"Bagaimana tanggapan teman-teman nona?" Kaila bertanya. Saat ini ia bersama Amaira sedang berjalan-jalan di taman tengah, tepatnya rumah kaca. Tempat itu segera menjadi tempat favorit Amaira.
Selain hawanya yang sejuk, banyak bunga-bunga, tempat itu juga sangat kedap suara-sangat cocok untuk mengobrol sambil minum teh disana.
"Tentu saja mereka sangat senang, " tukas Amaira. "Apa ayah sudah pulang?"
Kaila menggeleng, belum. Maverick masih di istana kekaisaran, masih sibuk dengan urusan dengan kaisar. Tidak pasti membahas apa, sepertinya masalah dalam wilayah Ravens baru-baru ini.
Amaira jadi teringat soal bukti tambahan itu, dia harus segera mengambilnya. Semoga ayahnya tidak marah karna Amaira akan 'meminjamnya' untuk urusan Luke.
Baru saja Amaira melangkah dari pintu rumah kaca, seseorang datang dengan tergesa-gesa.
"AMAIRA!" Seru pria itu, jaraknya sepuluh langkah dari Amaira.
Hanzel, lagi-lagi pria itu datang di waktu yang kurang tepat. Dibelakangnya menyusul Fred, sepertinya mereka berdua mencari-cari Amaira.
"Syukurlah, kau sudah-" Hanzel segera berlari kearahnya.
"Aduhh.." Amaira meringis, memegang kepalanya, kakinya seketika melemas membuatnya jatuh terduduk.
"Amaira!" Fred segera melesat membantu.
"Kau baik-baik saja?" Fred bertanya cemas, segera memapah Amaira.
Amaira menggeleng, wajahnya terlihat amat kesakitan.
"Maaf pangeran kondisi Amaira sedang tidak stabil, Pangeran bisa kembali lain waktu." Fred dengan sigap mengangkat tubuh Amaira. Tak lupa berteriak pada pada Kaila untuk memanggil dokter.
Hanzel tidak tahu harus apa, dia akhirnya mengangguk. Fres sudah 'mengusirnya' secara halus."Tolong beritahu kalau Amaira sudah baikan."
Fred mengangguk, dia segera melesat membawa Amaira ke kamarnya. Elios yang baru saja datang, ikut panik, menyusul Fred.
***
"Apa yang terjadi??" Elios cemas bertanya sepanjang lorong." Amaira kenapa lagi, kak?"
Kedua saudaranya itu malah mengabaikan, terus berjalan hingga ke ujung lorong, lantas berbelok, menghindari pandangan Hanzel.
"Akting kakak bagus juga," ujar Amaira, dia segera di turunkan begitu pandangan Hanzel terputus.
Fred terkekeh, menggeleng, "justru aktingmulah yang harus mendapat penghargaan," pujinya. Mereka berdua tertawa cekikikan.
"Heii, sebenarnya ada apa?" Elios bertanya geram. "Kalian sedang apa sih?"
"Reaksi kakak juga bagus, kapan-kapan kita main drama, ya." Amaira mengancungkan jempolnya.
"Hah?" Tampang Elios bak bocah tersesat.
Fred melenggang pergi, Amaira mengekor dibelakangnya.
"Kakak mau apa?"
"Berlatih pedang."
"Aku ikut!"
"Baiklah, kau mau belajar?"
"Iya!" Amaira menjawab bersemangat. Meninggalkan Elios dibelakang, dengan segala pertanyaan dan wajah bingung itu.
***
Pukul tiga sore, lapangan belakang mansion Ravens. Ketiga bersaudara itu tengah asyik menghabiskan sore.
"Kalian tega sekali membohongi Pangeran." Elios yang baru saja mengetahui itu menggeleng-gelengkan kepalanya, tak habis pikir.
"Mau bagaimana lagi," Fred dengan cepat menyunkan pedangnya, menebas boneka jerami. "Amaira tidak mau bertemu, apa lagi ngobrol dengan orang itu. Benar begitu, Amai?" Fred melirik adiknya yang sibuk mengikat tali sepatu boots.
"Yah, aku cuma lagi malas bertemu orang itu, sih." Tukas Amaira. "Kakak hebat bisa mengerti kodeku."
"Haha, entahlah secara alami aku memahami itu." Fred kembali menggerakkan pedang peraknya dengan lincah.
Amaira terpana melihatnya, sangat keren. Itu membuatnya teringat pada Luke, pria itu juga mahir bermain pedang.
"Mau coba?" Fred menawarkan, dia mengulurkan pedang lain. Amaira senang hati menerimanya, pedang ringan namun kokoh.
"Kak, itu kan bahaya, Amaira ngga pake yang ini saja?" Elios datang dari gudang penyimpanan, menawarkan pedang kayu.
Amaira menggeleng, dia lebih suka yang asli. "Tenang saja kak, aku akan berhati-hati."
"Baiklah." Elios mengerdikan bahu, dia lebih memilih pergi ke satu sisi lapangan, tempat untuk latihan memanah, lengkap dengan lingkaran target.
Fred mulai bergerak, Amaira mengikutinya dengan mudah. Tangannya kokoh menggenggam pedang, mengayunkan dengan anggun, kakinya kokoh membentuk kuda-kuda. Setengah jam berlalu mereka melakukan pemanasan, membuat keringat mengucur.
"Wah, Amaira hebat!" Elios berseru semangat, berjalan mendekat.
"Hehe, bukan apa-apa." Sangkal Amaira. Dia lancar sebab sudah pernah diajari saat terjebak di Skylerian.
"Cukup bagus untuk seseorang yang baru berlatih pedang," Fred tersenyum, rasanya bangga juga." Gerakanmu itu seperti sudah lama menggunakan pedang, apa kau berlatih selama ini?" Tanya Fred penasaran.
"Eh, tidak," Amaira menggaruk tengkuknya bingung. Apa perlu menceritakan kejadian selama ia di Skylerian? Amaira bukan cuma lama berlatih, tapi langsung mempraktekan teknik itu melawan monster yang berbahaya.
"Kau ngga ada niatan untuk masuk ALAC, Amaira?" Elios bertanya. "Kau bisa menambah wawasan tentang banyak hal disana."
Fred mengangguk." Elios benar, pendaftarannya masih dibuka."
Amaira menggeleng. Ia tidak mau. Walau jelas dengan keadaan finansial juga otaknya, memang mudah untuk masuk dan lulus dari ALAC-akademi elit itu. Tapi Amaira sudah terlanjur malas, dia sudah lelah berpikir dan memikirkan pelajaran.
Menurutnya kurikulum dan teknik mengajar di sekolah itu kaku, dan tidak bisa dipakai untuk semua murid. Lebih baik ia belajar privat seperti biasanya. Pelajaran akan disesuaikan dengan kemampuan siswa.
"Jadi kau memilih pendidikan privat?" Elios bertanya lagi. Amaira mengangguk, bukankah hal itu lebih mudah untuk dilakukan.
"Baiklah, aku akan mencarikan guru yang terpercaya untukmu." Fred mengangguk.
"Sayang sekali, padahal masuk akademi itu menyenangkan lho." Elios tertawa, sepertinya ia teringat masa-masa ia bersekolah di akademi.
"Wah, apa kaka bisa menceritakannya?" Amaira jadi tertarik, apalagi teringat cerita Rion waktu itu.
"Baiklah, dulu kakak mempunyai beberapa teman saat di akademi," Elios memulai ceritanya. Ia masuk ke akademi untuk pendidikan wajib-setingkat SD hingga SMA, selama 12 tahun.
"Selain Rion, aku juga punya teman baik satu lagi. Namanya Alex, dia masuk jalur tes khusus. Dia seorang rakyat biasa."
Amaira mengangkat alisnya, apa dia Luke?
"Meski begitu dia anak yang amat mengesankan. Selain pintar dalam materi, dia juga ahlinya bertarung dan pengendalian sihir. Dia lebih muda 2 tahun denganku, benar-benar hebat."
"Tapi ada satu hal kekurangannya," Elios tertawa. "Dia sangat menjengkelkan."
"Dia sangat susah di atur, semaunya sendiri dan suka melanggar peraturan. Dia penyebab banyak masalah."
Amaira ikut tertawa, kalau itusih ia tahu.
***
"Ayah belum pulang?" Amaira bertanya, menyadari kekosongan satu kursi di meja makan.
"Belum, masih di istana, mungkin akan pulang tengah malam nanti." Fred menjawab, kembali melanjutkan makan.
"Begitu ya," Amaira berseru dalam hati, itu artinya dia bisa mengambil bukti tambahan itu. Amaira segera menuntaskan makan malamnya.
"Kau mau kemana?" Elios bertanya menyadari Amaira yang hendak pergi ke kantor Maverick.
"Eh, mau cari buku di perpus ayah." Amaira menjawab dengan wajah sepolos mungkin.
"Begitu ya, baiklah, jangan terlalu malam." Elios berlalu meninggalkan Amaira, kembali kekamarnya.
Baiklah, Amira segera melesat ke arah kantor ayahnya.
"Nona, apa tidak apa apa melakukan ini?" Kaila di belakangnya bertanya cemas. "Bagaimana kalau tuan besar marah?"
"Tidak apa Kaila, kalau begitu jangan sampai ketahuan bukan?" Amaira bersiap masuk kedalam ruang kantor sekaligus perpustakaan pribadi Maverick.
"Beritahu aku kalau ayah datang." Pesan Amaira. Dia segera melesat masuk, meninggalkan Kaila menjaga pintu.
***
Amaira dengan cepat menuju bagian perpustakaan yang ada di dalam ingatannya. Sampai di depan rak besar penuh buku-buku tua, Amaira terdiam.
"Yang mana, ya?" Amaira menggaruk kepalanya bingung. Saat itu keadaan lumayan gelap, Amaira tidak begitu jelas melihat judul dan sampul buku itu.
"Yang jelas tingginya lurus dengan mata ayah, jadi, yang ini?" Amaira sembarang menarik sebuah buku. Tidak terjadi apa-apa, itu bukan buku yang benar.
Tangan Amaira mulai berkeringat, melirik ke arah jam besar disana, pukul 9. Meski masih jauh dari tengah malam, tapi bisa saja ayahnya itu pulang lebih cepat.
Setelah puluhan kali Amaira salah menarik buku, tepat di buku terakhir, akhirnya rak buku itu terbuka. Amaira bergegas membuka, terdapat pintu kayu di belakang rak buku itu. Amaira segera mengambil kunci dari saku. Pintu itu terbuka, membuat bunyi derit.
Amaira segera melangkah masuk. Rungan dengan ukuran 3×3 meter menyambut. Rungan sempit itu penuh buku-buku, perkamen dan dokumen kertas menguning yang menumpuk. Ada sebuah tentera tergantung diatas.
Amaira menelan ludah. Minyak lentera masih baru, sepertinya Maverick sempat kesana kemarin-kemarin.
Amaira bergegas mengecek seisi rungan. Buku-buku tua, koran-koran lama juga gulungan kertas yang panjang. Ia harus cepat, sebelum ayahnya pulang. Amaira terdiam begitu membaca salah satu judul koran. Itu koran yang sangat tua, kusam dan juga rapuh. Dan semuanya memggunakan bahasa kuno. Awalnya memang membingungkan, namun karna dibantu ingatan yang dulu itu Amaira perlahan bisa membaca bahasa itu.
'PENYERAHAN SUKARELA ATAU PENYITAAN PAKSA?'
'Malam ini kaisar mengesahkan pengumuman yang membuat geger kalangan atas. 95% wilayah Skyler akan disita-'
Amaira tertegun, koran itu ditulis oleh penulis sekaligus seorang bangsawan terkenal. Dalam tulisannya, penulis yang merupakan seorang Count itu menegaskan bahwa pelaku kematian Grand Duke Ravens bukanlah Skyler, melainkan ada orang lain yang menjadi dalang pembunuhan saudara kaisar tersebut. Dalam artian, penulis koran terkenal dan terpercaya itu memihak Skyler-meski mengaku netral.
Amaira beralih membaca koran lain. Kali ini berita yang amat mengerikan.
'Penulis berita terkenal dari lembaga informasi pemerintah, sekaligus kepala keluarga Abelard di temukan tewas mengenaskan di dalam hutan.'
Amaira membaca koran selanjutnya, meringis.'Kepunahan keluarga Count Abelard'
'Kemarin malam, rumah besar tempat tinggal utama Count Abelard ditemukan hangus terbakar. Istri dan tiga anaknya ditemukan tewas.'"Astaga.." Amaira menutup mulut dengan tangannya.
Selain Count Abelard yang jelas sangat obyektif dalam membuat berita, ada juga beberapa penulis berita yang menuliskan hal yang sama. Kematian Grand Duke Ravens terlalu janggal, dan hukuman yang diberikan terlalu jauh dari peraturan yang ada.
Tapi berita-berita selanjutnya menutup rapat mulut mereka. Penulis-penulis itu selalu berakhir buruk. Bukan cuma mereka, melainkan keluarga dan teman terdekat mereka menjadi korban.
Amaira terus mencari-cari koran dengan judul yang masih berhubungan, satu lagi. Seorang penulis dari kalangan rakyat biasa-yang terkenal akan kritik pedasnya pada pemerintahan, dengan berani menyalahkan kaisar atas apa yang terjadi, ditambah bukti-bukti jika yang melakukan itu adalah ksatria kekaisaran. Namun kembali lagi. Dia berakhir mengenaskan, begitu juga keluarganya.
Sejak puluhan berita tentang pembunuhan para penulis berita itu, hampir seluruh bangsawan menutup mulut, sekaligus menutup mata. Mereka tidak mau keluarga juga harta mereka di rampas oleh kaisar. Sejak diamnya para bangsawan besar, kaisar dengan mudahnya menerbitkan berita-berita sangkalan. Mengelak dari segala tuduhan, membuat berita rekaan yang makin menyalahkan Skyler.
Untuk pelaku pembunuhan para penulis itu, Kaisar dengan enteng menunjuk salah satu pimpinan ksatria. Membuang satu sepertinya lebih baik dari pada seluruhnya ikut terseret.
Amaira menghela nafas, begitu buruk dan bobroknya kekaisaran dulu. Tepatnya saat zaman buyut dan kakeknya.
"Sudah selesai, nak?" Suara dingin itu bagai sengat listrik, membuat Amaira mematung.
Amaira mengaduh, patah-patah menoleh ke belakang.
Maverick dangan santainya menyender di bingkai pintu, dengan seringai yang menyeramkan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Sang Antagonis
FantasyApa?! Aku jadi Antagonis ? Its okay, aku tinggal merubah alurnya kan? *** Bukankah hal yang wajar kalau sang Antagonis dalam novel memiliki ending yang buruk? Atau tragis? Sama seperti Amaira , sang Antagonis dalam novel berjudul 'Red lily'. Dikisa...