S2. 91

749 58 1
                                    

Pukul lima dini hari, sebuah kota yang dekat dengan ibukota Erion. Tanah lapang yang luas di perbatasan kota itu telah menjadi camp pengungsian. Di sekitar sana nampak lengang, masih terlalu pagi untuk beraktivitas. Udara yang dingin turut menjadi alasan mereka lebih memilih untuk meringkuk di ranjang darurat.
Namun hal itu tidak belaku untuknya, seorang pria baru saja keluar dari sebuah celah sempit antara bangunan rumah. Dengan jubahnya yang lebar, pria itu tergopoh-gopoh, sedikit kesulitan dengan tumpukan buku ditangannya itu.
Beranjak dari sana, ia berbelok di tikungan, tiba-tiba terdengar suara derap kuda, pria itu lantas bersembunyi di balik bayangan sebuah rumah.

Seorang pria dengan pakaian bangsawan yang rapi-dan jangan lupakan pedang yang selalu tergantung di pinggangnya. Pria berkuda itu terus melesat, kecepatan penuh menuju gerbang perbatasan ibukota.

"Wah, gila," pria dengan jubah lebar itu membuka penutup kepalanya. Memandang jauh pria yang barusan lewat itu dengan tatapan heran.
"Nekat sekali," gumamnya. Setelah memastikan sekitarnya sepi, dia kembali melangkah dan memasuki sebuah penginapan, tak jauh dari tenda-tenda darurat berdiri.

"Astaga!" Seorang gadis langsung meneriaki ketika ia sampai dan membuka pintu kamar. "Aku kira kakak tersesat lagi!" serunya sedikit kesal.

"Haha, maaf deh," Pria itu menaruh tumpukan buku dan menghempaskan diri di atas sofa. "Tapi aku takkan tersesat lagi kok, Cia."

"Ingatan kakak beneran hilang atau cuma pura-pura, sih, hah!?" Patricia berkacak pinggang.

"Ehmm, yaa, aku, lupa-lupa ingat.." Jack menjawab asal.

"Haah, dasar," Patricia mengusap wajah, betapa cemasnya ia ketika sang kakak itu dinyatakan hilang ingatan setelah diserang oleh orang yang kuat. "Kakak harus minta maaf sama tuan muda Fred-"

"Tidak mau," Jack memotong. "Kapan lagi aku bisa membuatnya bingung seperti itu? Haha.."

Patricia kembali menghela nafas, "Lalu apa yang akan kau lakukan dengan buku-buku ini?" Patricia memandangi buku tua-dengan warna kuning kecoklatan itu.

Jack segera bangun, dia mulai menata dan memisahkan buku-buku itu. "Jangan remehkan buku-buku ini, Cia."

"Sejarah sebelum penyerangan Zephania ada disini..." Jack mulai membuka halaman buku itu.

"Apa bisa dipercaya?" Patricia ikut mengambil salah satu buku. "Tunggu, dari mana Kakak mendapat ini?"

"Seorang gadis kecil-ah, maksudku seorang penyihir berwujud anak kecil belasan tahun..." Jack mengingat-ingat rupa penyihir itu.

"Nampaknya penyihir itu berumur ribuan tahun, dia tengah kesulitan karena tidak punya uang, karena itulah aku membantunya dengan membeli bukunya ini."

Patricia mengangguk-angguk, dengan raut yang masih tidak percaya. "Pengarangnya kenapa tidak ada?" Dia mengamati buku itu dengan heran, kemudian mulai membacanya. "Sejarah yang ditulis secara blak-blakan seperti ini, tentu saja..."

Jack mengangguk. "Yang menulis buku ini katanya ibunya, buku ini milik ibunya.." Jack berkata lagi. "Kira-kira dia punya buku apa lagi?" Jack bergumam sembari membuka isi dari buku-buku yang lain.

"Inisial 'A'?" Patricia menemukan inisial sang penulis yang begitu misterius.

"Yah siapapun itu, seharusnya ini menjadi bukti yang konkret untuk sejarah di masa lalu," Jack mengambil buku yang dibaca Patricia.
"Kau seharusnya tidur," perintah Jack. "Kau menungguku pulang semalaman, kan?"

"Kakak juga-"

"Tak perlu kau pikirkan, aku numpang tidur di rumah sewaan bocah penyihir itu sejak malam." Jack tersenyum enteng.

Takdir Sang AntagonisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang