S2. 86

700 52 0
                                    


Matahari telah sepenuhnya lenyap ketika Amaira dan rombongan sampai di desa kecil dimana kediaman Ravens dibangun.Amaira melompat dari kereta, segera meregangkan tubuhnya.

"Akhh, sangat melelahkan," keluhnya menatap orang-orang dan para pekerja mulai mengangkut barang-barang dari kereta. Fred ikut turun dan menghirup udara banyak-banyak.

"Akhirnya.."

Saat ini mereka ada di depan sebuah gerai yang telah tutup, dengan cahaya remang dari satu lentera yang di gantungkan pada tiang. Selain itu sekitar mereka juga sepi, hampir tidak ada warga selain para pria yang membantu bongkar muatan kereta. Memandang ke arah barat, semburat kemerahan masih terlukis di sana.
Angin berhembus cukup kencang, rambut Amaira tersibak.
"Sejuk sekali.."

"Ayo ke rumah, malam disini lebih dingin dibanding ibukota." Fred mengajak Amaira berjalan.

"Eh, kita mau kemana?" Amaira bingung, mereka meninggalkan barang bawaan sekaligus kereta kudanya.

"Tentu saja ke rumah," tukas Fred. Tangannya menunjuk sebuah bangunan yang berdiri kokoh di atas bukit kecil dekat desa. "Itu rumah yang dibangun khusus jika ayah atau siapapun bosan di rumah ibukota."

"Wah.." Amaira terkagum-kagum. Rumah bercat dominan putih itu nampak menyala di atas bukit berbatu itu.

"Jadi, bagaimana cara kita kesana?" Amaira menyipitkan matanya, dilihatnya hanya ada satu akses menuju kediaman. Sebuah jalan kecil dengan tiang-tiang lentera untuk penerangan.

"Jangan-jangan harus berjalan?" Amaira memandang kakaknya tidak percaya. "Kakiku sudah bengkak karena duduk sepanjang hari, sekarang harus mendaki?" Amaira bengong tidak percaya ketika kakaknya itu mengangguk.

Fred terkekeh pelan, "tentu saja tidak, " ucapnya, kemudian berjalan meninggalkan Amaira.

Lima menit kemudian Fred kembali datang membawa dua ekor kuda. "Kau bisa naik sendiri, kan?" Dia menyerahkan salah satu kuda itu pada Amaira.
Amaira mengangguk, segera mendudukkan diri di atas pelana. Tanpa aba-aba, dia segera melecutkan tali pengendali, sang kuda meringkih pelan, segera berlari.

Tidak perlu waktu lama hingga mereka tiba di halaman depan kediaman. Beberapa kesatria membungkuk ketika kuda Amaira memasuki gerbang.

Seseorang sudah menunggu di depan teras bersama dua orang berpakaian pelayan.
"Selamat datang, nona dan tuan muda.." mereka membungkuk sopan.

Amaira ikut membungkuk sejenak, sedangkan Fred hanya menatap mereka.

"Saya adalah pengurus kediaman ini," pria itu berkata, "Anda pasti lelah, saya sudah menyiapkan kamar, mari.." pria berbadan sedikit gempal itu dengan sopan mengajak Amaira masuk.

Melewati beberapa ruangan, hingga sampai di depan sebuah pintu kamar. Pengurus segera membukakan pintu dan mempersilahkan Amaira masuk.
Kamar dengan ukuran sedang, besarnya setengah dari kamar yang ada di ibukota, nampak rapi dan bersih. Dengan lantai kayu yang klasik, beberapa perabotan kayu dan sebuah jendela yang cukup besar di sisi lain pintu.

"Semoga anda menyukai kamarnya.." sang pengurus berkata lagi. "Jika membutuhkan sesuatu, Anda bisa membunyikan lonceng itu.." dia menunjuk lonceng kecil di atas meja.
Amaira mengangguk, "kamar ini sangat nyaman, terima kasih."

"Syukurlah kalau Anda menyukainya.. kalau begitu saya pamit untuk menyiapkan makan malam.." tiga orang berpakaian hitam-putih itu segera undur diri.

"Kalau begitu aku pergi dulu," pamit Fred. Dia berniat untuk kembali ke kamarnya. "Aku akan kesini lagi untuk menjemputmu makan malam."

Amaira mengangguk, baiklah. Dia memilih untuk membersihkan diri dan berganti baju. Dilihatnya lemari kayu itu sudah berisi baju-baju. Amaira segera memilih baju tidur di antara barisan baju mewah itu.

Takdir Sang AntagonisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang