Matahari mulai terik, suhu mulai meningkat, membuat para pekerja itu bercucuran keringat. Saat ini kesibukan nampak ketara di depan mansion Ravens. Puluhan pekerja saling membantu mengangkut kotak-kotak keperluan, membawanya masuk menuju ruang perpindahan.
"Untuk apa semua ini, ayah?" Fred yang baru kembali dari markas, bertanya heran. Begitu banyak benda disana, hampir menutupi seluruh halaman.
Maverick yang sedang mengawasi kinerja para pekerja hanya membalas singkat. Untuk Skylerian, adiknya yang meminta. Fred ber oh pelan, melanjutkan langkahnya masuk kedalam. Berganti baju dan bersiap makan siang. Tak disangka seseorang lagi hadir di meja makan. Selain adik dan ayahnya.
"Selamat siang Fred." Sapanya. Pria berambut pirang itu tersenyum ramah, seperti biasa dia mengenakan jubah gelap kesayangannya.
"Siang juga." Fred membalas cuek, menikmati makan siangnya. Begitu juga Maverick dan Elios, mereka sibuk dengan piring masing-masing.
"Kau tidak penasaran kabar nona Amaira disana?" Rion menyeringai, dia juga ikut makan siang.
"Mau bagaimanapun, aku sudah tau dia baik-baik saja disana, terlepas apa yang sedang ia lakukan. Aku memikirkannya." Fred membalas datar.
"Oh baiklah, kukira kau ingin tahu. Karena nona disana sangat kesusahan." Rion berkata sedikit menggantung.
"Dia harus-"
"Rion." Maverick memotongnya terlebih dulu." Jangan kacaukan makan siang kami dengan kabar kurang enak itu." Maverick menatap tajam Rion. Aura mengerikan seketika menyebar, membuat Elios pun merinding.
"Baik Tuan." Balasnya pelan.
"Omong-omong, bersiaplah, hampir semuanya sudah siap di ruang perpindahan." Maverick masih menatap anak buahnya dengan tatapan maut.
Seketika Rion mengangguk, beranjak berdiri. "Kalau begitu, terimakasih hidangannya. Saya permisi." Pamitnya lantas berlalu pergi dari ruang makan. Segera berpindah ke ruang perpindahan dengan teleportasinya.
"Kenapa ayah membiarkan dia makan disini sih?" Elios cemberut, protes. "Lidah orang itukan benar-benar tajam. Lihat kak Fred pun kesal." Elios menunjuk kakaknya.
Maverick mengangkat bahu, "sesekali saja tidak apa bukan?" Tanyanya. "Apa kalian tidak setuju, heh?"
"Bukan tidak setuju ayah, tapi, kami kurang suka dengan dia." Elios berkata lagi. Menatap kakaknya.
"Kalian tidak bisa berperilaku tidak adil hanya karna tidak menyukai seseorang." Intonasi Maverick meninggi. "Jika kita jadi hakim, akan ada ketimpangan dalam hal mendapat keadilan. Kalian paham?"
Kakak beradik itu segera mengangguk. Sejenak mereka lupa kalau Ayah mereka ini terkenal akan keadilan dan loyalitasnya.
"Lagi pula, dia adalah salah satu pengintai, hanya beberapa yang bisa masuk divisi itu. Setidaknya ia bisa merasakan spesialnya menjadi pengintai."
Fred dan Elios mengangguk lagi. Menjadi pengintai memanglah sulit. Selain harus memiliki bakat sihir yang mumpuni, mereka juga harus menguasai berbagai keahlian lainnya. Seperti bertarung, keahlian segala senjata, menyamar juga adaptasi. Mereka yang biasanya ditugaskan untuk memata-matai kerajaan musuh, ataupun memperkirakan adanya ancaman dari para bangsawan.
Selesai makan siang, mereka segera bubar. Kembali mengurusi urusan masing-masing. Maverick segera masuk ke ruang kerjanya, ditemani Leo, juga seorang lagi yang merupakan pedagang besar. Elios kembali ke kamarnya, duduk diatas kursi piano, mulai memainkan musik. Fred yang tidak punya kerjaan, dia hanya iseng pergi ke kandang kuda belakang mansion. Sudah lama ia tak berjalan-jalan dengan kudanya. Segera ia memacu kudanya keluar gerbang, menuju desa di pinggiran ibukota.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Sang Antagonis
FantasyApa?! Aku jadi Antagonis ? Its okay, aku tinggal merubah alurnya kan? *** Bukankah hal yang wajar kalau sang Antagonis dalam novel memiliki ending yang buruk? Atau tragis? Sama seperti Amaira , sang Antagonis dalam novel berjudul 'Red lily'. Dikisa...