Nafsu makan Amaira seketika anjlok dari titik tertinggi. Bagaimana tidak? Dengan melihat menu yang sudah disediakan di tempat ia duduk-bubur dan sup hangat dan jangan lupakan susu. Amaira segera kehilangan selera makan.
"Cepat makan makananmu, Amaira." Fred melirik adiknya sekilas, lantas kembali melanjutkan makannya.
Amaira diam, bosan sekali, entah kenapa Amaira benci bubur. Dalam ingatannya, bubur selalu ada saat ia sakit, itu membuatnya teringat masa kecilnya.
Ketika ia sakit parah, gelap dan dingin. Apalagi ia tahu, tidak ada yang menemani ataupun memperdulikannya-kecuali Kaila.
"Atau ku panggil dokter agar membuatkanmu obat yang sangat pahit." Ancam Fred.
Amaira masih diam, belum menyentuh sedikitpun ujung sendok.
"Anak ini," Fred mulai kesal. "Kau-"
"Iya-iya," Amaira menjawab ketus, "tapi ini untuk terakhir kalinya, oke?"
Fred menghela nafas, baiklah. Amaira mulai menyendok, memakannya dengan penuh khidmat.
Setengah jam berlalu, Amaira memutuskan untuk kembali ke kamar, dia punya sesuatu untuk di kerjakan.
"Jangan ikuti aku, aku tidak akan kenapa-kenapa," Amaira mencegah gerakan Fred dan Elios.
Baiklah, Fred balik kanan, menuju bagian berlakang mansion. Niatnya ingin berjalan-jalan santai di desa. Sedangkan Elios, memilih untuk pergi ke ruang tengah, memainkan piano.
***
"Banyak juga," gumam Amaira, menatap tumpukan kertas undangan itu. Kira-kira jumlahnya ada seratus-kurang lebih, dan dia diminta untuk mengundang siapapun. Kata Kaila, kemarin lusa semua undangan itu telah dibagikan. Sedangkan pesta itu akan berlangsung dua minggu lagi, selama dua hari.
Amaira terheran, kenapa ayahnya begitu yakin bahwa ia akan bangun? Apa dia tidak cemas kalau Amaira tidak bangun tapi undangan telah dibagikan?
Amaira menghela nafas, sudahlah, dia memilih duduk di kursinya, mengambil kertas dan pena.
"Kaila, apa kau bisa mengambil daftar siapa saja yang akan di undang?" Pinta Amaira.
Kaila mengangguk, segera pergi ke ruangan Maverick. Dan kembali lima menit kemudian dengan membawa nampan juga sebuah gulungan kertas.
Amaira menerima itu, mengucapkan terima kasih, juga untuk teh dan cemilan itu.
"Banyak banget," Amaira menelisik daftar nama-nama orang itu. Hampir semuanya adalah kolega, teman dan kerabat. Dilihatnya Count Hendley sudah ada, dan dikirimi surat untuk mengundang seluruh keluarganya-secara teknis Adelia sudah diundang. Juga nama-nama bangsawan yang memiliki anak seumuran Amaira, mereka diundang-walau Amaira tidak kenal betul. Begitu juga kaisar, ratu dan Hanzel, mereka mendapat undangan resmi.
"Adel akan aku undang khusus, apa boleh, Kaila?" Amaira menoleh.
"Boleh saja nona," Kaila menjawab takzim, sembari tangannya sibuk merajut.
Amaira segera membuat daftar baru, daftar orang yang diundang khusus. Amaira mulai menuliskan Adelia, Patricia juga teman-teman di desanya. Carina dan Merisa juga terdaftar, Amaira harap mereka dapat datang.
Sekali lagi Amaira mengecek daftar nama milik ayahnya, berseru senang. Ternyata tuan Robert ada dalam daftar itu, ditulis sebagai kerabat jauh.
Amaira terdiam, apa Luke diundang juga? Baiklah, orang itu harus melihat keramaian pesta untuk sesekali. Tak lupa Amaira mengundang guru dansanya, madam Giselle.
Amaira selesai menulis semua nama itu dalam undangan, khusus dengan tulisan tangannya. Kaila ikut memeriksa semua undangan, mendikte, memastikan semua orang yang Amaira kenal telah diundang.
