti ksatria Jack.." Goda Kaila.
Perkataan itu tak ayal membuat Amaira memerah, dia sedikit tersinggung. Tapi hei, kenapa wajah Luke seketika muncul dalam ingatannya? Seakan standarnya itu semacam pria menyebalkan itu.
Kaila makin keras tertawa, berusaha menahan. Alangkah lucunya nonanya itu salah tingkah.

"Tapi tidak apa nona," Kaila menyanggah perkataannya barusan." Nona dan pangeran lebih cocok dari pasangan manapun."
Amaira menggeleng, tidak-tidak, dia tidak akan jatuh cinta pada Hanzel. Dia lebih menyayangi nyawanya.

"Kenapa nona?" Kaila bertanya heran, dengan wajah penasaran yang menyebalkan. "Apa ada seseorang yang sudah menggantikan posisi pangeran di hati nona?"
Amaira tersedak, menggeleng wajahnya bersemu.
"Kalau begitu, jangan-jangan orang itu adalah penyelamat anda? Tuan Duke dari utara?"

"Tidak." Amaira menjawab cepat, bergegas mendahului Kaila. "Kau ini jadi mirip pelayan di dapur Kaila." Gerutu Amaira.

Kaila tertawa, segera menyusul. Nonanya ini memang tidak bisa bohong dengan benar-atau dia memang bisa mengerti Amaira dari siapapun.
Amaira masih merajuk, berjalan cepat di depan, berusaha mengusir ingatan-ingatan seseorang. Yang terus saja berputar, juga wajah menyebalkannya.. Amaira mendengus, semakin ingin dilupakan malah semakin jelas. Senyuman menyebalkan pria itu tergambar jelas-Amaira seperti kepiting rebus. Kaila di belakangnya hanya cekikikan tertawa.

***

"Apa ayah tidak berlebihan?" Amaira menelan ludah. Mendongak ke atas. Sebuah lampu kristal besar dengan ornamen indah tergantung anggun di langit-langit aula. Bagian tengah mansion, rungan luas itu akan dijadikan tempat untuk pesta dansa acara debutnya nanti.
Kaila menggeleng, ikut mendongak melihat betapa indah dan mahalnya lampu kristal baru itu.
"Tidak ada yang terlalu bagus untuk putriku." Ucap Kaila. "Itu kata Tuan besar sewaktu menata ruangan ini."
Amaira menepuk dahi, entahlah, apa dia harus senang? Tapi hal seperti ini hanya membuang-buang uang bukan?

"Bukankah nona selalu suka hal-hal indah nan mewah?" Kaila menatap Amaira, seakan Amaira berbeda dari biasanya.

"Bu-bukan begitu, Kaila," Amaira sedikit panik. "Hanya saja, saat ini aku telah tersadar, bahwa tidak semua harus serba mewah, aku tahu betapa susahnya cari uang. Jadi setidaknya aku akan berusaha untuk menghargai ayah, untuk tidak membeli hal-hal kurang berguna." Karang Amaira sebisanya.
Kaila di sampingnya hanya tersenyum mengangguk. "Nonaku sudah dewasa rupanya." Pujinya dengan bangga.

"Hehe, tentu saja." Amaira menggaruk tengkuknya. Mulai kesulitan menghadapi kebiasaanya untuk selalu menghemat uang-bawaan saat menjadi Fenya.

Kaila tersenyum tanggung. Sejauh ini Amaira telah banyak berubah. Tapi setidaknya, perubahan itu termasuk Amaira yang terlihat lebih sering tersenyum dan tertawa. Itu tidak lebih membuat semua kecemasan Kaila hilang.

***

"Asli.." Amaira iseng menyentuh patung-patung emas yang berada di sisi-sisi dinding. Patung emas dengan tinggi hampir melebihi tinggi Amaira.
Patung-patung berbentuk malaikat itu mengkilat diterpa cahaya, terlihat menakjubkan. Tapi yang lebih menakjubkan dari itu, ialah komposisi dari patung itu sendiri. Seluruhnya adalah emas, murni dan berat. Bukan sekedar patung besi yang di cat emas. Amaira tidak kuat untuk mengangkat patung seukuran dirinya itu.


"Nona sedang apa?" Kaila menegur. Mendapati tingkah nonanya itu, yang sekarang terlihat nekat untuk mengangkat patung.
Tangan Amaira yang tadinya mulai menyala biru, kini redup kembali, Amaira salah tingkah menjauh dari sang patung.
"Bukan apa-apa." Amaira mencoba bertingkah normal, walau rasa malunya memuncak sampai ke ubun-ubun, lagi-lagi keanehannya itu di pergoki Kaila.

"Eh, apa ini Kaila?" Amaira bingung. Baru saja Kaila membawakannya setumpuk surat undangan. Dengan nama penerima yang masih kosong.
"Tentu saja undangan pesta debut anda nona." Kaila menjawab santai. "Tuan menyediakan undangan lebih untuk nona menulis dan mengundang siapapun, terserah."

"Sungguh?" Mata Amaira melebar. Kaila mengangguk mantap. "Masih ada banyak di ruang kerja Tuan besar, apa anda akan menulisnya di kamar?"

Amaira mengangguk, ide bagus, dia bisa mengundang siapapun ke pestanya.

Jam berdentang beberapa kali, jarumnya menunjukkan pukul 12 tepat, memberi tahu penghuninya waktu makan siang.

"Mari saya antar ke ruang makan nona,"
Kaila menawarkan, yang langsung ditolak Amaira.
"Tidak usah, Kaila, aku bisa sendiri. Kau antar saja undangan-undangan itu ke kamarku, sekaligus sisanya." Pinta Amaira.

"Baiklah, nona." Kaila tanpa banyak protes mengangguk. Segera meninggalkan Amaira di lorong dekat jendela, sebelah aula.

Amaira menghela nafas, sejak tadi dia kurang nyaman dengan bahasa formal Kaila, tapi mau bagaimana lagi? Dua penguntit itu masih saja mengikuti. Mungkin itu alasan Kaila berkata dan mengobrol dengan bahasa formal yang sopan.
"Mau sampai kapan kalian disana?" Amaira menatap ke arah lorong dengan dingin. Tepatnya belokan lorong di depannya itu.

"Ck, kau sih jadi ketahuan, kan?"
"Kenapa aku?"
"Ya iyalah salahmu!"

Kegaduhan terdengar sejenak, sebelum dua sosok penguntit itu menampakan rupa penuhnya.

"Kalau menguntit itu setidaknya lakukanlah dengan baik, kakak-kakakku sayang." Amaira tersenyum. Menatap dua penguntit-dua kakaknya yang tengah bingung, menggaruk kepala.

"Dia yang mulai." Elios menunjuk Fred.

"Eh, apa, kenapa aku?" Fred bertanya kesal." Kau yang mulai untuk mengikuti secara diam-diam."

"Enak saja, bukannya kakak ya? Yang mau jaga Amai, tapi pasti tidak di izinkan. Maka cara terbaik adalah mengikuti diam-diam!" Elios berseru sebal.

"Nah, kau mengaku sendiri." Fred menyeringai." Ini salahmu."

"Ck, tau begitu kenapa ikut-ikut hah?!" Elios berani menantang kakaknya.

Di sana Amaira hanya diam, menatap nanar kedua kakaknya itu. Entah mereka bodoh, atau lupa menaruh otaknya ada dimana, tapi yang pasti Amaira tidak peduli. Dia tidak marah hanya karna alasan sepele itu. Lagian dia tahu kakak-kakaknya ini khawatir dengannya.

Amaira memutuskan untuk pergi, perutnya sudah demo minta di isi.

"Amaira, mau kemana?" Elios segera menyusul, meninggalkan perdebatannya dan Fred.

"Cari asupan." Amaira menjawab pendek, datar.

"Tuh kan, Amai jadi marah, ini semua salahmu!' Elios melirik tajam Fred. Fred balik menatap adiknya.
"Bukannya terbalik, hah?" Tanyanya tajam.

"Kucing hitam!"

"Bocah pirang!"

Untuk sejenak mereka saling adu tinju di tengah lorong. Amaira tidak ada niatan untuk melerai, dia lapar, dia tidak mood untuk melakukan apapun.


***





Takdir Sang AntagonisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang