55

3.4K 330 13
                                    

"Luke?" Amaira bergegas kearah balkon, dengan langkah pelan. Amaira sudah kenal suara, dan aura pria itu. Segera menyibak tirai. Benar saja, pria berjubah dengan rambut perak itu ada disana.

"Apa yang kau lakukan disini?"

Pria tinggi itu mengerdikan bahu, "mencarimu, apalagi?"

"Tunggu," Amaira menyadari sesuatu. "Bagaimana kau bisa kesini?"

Bukankah mansion Ravens adalah tempat dengan keamanan tingkat tinggi? Wilayah ini dilindungi seorang dengan sihir perlindungan terbaik, bagaimana bisa Luke masuk?

"Emangnya kenapa?" Luke bertanya heran. "Penjagaan mansion ini begitu buruk, mudah saja aku menyelinap mas-"

"Ayah!" Amaira berseru panik. "Apa terjadi sesuatu pada ayah?!"

Amaira berbalik berlari kearah pintu.

Bruk! Sialnya kakinya lemas, itu membuatnya tersungkur di lantai. Luke bergegas membantu Amaira duduk.

"Kau mau apa sih?"

"Ayah, aku harus ke ayah!" Amaira mencoba berdiri, lagi-lagi tidak bisa. Kakinya seakan tidak bisa digerakkan.

"Hei, tenanglah, tidak terjadi apapun pada ayahmu," Luke mencoba menenangkan.

"Aku harus melihatnya langsung untuk memastikannya." Amaira bersikeras. Dia panik memikirkan nasib ayahnya, apalagi setelah melihat mimpi buruk itu.

"Haish," Luke mengusap wajah. Melihat Amaira susah payah berdiri, hingga akhirnya Luke mengangkatnya, membawanya kembali ke tempat tidur.

"Kau ini, pikirkanlah dirimu terlebih dulu!" Luke berdecak sebal.

"Tapi ayahku-"

"Dia hanya sedang pergi, tidak usah cemaskan itu." Tukas Luke cepat.

Amaira terdiam kemudian menghela nafas lega, syukulah kalau begitu. Mengingat Maverick tak pernah sedetikpun melepaskan sihir perlindungannya, itu membuatnya panik. Tapi bukankah Maverick bisa menggunakan sihirnya untuk jarak jauh, kubah sihir Maverick pasti masih ada.
Amaira menatap Luke.
'Dan orang ini bisa menembusnya?'

"Omong-omong kenapa kau bisa seperti ini?" Luke balik menatap Amaira. Bukan tatapan datar seperti biasanya, melainkan tatapan prihatin penuh rasa khawatir.

"Aku? Emangnya aku kenapa?" Amaira bingung.

"Selama sebulan ini kau tidak ada kabar, surat tak pernah dibalas dan, lihat, sekali aku jenguk malah seperti ini." Luke menghela nafas.

"Hah? Sebulan katamu?" Amaira ternganga bingung. Bagaimana bisa? Bukankah baru kemarin dia pulang dan tidur-

Amaira bergegas membuka laci, mengambil sebuah kertas dengan tanggal. Satu detik kemudian, Amaira dirundung kebingungan. Linglung. Bagaimana bisa?

"Bikin cemas saja, kukira kau sudah mati." Luke mulai usil, membuat Amaira mendengus kesal.

"Yah, kau memang seperti mayat hidup tahu, lihat." Luke menyerahkan cermin kecil, sambil tertawa.

Amaira kaget sendiri melihat wajahnya. Wajah tirus yang sangat pucat. Dengan mata sayu berkantung yang terkesan sangat mengerikan.

"Sudah kubilang kan?" Luke kembali tertawa, mengerjai Amaira.

Amaira hanya diam, dia terlalu lemas untuk memukul orang di depannya ini. Memilih untuk diam, sambil kembali melihat ingatan-ingatan Amaira yang asli..

"Hei, malah melamun, nyawamu masih belum terkumpul ya?" Luke kembali menjahilinya. Amaira segera tersadar, menggeleng.

"Apa Rion tidak bilang apapun tentang keadaanku?" Amaira bertanya.

Luke menggeleng. "Sesekali dia datang hanya sebangai tukang antar, selebihnya kami tidak ngobrol banyak. Ah, waktu itu dia hanya bilang kau sedang tidak ingin di ganggu."

"Terus? Kau percaya?" Tak disangka, Rion juga menyembunyikan banyak hal.

"Tentu tidak, Rion juga menyadarinya. Ayahmu pasti menyuruhnya untuk menutup mulut."

Amaira mengangguk paham.

"Omong-omong bagaimana kabar yang di Skylerian?" Amaira mengalihkan topik.

"Semuanya baik, hampir semua rumah sudah dibangun kembali. Semuanya kembali normal. Yah, ada beberapa yang berbeda sih," Luke mulai bercerita. Mulai dari pembangunan yang melesat cepat, hingga pertanian dan perbaikan fasilitas umum.

Amaira mengangguk-angguk. Senang rasanya mendengar pria yang hemat kata-kata ini malah ceramah. Suaranya tidak buruk juga untuk didengar.

"Apa yang berbeda?" Amaira menyahut, bertanya.

"Carina, dia aneh sejak bertemu kau. Dia lebih sering diam dan menyendiri. Beberapa kali dia juga menuliskan surat untukmu, melalui Rion."

"Bukankah itu bagus? Dia tidak lagi rese padamu kan?" Amaira menyeringai. Luke mengangguk senang, itu sisi baiknya.

"Oh iya, omong-omong terima kasih, kau sudah mengantarkan aku pulang." Amaira mencoba menatap mata pria itu. "Kemarin itu kau pergi begitu saja, aku belum sempat mengatakannya."

"Kemarin, maksudmu sebulan yang lalu? Yeah, sama-sama, aku punya alasan untuk itu. Belum saatnya untuk kakakmu melihatku."

Amaira mengangguk, astaga, otaknya seakan nge-bug. Luke tertawa melihatnya.

"Apanya yang lucu disini?" Amaira memerah ditatap Luke. Sebaliknya Luke melambaikan tangan, bukan apa-apa.

'Kau sangat lucu jika begitu.' Batin Luke menatap Amaira.

Tak lama, terdengar suara langkah kaki. Kedengarannya masih jauh, tapi seseorang itu sedang bergerak cepat kearah sini.

"Kita sudahi dulu, sampai bertemu lagi." Luke kembali mengenakan tudung jubahnya, segera menghilang setelah menutup pintu balkon.

Lengang. Hanya terdengar detik jarum jam saja. Amaira bergegas menarik selimut, masih pukul satu malam, sebaiknya ia tidur. Amaira memejamkan mata. Mulai memasuki dunia mimpi.

***

"Ukh, astaga," Maverick tiba-tiba merasakan sakit di dadanya. Leonard yang berada di dekatnya bergegas mengambilkan air.

"Sudah saya bilang sebelumnya tuan, jangan memaksakan diri, biarlah para kesatria itu menjaga rumah.." Leonard menatap Maverick prihatin.

"Bukan begitu, baru saja seseorang menembus barrierku." Ucap Maverick dengan nafas tersengal, segera menenggak air.

Leonard sedikit tercengang, "sungguh, siapa?"

Maverick menghela nafas." Siapa lagi kalau bukan bocah beruban itu?"

Leonard hampir saja tertawa, segera berdehem. "Maksud anda tuan Duke Alexander?"


"Ya, siapapun dia, berani-beraninya menyelinap ke rumahku?" Maverick terlihat geram.
"Aku tahu dia suka menyelinap, memasuki tempat-tempat baru, tapi kali ini keterlaluan." Omel Maverick.

"Tenang saja tuan, tuan Duke tidak akan melakukan apapun pada nona Amaira. Tuan khawatir pada nona ya?" Leonard tersenyum. Mengingat saat ini mereka berada di wilayah Ravens-bagian selatan ibukota.

Maverick tidak menjawab, sibuk menulis dokumen.
"Bagaimana soal obat itu?" Maverick teringat sesuatu. Kedatangannya di wilayahnya sendiri bukan cuma untuk mengatur, melainkan juga untuk menemukan obat untuk Amaira.

"Sudah seminggu, tapi para ksatria tidak menemukannya. Orang yang menjual obat itu pastilah berpindah-pindah." Leonard menghela nafas. Melirik Maverick, yang terlihat lebih menyedihkan. Yang harus bekerja siang malam, jauh dari rumah juga anaknya yang sedang sakit..

"Tenang saja tuan, nona akan bangun." Hibur sang asisten tua itu.
"Diam kau, aku sedang sibuk." Maverick tidak mau sisi lemahnya terlihat begitu saja. Segera mengusir Leonard.

Leonard hanya bisa tersenyum, mengangguk sembari menggerutu. "Mengapa semua grand duke Ravens sangat menyebalkan?"

"Hei, aku dengar itu." Maverick melirik tajam.

"Maaf tuan." Leonard terbirit keluar ruangan.

***

Beberapa menit kemudian, pintu kamar terbuka. Seorang pria dengan kemeja putih bergegas mendekati Amaira.

"Padahal tadi aku dengar sesuatu.." gumam Fred. Melihat ke sekeliling. Pandangannya terhenti pada pintu balkon.

"Kenapa pintunya tidak terkunci?" Fred bertanya-tanya dalam hati. Tirainya pun terlihat kusut, sepeti habis dibuka dan terkena angin. Suhu di ruangan inipun terasa lebih sejuk.
Seseorang kembali masuk. Elios dengan rambut masih berantakan, bergegas mengikuti kakaknya. Kamar mereka memang berdampingan.

"Ada apa, kak?" Tanya Elios.

Fred menggeleng. "Entahlah, aku tadi merasakan aura orang lain di rumah ini, selain kita."
"Apa mungkin?" Elios kurang percaya, memangnya ada yang bisa menembus sihir ayahnya?

"Mungkin saja, ayah sedang jauh dari sini. Sihirnya akan melemah. Itu sebabnya paman Leo menugaskan beberapa ksatria untuk berjaga."

Elios terdiam, benar juga. Bagaimana kalau orang itu berbuat macam-macam pada adiknya? Tapi tidak mungkin, Amaira masih sama dari kemarin-kemarin. Masih memejamkan matanya dengan damai. Andai saja mereka tahu, kalau Amaira hanya tidur biasa.

"Disaat seperti ini, lagi-lagi aku tak bisa melakukan apa-apa untuknya.." tangan Elios mengepal erat.

Hening. Yang terdengar hanya suara jarum jam yang berdetak.

"Bagaimana kalau Amaira tidak bangun juga?" Elios kembali cemas. Selama sebulan ini belum ada tanda-tanda dan perubahan yang signifikan dengan kondisi Amaira. Yang ada adiknya itu makin kurus dan pucat.

"Itu tidak akan terjadi. Semoga saja." Fred menyahut datar. Dia juga ikut cemas, apalagi setelah ia tahu kisah tentang kakeknya itu.

"Kalau saja begitu, apa Kakak dan Ayah akan menyesal?" Tanya Elios tiba-tiba.

"Diluar kemungkinan itupun, sebenarnya aku sudah sangat menyesal.." Fred terdiam diujung kalimatnya. Mengingat semua perlakuannya dulu terhadap adiknya, sungguh, jika bisa Fred ingin mengulang waktu untuk bisa membahagiakan adiknya sejak dulu..

"Kalau saja Amaira bangun saat ini, aku pasti akan mengabulkan apapun yang dia inginkan.." Fred dan Elios menghela nafas. Mereka kira itu hal yang mustahil.
Sayang sekali Amaira sedang pulas dalam tidurnya, jika tidak dia pasti akan bangun saat itu juga. Berseru pada kakaknya untuk tidak menarik kata-kata itu.
Detik jarum jam terus terdengar. Fred dan Elios memutuskan untuk menginap di kamar adiknya. Fred merebahkan diri diatas sofa, mencoba santai. Sedangkan Elios masih terduduk di samping ranjang Amaira.
Setengah jam kemudian, mereka terlelap.

***

Takdir Sang AntagonisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang