S2. 98

561 44 2
                                    

"Huh, luar biasa," celetuk Sara, saat ini ia berada di depan singgasana bersama beberapa orang lainnya. "Dia bahkan tidak menghabiskan sihirnya setelah pertarungan sia-sia itu." ucapnya dengan nada kekesalan.

"Fufufu, nampaknya ada yang cemburu dengan tamu baru kita~" seseorang menyahut.

Sara menilik gadis itu dengan malas, "Dari mana saja kau?"

"Hah, kau lupa? Aku masih harus mengawasi para manusia kotor itu," gadis itu menyibak rambut pirangnya ke belakang. "Mereka sedang keteteran, kakakku pun tidak bisa diandalkan."

"Kakak?" Sara memandang remeh. "Kau benar-benar mendalami peranmu, ya."

Julianne terkekeh sinis. "Tentu saja, melihat mereka hancur seperti itu rasanya saangat melegakan!" Julianne meregangkan tubuhnya dengan santai.

"Ah, aku jadi kangen kak Fred. Kira-kira kapan dia bangun?" Julianne tertawa kecil, ikut duduk di kursi empuk itu. "Ah, ini semua gara-gara kau, kak Fred-ku jadi pucat seperti itu!"

Sara tidak menanggapinya, dia lebih memilih beranjak pergi keluar.

"Tuan benar-benar, deh." Dia berjalan menuju barat, tempat dimana pohon-pohon tidak tumbuh sepenuhnya. Satu wilayah gersang yang jarang ditumbuhi pohon.

***

Buakh! Sraaak!  Tubuh itu kembali terlempar, membuat garis panjang di tanah gersang. Burung-burung gagak berterbangan, berpindah ke pohon kering lainnya. Disana gelap, langit malam pun tidak menampilkan bintang-gemintang. Hanya ada awal tebal dengan kilat petir yang sesekali menyambar.

"Aku akui ketahanan fisikmu memang luar biasa, Luke." Seseorang melangkah mendekati tubuhnya yang tergeletak.

Rambut peraknya kusut berantakan. Dia dengan gemetar mengangkat kepalanya. "Dasar baji—"

Brak! Dia kembali terhempas menabrak pohon kering. Diam tak bergerak.

"Ah, sejak kapan kau jadi cerewet seperti ini?" Rion memandang rendah. "Oh, aku ingat, sejak kau memandangi nona itu dari kejauhan..."

"Jangan sentuh Amaira, bajingan..." Luke gemetar menggerakkan badan, berusaha mengangkat kepala. Darah terus mengalir melewati wajahnya, tercecer di atas tanah.

Rion tertawa, dia berjongkok lalu menatap Luke. "Kau tahu dia bukan Amaira yang asli, bukan?" senyumnya merekah lebar.

"Siapapun dia, aku tidak peduli," Luke tertatih-tatih, mencoba berdiri. "Aku akan melindungi—"

Bruak!

"Keputusan bodoh," Rion melirik ke arah belakang. "Kemarilah, Sara." perintahnya.

"Ya, tuan." Sara berpindah dengan cepat. Ikut menatap Luke dari samping Rion. "Apa yang harus aku lakukan dengan dia?"

"Biarkan dia ditemukan orang kekaisaran," Rion berkata datar. "Dia masih bisa berguna."
Dia tersenyum tipis, menarik nafas ringan. "Dengar ini baik-baik Duke," Rion berseru, berharap Luke bisa mendengarnya dari jarak puluhan meter.

"Kau bisa membawa kembali nona-mu itu dengan satu syarat," Rion menyeringai, dia yakin Luke mendengarnya. "Serahkan wilayah-mu itu, semuanya."

Sara berjalan mendekati Luke, dalam satu kali hentakan kakinya, sebuah lingkaran sihir terbentuk, dan mereka segera lenyap. Beberapa menit melewati portal, mereka sampai di sebuah bendungan besar. Sara segera mendorong jatuh Luke. Pria itu tanpa perlawanan lagi, membiarkan dirinya tenggelam, mulai terseret arus sungai.

"Kuharap kau tidak mati," Sara bergumam pelan. "Meski itu tidak mungkin." Dia menatap arus sungai yang deras. Pikirannya ikut terhanyut, sepotong-potong ingatan mulai tergambar jelas.

Takdir Sang AntagonisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang