Makan malam di kediaman Ravens kali ini sedikit berbeda. Hampir seluruh kursi disana telah terisi, suasana ramai yang hangat. Obrolan ringan dengan dentingan sendok garpu yang mengiringi. Elios bersama Leonard aktif menawarkan segala keperluan pada tamu-tamunya, memastikan semuanya merasa nyaman.
"Setelah ini berkumpul di ruangan kerja ayahku," Fred berkata. Tiga orang yang duduk berjejeran di sampingnya mengangguk takzim, terus melanjutkan makan.
"Pastikan para kesatria itu menjaga mereka dengan baik, khususnya kamar tamu." Fred menyesap teh. "Pastikan mereka berjaga hingga kita kembali."Elios yang duduk di sampingnya mengangguk. "Astaga, sejak kapan aku jadi asisten-mu, hah?"
"Entahlah, Reynand belum ada kabar, dia mengambil cuti." Fred berkata, tidak peduli dengan wajah sebal adiknya. "Dia pasti sangat terpukul, semua teman-temannya itu...," Fred terdiam.
"Duh...," Elios segera mengalihkan pembicaraan, dia mulai mengoceh tentang keadaan grand duchy.
"Parah," Jack ikut berkomentar, melirik Elios. "Kau meninggalkan istrimu itu sendirian disana?"
"Mau bagaimana lagi?" Elios mengangkat bahu. "Lagipula dia bukan seorang yang penakut, apalagi lemah."
"Tapi dia akan sangat mencemaskan-mu." Jack berkata pendek, menghabiskan jus dalam gelasnya. "Ayo selesaikan ini dengan cepat," ucap Jack. Dia lebih dulu berjalan ke ruangan kerja Maverick.
"Yah, dia benar juga," Fred bangkit berdiri. "Semuanya, kami pamit." Dia menatap sejenak anak-anak itu dan juga Merisa.
Elios mengangguk dalam, "Semuanya, tolong layani mereka seperti kalian melayani keluarga Ravens." Elios menatap jajaran para pekerja dan kesatria Ravens disana. Setelah itu, Elios segera menyusul berbarengan dengan Luke dan juga tuan Robert.
***
"Sesuai perkiraan, mereka juga akan berangkat malam ini." Fred menilik ke luar jendela. Pemandangan kota besar yang saat ini sebagian telah hancur, satu jalur jalan disana nampak menyala dengan ratusan kerlap cahaya api yang terus bergerak menuju utara.
"Kalau tidak lewat jalur ke arah desa Skylerian, kita lewat negara tetangga?" Fred berbalik menoleh."Tidak bisa, terlalu jauh." Luke berkata. "Kalau seperti itu, membutuhkan waktu beberapa hari tambahan untuk sampai di Zephania. Belum lagi masalah izin masuk dan biayanya. Mereka akan curiga dengan apa yang terjadi." Luke menghela nafas sejenak.
"Meski ini masalah yang mengancam berbagai pihak, aku tidak mau negara tetangga ikut terlibat. Khususnya warga mereka, yang rentan menjadi korban karena gejolak krisis ekonomi.""Ya, jangan sampai krisis itu terjadi lagi." Tuan Robert menghela nafas. "Demi apapun, perang itu mengerikan," tukasnya.
"Aku mulai ragu dengan Hanzel," Elios ikut memandang keluar jendela. "Dia benar-benar tidak melibatkan kita, termasuk Ravens."
"Dia akan menanggung resikonya," Jack mengangkat bahu. Kedua tangannya sibuk dengan lembaran kerja milik Maverick yang tercecer. "Siapa suruh bertindak seenaknya. Emangnya cuma dia yang jadi korban?" Jack kembali mengingat kalau buku-buku berharganya itu lenyap.
"Baiklah, sesuai rencana awal," Luke mengambil gulungan peta dari rak, segera membentangkan peta lebar itu hingga memenuhi meja kerja. "Kita akan berpindah langsung menuju Skylerian--dengan portal pemindah yang ada di bawah, dan langsung menuju kastil Rion."
"Pasukan mereka mungkin akan menyambangi Skylerian," Luke memandang ke luar. "Saat itulah kesempatan kita untuk menyusup masuk dan bergabung."***
Pukul sembilan. Setelah mereka berempat selesai bersiap--dengan seragam kesatria kekaisaran dengan jubah dan senjata masing-masing. Segeralah mereka pergi menuju basement, dimana lingkaran sihir pemindahan itu berada. Ruang itu sedikit remang dengan hanya beberapa obor yang tergantung.
Perpindahan jarak jauh yang membutuhkan banyak energi sihir dan teknik yang rumit--semua teratasi dengan hadirnya beberapa penyihir Ravens yang berpengalaman, yang mudah saja memindahkan mereka berempat menuju kastil di wilayah Skylerian yang dulu."Oh iya," Jack sekali lagi menoleh ke belakang, dimana tuan Robert, Patricia, Merisa dan anak-anak itu berdiri. "Sampaikan salamku untuk bibi Kaila. Bilang padanya kalau aku akan membawa nona Amaira pulang."
Merisa, dia yang beberapa hari belakang yang ikut membantu merawat dan menemani Kaila, mengangguk dalam.
Jack segera bergabung bersama yang lainnya di atas lingkaran keramik itu. "Sampai jumpa! Do'a-kan kami, ya?" Jack melambaikan tangan ke arah adiknya. Patricia tersenyum tipis, balas melambaikan tangan.
"Kami akan kembali besok! Tunggu--yakh!" Jack merasakan sesuatu yang berat menindih jari kakinya.
"Berisik," Fred mendesis, terlihat ujung tombak yang ia bawa menindih jemari kaki Jack.
Belum sempat membalas, Jack tersentak, lingkaran keramik itu segera menyala, semakin terang dan silau. Dalam beberapa detik, hembusan angin menerpa Patricia dan lainnya , membuat mereka menutup mata, dan ketika angin itu hilang, keempat orang itu sudah lenyap.
***
Setelah matahari sempurna hilang dari ujung barat, ribuan pasukan dari istana segera melaju ke arah utara. Pasukan itu seluruhnya menggunakan kuda sebagai tunggangan, dengan satu tangan memegang obor yang menyala. Perjalanan nonstop
"Ide ini benar-benar gila...," Glen menelan ludah, memandang horor barisan pepohonan di sekitarnya. "Anda masih mau melanjutkan ini, yang mulia?" Diliriknya sang pangeran, Hanzel, dia hanya mendengus pelan, dia fokus mengendarai kudanya melewati akar-akar pohon besar yang saling berkelindan.
"Belum ada tanda-tanda kemunculan monster," Glen mendapat kode obor dari prajurit bagian depan. "Padahal sudah masuk wilayah hutan terlarang, sebentar lagi pasti padang Skylerian...," dia menatap cemas para pemuda yang ada di samping kanan-kirinya.
"Kau mengkhawatirkan apa?" Salah satu prajurit memajukan kudanya, menyejajarkan posisinya dengan Glen.
Glen menghela nafas, "Bukan apa-apa, Jo. Aku hanya sedikit khawatir dengan kalian."
Pemuda itu tertawa, menepuk punggung Glen dengan akrab. "Tidak perlu cemas, Kak. Kami pasti bisa melewatinya, apa kau ingat? Aku sudah berlatih keras untuk hari ini!" Dia melanjutkan kudanya lebih cepat.
"Akhirnya! Aku akan menjadi pahlawan!"
***
"Hmmm, menarik." Pria itu mengangguk takzim, dia menyilangkan kaki di atas singgasananya itu dengan raut angkuh. "Ayah-anak sama saja," celetuknya sembari bermain dengan gelas anggur yang ada di tangan kirinya.
"Apa harus ku musnahkan mereka semua, tuan?" Sara yang berdiri di sampingnya bertanya. "Mereka sudah masuk dalam jangkauanku. Apa perlu aku bangunkan semua penghuni hutan?"
Pria itu menenggak segelas anggur dengan santai, "Tidak perlu...," katanya pelan. "Siapkan saja semuanya di padang rumput depan." Rion tersenyum kecil. "Aku ingin kau ikut menjamu tamu kita di sini."
Sara mengangguk, "Baiklah." Tangan gadis itu bergerak, mengambil sebotol anggur dan menuangkannya pada gelas Rion.
"Astaga! Mereka mulai merusak tamanku!?" Julianne, gadis bergaun putih itu menggerutu di atas sofa miliknya. Dia sontak menatap tuannya. "Apa aku boleh bermain dengan mereka tuan?"
Rion hanya mengangguk tipis, dia kembali menenggak anggur. "Oh, bagaimana kabar pengantinku? Apa dia sudah cantik?"
"Ibu sudah meriasnya sebaik mungkin, tuan bisa mengeceknya besok." Julianne melirik Sara, dia tertawa kecil melihat Sara yang menunduk.
"Amaira itu sa-ngat cantik!" Dia melangkah pergi dari samping singgasana.
"Jangan berlebihan, sisakan juga untukku dan yang lainnya, Ann." Rion mengingatkan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Sang Antagonis
FantasyApa?! Aku jadi Antagonis ? Its okay, aku tinggal merubah alurnya kan? *** Bukankah hal yang wajar kalau sang Antagonis dalam novel memiliki ending yang buruk? Atau tragis? Sama seperti Amaira , sang Antagonis dalam novel berjudul 'Red lily'. Dikisa...