"Sepertinya anda melupakan sesuatu nona," Kaila selesai menumpuk surat undangan yang telah berstempel itu. Siap untuk dikirim, kecuali surat untuk teman desa Amaira dan undangan untuk orang Skylerian.
"Tidak, semuanya sudah kok." Amaira memastikan daftarnya lagi.
"Apa tuan putri Julianne tidak diundang?" Kaila bertanya polos. Yang ia tahu Amaira lumayan dekat dengan sang putri.
Amaira menepuk dahinya pelan, hampir saja ia lupa. Bisa jadi masalah kalau dia tidak diundang secara khusus.
Amaira segera menulis nama Juli di salah satu undangan kosong, sekaligus memberi stempel resmi keluarga Ravens.
Amaira melakukan itu bukan untuk apapun, apalagi menganggap orang itu temannya, hanya untuk formalitas. Amaira tak ingin membuat hubungannya dengan Juli memburuk, itu bisa jadi masalah di kemudian hari.
Selesai mengurus undangan, Amaira beranjak berdiri, meregangkan tubuhnya. Melirik ke arah jendela, semburat oranye mulai muncul di langit, jam menunjukan pukul empat.
Amaira memutuskan untuk pergi ke perpustakaan pribadinya. Duduk di salah satu kursi, mengambil sembarang buku. Segera ia tenggelam dalam lautan kata, informasi yang menarik.
Tak terasa sudah pukul lima, langit terlihat jingga, angin sejuk masuk melalui jendela.
"Selamat sore, nona Amaira." Seseorang menyapa dari arah jendela.
Amaira sedikit terkejut, buru-buru mendatangi sosok berjubah itu.
"Sore juga, Rion." Amaira menjawab, dengan nada kurang ramah. "Ada urusan apa kau kesini?" Tanya Amaira.
Rion tersenyum, mengambil sesuatu dari balik jubahnya, secarik kertas.
"Ada surat dari Luke," ucapnya menyerahkan kertas itu.
Amaira menerimanya, mengucapkan terima kasih.
"Saya senang bisa melihat nona sehat kembali, apa anda sudah lebih baik?" Rion bertanya, dengan santainya duduk di atap, dibalik jendela.
"Yeah, aku baik, terimakasih, omong-omong kau cuma mau mengantar surat ini kan?" Amaira bersender pada bingkai jendela, melihat bentangan langit sore yang indah.
Rion terlihat bingung, mengiyakan.
"Kalau begitu segeralah pergi, aku mau mandi." Amaira menatap datar pria itu.
"Sebenarnya ada hal lain yang ingin saya sampaikan," Rion buru-buru berkata. "Tuan Maverick hampir sampai di ibukota, beliau memutuskan untuk mengebut dengan kudanya. Meninggalkan kereta dan asistennya ditengah jalan." Rion menepuk-nepuk jubahnya. Bersiap pergi, sepertinya Amaira tidak suka dengan kedatangannya.
Amaira ber oh pelan, mengangguk. "Terima kasih infonya, kesatria Rion."
"Saya harap anda tidak datang lagi dengan cara seperti ini, selamat malam." Amaira berkata datar. Segera menutup jendela perpustakaan dan menarik tirainya, sebelum Rion sempat mengucap salam.
"Apa-apaan itu?" Rion segera berpindah ke taman timur. "Kenapa dia kembali berubah?" Rion bergumam-guman sembari melangkah.
"Ku kira dia benar orang yang berbeda, dengan auranya waktu di Skylerian, kenapa sejak ia pulang auranya kembali sama?"
"Aura angkuh nan sombong itu." Rion bergumam kesal.
"Apa terjadi sesuatu padanya?" Rion berhenti di depan air mancur. Angin sore berhembus pelan, memainkan ujung rambut.
"Hahaha," Rion tiba-tiba tertawa." Semuanya menjadi sangat menarik."
"Menarik apanya?" Seseorang dibelakangnya menyahut datar, sedatar wajah dan tatapannya.
"Oh, lama tidak berjumpa, Fred."
"Apa yang kau lakukan disini?"
Rion segera memasang wajah santainya. "Apa kabar?" Tanyanya akrab.
"Hentikan basa-basimu itu, Rion." Fred menatap tidak ramah. "Apa yang kau lakukan diatas sana, dengan Amaira?"
Rion menyeringai, mengerdikkan bahu. "Hanya surat kecil, kau tahukan, aku adalah penghubung antara Ravens-Skyler."
Fred menatap tidak percaya. Rion melambaikan tangan. "Bukan apa-apa, Fred. Lagi pula ini urusan nona Amaira dengan Skylerian, kau tak perlu tahu."
"Oh, sudah sore. Aku pergi dulu, Fred." Rion membungkuk sopan. "Sampai jumpa." Rion segera menghilang.
Fred berdecak sebal, menyumpahi orang itu. Meski ia tau Rion orang kepercayaan ayahnya, tetap saja ia merasa tidak beres dengan orang itu. Naluri Fred mengatakan kalau orang itu bukan orang baik-baik. Tapi entah kenapa ayahnya begitu peduli dengan Rion.
Selama sebulan ini Fred tidak berjumpa orang itu. Entah karna Rion sibuk, atau setiap hari Rion ada disana tetapi dalam mode transparan.
Fred menghela nafas, memandang jauh matahari yang siap tenggelam di ujung barat. Dia kembali teringat waktu dulu, ketika Rion baru saja datang ke rumahnya.
Rion datang bersama ayahnya sejak berumur 10 tahun. Seorang anak lelaki yang kurus kering dan hidup sebatang kara, segera diangkat sebagai murid oleh Maverick. Itu kejadian 10 tahun lalu, ketika Algerion terlibat konflik dengan Zephania.
Malam itu Maverick pulang dari medan pertempuran, membawa kemenangan sekaligus seorang anak yatim piatu di tengah kekacauan.
Maverick bilang anak itu mempunyai bakat sihir, kemudian memberikan Rion tempat tinggal, makanan hingga pendidikan.
Fred kembali menghela nafas, rasanya sebal juga, karna sejak kedatangan Rion, perhatian Maverick teralihkan. Maverick lebih memperhatikan perkembangan Rion dibanding dirinya ataupun Elios, apalagi Amaira.
"Aku masih heran, kenapa ada anak kecil tepat di pusat pertempuran?"
"Bukankah semua warga perbatasan telah mengungsi? Untuk apa bocah sekecil itu disana,"
Fred terdiam, kemudian teringat sesuatu. 10 tahun lalu, selama tiga bulan pertempuran perbatasan itu berkecamuk, dengan dampak mengerikan. Setelah beberapa kali saling beradu pedang, menyebabkan ribuan nyawa melayang, pada akhirnya Algerion memenangkan pertempuran itu.
Hari itu sang pemimpin mereka, alias sang Raja Zephania lenyap, menghilang tanpa jejak.
Jika merujuk pada rumor yang beredar, sang Raja Zephania masih hidup dan selamat. Baju zirah sang raja tertinggal, begitu juga pedang kebanggannya.
Fred menggelengkan kepalanya, menyangkal pemikiran gila yang baru saja terlintas. Memilih masuk ke dalam, matahari sempurna hilang, meninggalkan semburat kemerahan di langit.
***
"Nona, airnya sudah siap," Kaila memberi tahu, ia masuk kedalam perpustakaan.
Amaira masih berdiri diam dibalik tirai, tidak mendengar Kaila.
"Nona," Kaila mendekati Amaira," Nona baik-baik saja?" Tanyanya cemas.
Amaira segera tersadar, menggeleng. "Tidak apa Kaila.."
"Sepertinya tadi ada yang datang?" Kaila sempat mendengar percakapan Amaira.
Amaira mengangguk, "Rion, dia mengantar surat."
Kaila ber oh pelan, mengurungkan niat untuk bertanya lebih banyak. Melihat wajah murung Amaira, itu menjelaskan banyak hal.
"Air mandinya sudah siap nona," Kaila mengulang perkataannya, Amaira mengangguk, segera mandi.
Selama berendam dalam bak air hangat, Amaira melamun, pandangannya kosong.
Sendari tadi ia terpikirkan ingatan Amaira sepuluh tahun lalu. Akhirnya Amaira tahu jelas siapa Rion. Dia hanya anak beruntung yang mendapat perhatian Maverick. Sejak kedatangan Rion rasanya hari-hari Amaira makin berat dan menyebalkan. Bagaimana tidak? Ketika seorang anak perempuan usia tujuh tahun, melihat kedekatan antara Rion dan ayahnya sendiri. Rasanya sebal, Amaira kecil yang begitu polos, begitu menginginkan sosok ayah.
Amaira menghela nafas untuk sekian kalinya, mengutuk diri sendiri, kenapa hal itu ia pusingkan?
"Kekanakan sekali.." Amaira bergumam, menyindir diri sendiri. Membuat Kaila menatapnya bingung.
Walau dia bukan yang mengalami kejadian itu, tetap saja rasanya sesak mendapati sang ayah pilih kasih. Meski begitu,
Amaira menatap Kaila. Wanita yang sejak dulu merawatnya, wajah teduh, ramah dan hangat.
Amaira jadi teringat kata-kata Kaila setiap dirinya tertekan, merasa dunia begitu kejam. Wanita itu selalu menghibur dengan suara lembut nan menenangkan. Kaila berkata; Dunia memang tidak adil nona, setiap manusia harus tau itu. Meski berat, sakit menerimanya, tapi itulah takdir, kita harus kuat. Kita dilahirkan untuk kuat menghadapi ketidakadilan itu.
Amaira masih terlalu kecil untuk memahami itu, tapi sekarang Amaira paham betul. Dunia memang begitu, tidak adil dengan takdir yang kejam. Dari ucapan Kaila, setidaknya Amaira bersyukur, ayahnya masih menerima dirinya di rumah. Masih mau membiayai kebutuhannya dengan baik-walau tanpa kasih sayang dan perhatian. Amaira masih lebih baik dengan ratusan bahkan ribuan anak terlantar diluar sana yang dibuang orang tuanya. Takdir Amaira tidak ada apa-apanya dibanding jalan hidup mereka.
Selesai berpakaian, Amaira duduk, rambutnya disisir oleh Kaila.
"Kaila, menurutmu apa dunia ini adil?" Amaira membuka percakapan, sesuatu yang ditunggu Kaila sejak tadi.
Kaila terdiam sejenak, lantas tersenyum. "Kenapa nona bertanya itu?"
"Jawab saja." Amaira berkata singkat. Kaila tertawa pelan, merasa kalau nonanya ini kembali normal seperti dirinya yang dulu. Nona muda angkuh yang seenaknya sendiri.
"Dunia itu tidak adil nona." Kaila berkata takzim, membalas tatapan Amaira dari cermin. "Kenapa? Tentu karna setiap manusia memiliki masalahnya masing-masing. Boleh saja berkata dunia ini sangat adil-untuk seorang putri raja. Tapi apakan nona percaya sang putri-dengan segala harta dan kenyamanan itu bahagia? Apa sang putri itu senang dengan semua itu?"
Amaira menggeleng.
"Tidak tahu bukan, begitulah, keadilan hanya istilah yang harfiah, semu dan bisa saja berubah setiap pandangan orang masing-masing." Kaila menjelaskan. Amaira menyimak dengan baik.
"Tapi tenang saja nona, saya tahu sebuah tips untuk bahagia, walau dunia tidak adil juga penuh masalah." Kaila tersenyum, mendapati pantulan wajah Amaira yang terlihat penasaran.
"Salah satunya adalah dengan bersyukur. Dengan bersyukur, kita menjadi lebih lapang menerima kenyataan. Selalu syukuri apa yang ada, dibanding ini pasti ada yang hidupnya lebih sulit."
"Nona mau makan apa?" Kaila menawarkan, setelah lengang beberapa saat.
"Terserah Kaila, kecuali bubur, aku benci itu." Amaira bersungut-sungut. Kaila tertawa, mengangguk, segera pergi ke dapur.
Sembari menunggu Amaira beranjak ke perpustakaan pribadinya, mengambil beberapa buku, kembali ke kamar, lantas duduk takzim di sofa sembari membaca.
***
"Amaira tidak datang, Bibi?" Elios bertanya, menyusul Kaila di dapur.
"Nona mau di kamar saja, tuan muda.." Kaila menjawab, tangannya sibuk menyiapkan peralatan makan.
"Ohh begitu.." Elios manggut-manggut, memperhatikan seisi dapur. Membuat beberapa pelayan muda salah tingkah-sebagian pelayan lain berseru-seru diambang pintu. Apalagi saat Elios melangkah pergi meninggalkan dapur, para pelayan muda itu makin berisik.
Kaila menghela nafas, dia sudah terbiasa dengan itu, tuan mudanya itu memang tampan. Selesai mempersiapkan makan malam untuk Amaira, Kaila segera pergi, kembali membawa nampan ke arah kamar Amaira.
"Terimakasih," Amaira senang melihat menu makan malamnya, yang bukan bubur. Segera menyingkirkan buku dari pangkuannya lantas mulai menyantap makan malam.
Tiba-tiba Amaira mendongak, telinganya seakan mendengar sesuatu.
"Ada apa non-?" Belum genap pertanyaannya, Amaira sudah beranjak berdiri, berlari membuka pintu.
"Nona?" Kaila buru-buru mengikutinya dari belakang.
Amaira terus berlari menuju bagian tengah, pintu utama. Kaila di belakangnya tersengal, tidak bisa menyusul.
Amaira baru berhenti ketika sampai di pintu utama. Pintu besar dengan ukiran emas itu segera ia buka, lantas dia berdiri di teras. Matanya berbinar melihat seseorang datang dengan kudanya dari gerbang.
Maverick dengan jubah gelap yang kotor akan debu segera memacu kudanya hingga depan teras. Ia segera meloncat turun, segera berjalan cepat kearah Amaira yang telah menunggu.
Amaira tersenyum lebar, merentangkan tangan. "Selamat datang, ayah."
Tak memperdulikan rasa gengsinya, Maverick dengan cepat mendekap putrinya itu. Saat ini hatinya diliputi rasa tenang dan bahagia, hampir saja ia menitikkan air mata.
Fred dan Elios yang baru datang hanya tersenyum lega melihatnya, sengaja berdiri agak jauh agar tidak mengganggu.
Setelah cukup lama, akhirnya Maverick melepaskan pelukannya, menatap wajah putrinya itu. Senyum tulus terukir begitu saja di wajah lelahnya.
"Ayah apa kabar?" Amaira bertanya, menatap wajah ayahnya.
"Baik, bagaimana denganmu?" Maverick balas bertanya.
"Tentu saja baik!" Amaira cengengesan.
"Kenapa kau keluar dengan baju tipis, heh?" Maverick sudah kembali dengan tampang datarnya, melirik kearah belakang, ternyata semua telah menunggunya.
"Hehe, maaf aku terlalu senang liat ayah," Amaira berkata.
"Ayah sudah pulang rupanya," Fred dan Elios bergabung. "Bagaimana perjalanannya?"
"Sangat merepotkan, ada banyak masalah di Shenril." Tukas Maverick.
"Dimana paman?" Elios menelisik penampilan ayahnya.
"Dimana lagi, pasti tertinggal bukan?" Fred di sampingnya mengerdikkan bahu.
"Amaira sebaiknya kau kembali ke kamar, udaranya dingin." Perintah Maverick.
"Tapi-"
"Jangan membantah, ku dengar kondisimu belum pulih sepenuhnya, cepat kembali ke kamarmu." Maverick berkata cepat.
"Kaila pastikan dia tidak berkeliaran malam-malam lagi," Maverick berjalan masuk, meninggalkan semua di teras.
Amaira menghela nafas, yah, mau bagaimana lagi. Maverick tetap Maverick, mana bisa orang itu berubah dalam sekejap?
Amaira berjalan gontai kembali ke kamarnya, di ikuti Kaila.
"Kalian tidak punya kerjaan ya?" Amaira melirik malas ke belakang. Dua orang pemuda itu mengangkat bahu santai.
"Ada kok." Jawab Elios. "Tugas buat jaga Amai."
Amaira memutar bola matanya jengah, terserah mereka deh.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Sang Antagonis
FantasyApa?! Aku jadi Antagonis ? Its okay, aku tinggal merubah alurnya kan? *** Bukankah hal yang wajar kalau sang Antagonis dalam novel memiliki ending yang buruk? Atau tragis? Sama seperti Amaira , sang Antagonis dalam novel berjudul 'Red lily'. Dikisa...