65

2.5K 234 5
                                    

Ruang tamu itu hening. Setelah bersalaman, dua pria yang duduk saling berhadapan itu belum ada niatan untuk memulai percakapan. Hingga sang putra mahkota menghela nafas.

"Kau ini memang berbeda," Hanzel menatap Luke lurus.
Biasanya orang yang dipanggilnya akan berkata terima kasih atau pertanyaan tentang alasan mereka dipanggil. Sedangkan Luke tidak. Dia dengan takzim menunggu Hanzel untuk berbicara duluan.

"Bukankah anda yang memiliki keperluan dengan saya? Tidak sopan kalau ribut bertanya alasan." Luke berkata datar.

"Begitu ya," Hanzel mengangguk dalam. "Maaf mengganggu waktumu, Duke."

Luke hanya mengangguk sekilas. Tangannya menyilang di depan dada, menunggu orang di depannya ini berhenti basa-basi.

"Saya ingin mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya untuk anda, yang telah menolong nona Amaira." Hanzel menundukkan kepalanya.

"Ya, sama-sama." Luke berkata pendek. Matanya menatap kearah lain, nampaknya ia tidak punya selera untuk berbincang dengan Hanzel.

"Apa?" Hanzel sedikit tercengang.

"Apa urusan anda sudah selesai?" Luke bertanya.

"Ah, ya, sudah." Hanzel kikuk menjawab.

"Kalau begitu, saya pamit." Luke beranjak berdiri.

"Tu-tunggu," Hanzel ikut berdiri. Rasanya ada yang salah. Orang di depannya ini begitu santai. Seakan tidak sedang berhadapan dengan pewaris utama kekaisaran besar. " Tunggulah sebentar lagi."

"Ada apa lagi, yang mulia?" Luke menatap Hanzel datar.

"Bukankah tidak sopan, kalau tamu tidak menikmati jamuan meski tuan rumah telah menghidangkan?" Hanzel beberapa kali menepuk tangannya.

Dari pintu segera masuk para pelayan dengan nampan ditangannya. Teh dan kudapan manis segera terhidang di atas meja.

"Mari menghabiskan waktu sore sambil mengobrol ringan." Hanzel mempersilahkan Luke kembali duduk.

"Anda pasti lelah selama sidang berlangsung."

Luke terdiam, dia seakan tertohok dengan masalah kesopanan yang ia singgung lebih dulu. Pada akhirnya, ia menurut, duduk kembali.

Setelah lima belas menit mengobrol-tepatnya Hanzel yang berbicara panjang lebar dan Luke hanya menanggapi dengan kata-kata singkat dan nada tidak peduli. Setelah beberapa kali berpindah topik-yang merupakan basa-basi belaka, Hanzel akhirnya mengucapkan pertanyaan pamungkas-tujuan asli obrolan ini.

"Jadi, anda ingin saya untuk menerima hadiah?" Luke memperjelas pertanyaan Hanzel. Hanzel mengangguk.

"Ini sebagai tanda terima kasihku, karena telah membawa Amaira pulang dengan selamat."
Luke menghela nafas. "Yang mulia, saya tidak bisa menerimanya. Saya sama sekali tidak mengharapkan apapun karena membantu nona Ravens." Luke berkata lugas.

"Tidak apa, katakan saja, apapun akan saya usahakan." Hanzel menegaskan ulang.

Luke menggeleng. "Saya tidak bisa."
"Sepertinya hari sudah gelap, saya pamit."

Kali ini Hanzel tidak bisa mencegah, dia segera mengantar Luke keluar ruangan.

"Ah, saya berubah pikiran," Langkah Luke terhenti. Dia segera berbalik menatap Hanzel. "Apa anda bisa mengabulkannya?"

Hanzel mengangguk." Tentu, sebutkan saja."

Luke menyeringai. "Kalau begitu, bisakah anda dan Kaisar bertindak semestinya?"

Hanzel sedikit tersentak, menatap Luke tajam.

"Untuk urusan kedepannya, jadilah pemimpin yang jujur." Ucap Luke, sosoknya perlahan lenyap dari hadapan Hanzel.

Takdir Sang AntagonisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang