Bab 1a

22.7K 1.5K 20
                                    

Langit sore tidak seindah yang digambarkan orang-orang yang suka dengan senja. Tidak semanis kata-kata pujangga, yang mengatakan kalau langit jingga adalah yang terbaik pada penghujung hari. Sering kali, manusia meromantisasi apa yang sebenarnya biasa saja, menjadikannya terlihat indah dan sempurna. Pada kenyataannya, hanya warna tembaga biasa dan bahkan penuh muram durja.

Seperti halnya hari ini, langit tidak berbeda dari biasa, cerah dan cenderung panas, dengan angin yang bertiup malas. Orang-orang yang melangkah keluar masuk dari pengadilan, dengan keringat membasahi tubuh. Sama sekali tidak ada yang berhenti untuk sekedar menikmati senja.

Mayra duduk di tangga, menunduk menekuri lantai yang keras. Tidak memedulikan sekelilingnya yang ramai. Jika diijinkan, ia hanya ingin duduk diam, meratapi diri serta merenungi nasibnya. Ia tidak pernah mengatakan dirinya sedang sial, tapi hatinya terlalu lara untuk sekedar tersenyum dan menyapa satu dua orang yang lewat.

Apa artinya hidup, kalau pada akhirnya ia kalah. Membayangkan sebagai orang paling teraniaya, dan akhirnya semua yang dilakukan salah. Ia bukan hanya kehilangan anaknya tapi juga harapannya.

"Perempuan sepertimu, tidak tahu diuntung. Sudah bagus Adam memberimu kesempatan kedua. Malah kamu sia-siakan!"

Tentu saja ia menolak, saat suaminya ingin menikah lagi. Ia marah karena dikhianati. Bukankah wajar kalau seorang istri menginginkan suaminya hanya untuk dirinya sendiri? Kenapa orang-orang justru menyerangnya?

"Mayra, terima saja perjanjian dari suaminya. Lupakan masa lalu, siapa bilang kalau suami beristri dua tidak bisa adil?"

Suara ibu mertuanya kembali terngiang, dan Mayra yang tidak berdaya, mencoba untuk tetap melawan. Mengorbankan banyak hal termasuk anaknya.

Cantika, anak perempuannya yang cantik dan ceria. Berumur empat tahun dengan rambut ikal yang menggemaskan. Ia rela memberikan apa saja untuk membuat Cantika bahagia, tapi tidak dengan mengorbankan dirinya. Banyak yang mengatakan dirinya egois, lebih mementingkan harga diri dibandingkan anak. Lalu, apa artinya pernikahan kalau pada akhirnya, sang istri yang harus mengalah demi ego suami.

"Mamaaa, Cantika ikut. Mamaaa, jangan tinggalkan Cantika."

Suara teriakan dan tangis anaknya kembali terngiang, beberapa hari sebelum ia memutuskan untuk bercerai, Mayra kehilangan hak untuk mendekap anaknya. Padahal, ia yang mengandung, menyusui, merawat saat sehat maupun sakit, dan harus kehilangan buah hatinya, kalah oleh uang dan kekuasaan. Mayra memejam, menyelonjorkan kaki dan tersentak saat seorang laki-laki hampir terjatuh karena tersandung olehnya.

"Ups!"

Laki-laki itu meneggakan tubuh, menatap Mayra yang duduk dengan mata berkaca-kaca.

"Maaf, nggak sengaja," ucap Mayra gugup.

Laki-laki menggeleng, rambutnya yang sedikit panjang, mengayun di kepalanya yang tertimpa matahari sore. Wajah laki-laki itu tampan yang sepertinya ras campuran, bukan orang lokal. Dengan jas abu-abu membalut tubuh. Belum sempat laki-laki itu beranjak, seorang laki-laki pedagang minuman dengan nampan di tangan melewati mereka. Entah apa yang membuat laki-laki itu terpeleset. Nampan berisi beberap gelas es teh terjatuh dan naas, menimpa kepala Mayra. Untung saja laki-laki berjas abu-abu bertindak sigap dengan menampar nampan, membuat es teh tumpah dan mengenai bahu serta bagian atas tubuh Mayra.

"Kaaak, maaf, nggak sengaja!"

Pedagang es teh meraungkan permintaan maaf, merapikan es tehnya yang berantaka. Mayra menatap tubuhnya yang basah dan lengket, menghela napas panjang. Ia tidak mengindahkan permintaan maaf si pedagang, membuka dompetnya yang basah dan berniat mencari tisu, ternyata nihil. Hari ini ia benar-benar apes.

RetakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang