"Dibelakangmu, Carina!" Amaira berseru memperingatkan. Carina tertoleh dengan cepat, mengayunkan pedangnya. Monster tinggi itu terhuyung kebelakang.
"Jangan berisik bodoh, aku tahu!" Carina balas membentak.
Amaira menghela nafas, memilih untuk kembali melawan para monster yang berdatangan, bak air bah yang meluap. Saat ini ia, Carina juga beberapa pemuda sedang berada di sisi barat. Ini sudah tengah malam, sudah lima jam berlalu sejak komando Giffrey memerintahkan untuk berjaga disana.
"Mampus kalian bang**t!" Seru Carina sembari menusuk-nusukkan pedangnya kearah bangkai monster yang telah berhenti bergerak. Amaira menelan ludah, dia sial sekali mendapat regu bersama Carina-Si bar-bar yang toxic.
Satu setengah jam bertarung antara hidup dan mati, sekitar mereka berganti pemandangan, menjadi lautan penuh bangkai dengan darah hitam menggenang. Aroma busuk menusuk hidung, membuat siapapun mual jika tak terbiasa. Jumlah monster telah berkurang drastis, hasil jeripayah dan strategi regu mereka.
"Astaga.. sangat melelahkan." Keluh salah satu pemuda, menyeka keringat di dahinya.
"Yeah, kita beruntung masih hidup sampai sekarang." Timpal yang lain. Sebagian dari mereka duduk-duduk santai di tanah, beberapa berdiri siaga.
Pertarungan monster berakhir sejenak, memberi jeda, kesempatan untuk Amaira merawat orang yang terluka.
Terakhir tinggal Carina, yang memiliki luka sayat lumayan lebar di tangan kanannya. Amaira dengan 'setengah hati' ingin mengobati, tapi Carina menolak mentah-mentah.
"Aku tak sudi diobati oleh orang yang menyebabkan ini semua!" Carina menatap sinis penuh kebencian.
Amaira balas menatap sinis," kalau begitu yasudah, jangan salahkan aku kalau kau bisa mati karna tak bisa membela diri."
Mereka berdua saling tukar pandangan untuk sesaat sebelum suara peluit terdengar lantang di langit malam.
"Itu berasal dari bagian timur," segera para pemuda itu segera berdiri. "Itu peluit meminta bantuan, baiklah Carina kau masih bisa bertarung?"
"Tentu saja!" Jawab Carina berapi-api.
"Baiklah, Safira ikutlah ke bagian timur desa--"
"Apa!?--" Carina hendak protes, namun pemimpin regu segera mengangkat tangan, menyuruhnya diam.
"Tidak ada yang mau kudengar selain persetujuan." Ucapnya tegas.
Carina terdiam, mengangguk pelan.
Segera dua orang itu meninggalkan area barat desa, melaju dengan kuda masing-masing menuju timur, tempat dimana regu dengan Giffrey disana.
***
Kondisi disana tak begitu baik saat mereka berdua sampai. Wilayah yang berisi kebun penuh tanaman dan hasil budidaya warga-nampak porak-poranda. Tak berbentuk, sebagian hangus terbakar. Asap tebal bagai kabut memenuhi wilayah ladang pertanian itu.
Puluhan pemuda nampak tergeletak di antara tanaman-tanaman yang hangus. Segera Amaira turun dan menghampiri. Mereka tak meninggal, hanya kritis tapi sangat berbahaya jika dibiarkan.
"Kemana kak Giffrey?" Carina menoleh kesana kemari, ikut turun dari kuda.
Amaira mengaduh dalam hati, banyak sekali yang kritis, ia membutuhkan tim medis. Segera ia meniup peluit dua kali dengan nada panjang.
"Carina?" Amaira menoleh kesana kemari.
"Kemana pula dia pergi?" Amaira berdecak sebal. Mulai menyumpah serampahi gadis berambut merah itu.
Amaira segera mengumpulkan semua yang kritis dalam satu tempat berdekatan, agar Amaira bisa sekaligus mengobati semuanya. Ia sudah meminta bantuan tim medis, tapi menunggupun akan memakan waktu banyak. Amaira memutuskan untuk mencobanya, walau ia tak pernah tau ataupun berlatih, tapi selalu saja berhasil saat ia mencoba untuk pertama kalinya.
Amaira menghela nafas lega, sebab ia kembali berhasil. Mengobati puluhan orang secara bersamaan. Baiklah yang harus ia lakukan sekarang hanya mengobati mereka, sembari menunggu Carina kembali dari mencari Giffrey.
Satu jam berlalu, para pemuda itu sudah melewati masa kritis, sembuh total, namun masih pingsan akibat asap yang terlalu banyak mereka hirup.
Amaira terduduk, nafasnya terengah-engah, sesekali terbatuk. Teknik yang sangat menguras mana pemiliknya. Sangat mengherankan Amaira masih kuat dan belum pingsan karna terlalu banyak memakai mana belakangan ini.
"Safira!?" Itu suara Giffrey, akhirnya datang juga, syukurlah kalau dia masih hidup.
Amaira terbelalak begitu didatangi Giffrey-yang datang tergopoh-gopoh sembari membawa Carina yang tak sadarkan diri. Amaira sempat mengaduh kecewa begitu tau Carina hanya pingsan.
"Astaga.. tadi itu hampir saja.." Giffrey terduduk lemas begitu meletakkan Carina ditanah.
"Monster itu tingkat dua! Sangat mengerikan!" Tanpa Amaira tanyapun Giffrey sudah memberi tahu keseluruhan ceritanya.
Mulai dari Giffrey yang sengaja memancing monster paling besar agar menjauh dari regu, hingga terdesak dan datanglah Carina. Beruntung monster itu dapat dikalahkan dengan mudah, sebagai gantinya Carina kehilangan banyak mana dan pingsan.
"Kau ini selalu saja merepotkan orang lain, Carina." Amaira bergumam, sembari mengerahkan teknik penyembuhan untuk Carina dan Giffrey.
"Terimakasih sekali lagi, Nona safira." Giffrey kembali berdiri menggerakkan badannya yang terasa sangat segar.
Amaira menggeleng, "Tak perlu memikirkan itu kak, itu sudah tugasku." Ucapnya sembari membersihkan baju.
"Tapi eh, ada yang ingin aku tanyakan," Giffrey nampak ragu bertanya.
"Apa anda benar orang luar?"
Ah, pertanyaan itu. Amaira dengan enteng menjawab iya, lagipula, itu bukan rahasia lagi. Sewaktu-waktu semua orang Skylerian pun akan tahu.
Giffrey terdiam sejenak, menunduk. Ekspresinya sedikit berubah.
"Eh, apa kakak bisa menjaga rahasia ini? Aku belum siap untuk dibenci semua orang disini." Amaira tersenyum tipis, menggaruk tengkuknya. Tiba-tiba ia merinding begitu Giffrey menjadi muram.
"Tentu, nona." Jawab Giffrey yang entahlah, sedikit kaku.
Tak terasa, kaki langit bagian timur mulai terang. Bola oranye raksasa itu mulai menampakkan wujudnya dari ufuk timur. Regu bantuan pun datang, dengan membawa kereta kuda untuk mengangkut orang yang masih tak sadarkan diri.
"Aku lega malam ini berakhir, ayo kembali." Giffrey memberi komando. Mereka semua segera meninggalkan area timur, segera pergi menuju kastil.
***
Kabar duka menyambut regu Amaira di kastil. Suasana seketika menjadi gelap dan muram. Ketika tahu ada sepuluh lebih pemuda yang gugur malam ini. Sebagian berasal dari regu yang dipimpin Lucy dan sebagian lagi adalah medis.
"Maafkan aku, Rey." Lucy menunduk dalam-dalam didepan Giffrey.
"Aku lemah tak bisa melindungi mereka." Lucy, wanita muda berkulit sedikit gelap itu nampak sangat terguncang, muram. Berbeda sekali saat kemarin-kemarin, dia nampak bersemangat.
Giffrey menggeleng, menepuk-nepuk pundak Lucy. " Tak apa, bukan salahmu.."
"Ini semua salahku," Giffrey tertunduk. "Ini semua karna aku yang kurang becus menjadi pengganti tuan duke.." ucapnya pelan.
Pagi itu, sarapan ditunda, memakamkan para pahlawan itu lebih penting. Hampir seluruh warga menunduk memberi doa, penghormatan terakhir.
Langit pagi yang cerah, seakan menjadi kelabu. Tangisan dari para orang tua, kerabat dan saudara-saudara, menggema di langit.
Amaira ikut menunduk, sejenak mengenang bagaimana para pemuda itu waktu berlatih bersamanya. Amaira menghela nafas, begitulah, umur takkan ada yang tau. Amaira sendiri tak tahu, apa ia masih bisa bertahan di malam-malam selanjutnya?
Selesai sudah acara pemakaman itu, semua orang kembali ke kesibukannya. Para petarung di izinkan untuk beristirahat hingga siang nanti.
Amaira segera kembali ke kamarnya, mandi dan berganti pakaian. Selesai dengan rambutnya, ia segera merebahkan diri diatas tempat tidur.
"Ah, lelahnya.. mengantuk sekali.." gumamnya menatap langit-langit.
"Kira-kira dimana si uban itu? Dari kejadian ini, bukankah dia yang paling terguncang?" Amaira bergumam-gumam sendiri, seketika itu pula ia menepuk dahi, kenapa pula memikirkan si Uban yang dingin itu?
Ah, sudahlah. Amaira memilih untuk menarik selimut, menutup mata dan mencoba tidur, setidaknya untuk beberapa jam kedepan ia bisa santai.
***Stay toon terus di cerita yang gaje ini, hehe♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Sang Antagonis
FantasyApa?! Aku jadi Antagonis ? Its okay, aku tinggal merubah alurnya kan? *** Bukankah hal yang wajar kalau sang Antagonis dalam novel memiliki ending yang buruk? Atau tragis? Sama seperti Amaira , sang Antagonis dalam novel berjudul 'Red lily'. Dikisa...