Bab 10a

10.8K 1K 23
                                    

Dion mengamati dalam diam, bagaimana Mayra bekerja. Perempuan itu sepertinya terlahir untuk bekerja di dapur. Gerakan tangannya sangat cepat dan luwes. Mayra tidak hanya memasak tapi juga menyajikan masakan dengan cara yang elegan. Tidak hanya itu, dia memodifikasi beberapa masakan menggunakan resepnya sendiri. Tentu saja, setelah mendapat persetujuan dari Risty dan Dion. Dalam dua minggu, terjadi peningkatan pengunjung karena masakan Mayra yang luar bisa. Sop butut yang bening dan gurih, menjadi menu andalan tentu saja setelah tongseng sapi mereka.

Setiap kali sebelum tutup restoran, Mayra mengajaknya berdiskusi tentang keluh kesan pelanggan soal masakannya. Mereka juga mencoret menu yang dianggap kurang diminati dan menggantinya dengan menu baru.

"Kamu bisa masak bebek betutu?" tanya Dion suatu hari saat mereka mengobrol di bagian belakang restoran. Sementara para pegawai membersihkan peralatan, para koki beristirahat.

"Bisa, aku pernah belajar dan juga mempraktekkannya di restoran. Kalau kamu mau, aku buatkan kamu besok."

"Kamu berencana mengganti menu yang mana dengan itu?"

"Nggak ada, hanya ingin ditambahkan dalam daftar menu kalau kamu suka."

"Repot masaknya?"

"Semua bahan masakan, memang merepotkan tapi kalau persiapan matang, ngak ada masalah. Aku bisa datang lebih pagi untuk membuat bumbu, memasak bebek secara perlahan hingga meresap. Kuahnya kental. Dijamin banyak yang suka. Itu saja."

Dion memikirkan perkataan Mayra. Secara tidak langsung, perempuan di sebelahnya mengajaknya berinovasi dalam menu. Ini hal yang bagus, tapi harus dipikirkan masak-masak.

"Bagaimana kamu mendapatkan bebek yang fresh, kalau nanti kita buat itu."

Mayra tersenyum. "Seperti yang aku bilang, akan datang lebih pagi untuk ikut ke pasar dan memilih bebek terbaik."

"Merepotkan."

"Demi kepuasaan pelanggan, sudah selayaknya seorang koki itu repot."

"Gajimu nggak sebesar itu, sampai kamu mengabdikan waktumu untuk restoran."

"Kalau begitu, aku akan berusaha sampai kamu mau nggak mau menaikkan gajiku, karena pekerjaanku bagus. Oke, Boss?"

Mayra mengerling dan Dion tertawa saat melihatnya. Ia terbatuk kecil, dan secara spontan Mayra menepuk punggungnya. "Tadi habis hujan, jadi dingin. Kamu mau bicara di dalam?" ucap Mayra kuatir.\

"Nggak, di sini nggak terlalu dingin. Memang akhir-akhir ini aku sering flu."

Mayra menatap Dion yang kembali batuk. Wajah laki-laki itu pucat dan saat terbatuk, urat wajahnya terlihat karena menahan sakit. Ia bangkit dari bangku dan berpamitan pada Dion.

"Tunggu di sini sebentar."

Dion menutup mulut dan mencoba menghela napas panjang untuk meredakan batuknya. Ia tidak merasa kedinginan sama sekali tapi entah kenapa merasa kalau udara terlalu kering. Ia mencoba mengendalikan batuk dengan minum air tapi tidak mempan.

Mayra datang 10 menit kemudian dengan gelas besar berisi minuman panas dan menyodorkan padanya.

"Minum, wedang jahe panas. Semoga bisa meredakan batuk. Aku kasih sedikit gula merah untuk ngurangi pedas rempahnya."

Dion menerima dan menghidu minuman di tangannya. Aroma rempah menyengat penciumannya. Ia mengenali aroma jahe, serai, dan sepertinya ada biji pala. Dengan hati-hati ia menyesap, membiarkan raha hangat menyentuh tenggorokan. Setelah beberapa kali tegukan, batuknya mereda.

"Wow, ramuan apa ini? Kenapa manjur untuk batuk?" tanyanya.

"Resep rahasia," jawab Mayra. "Habiskan minumanmu, hindari angin dingin dan lain kali kalau habis hujan, jangan keluar."

"Hah, kamu mengomeliku seakan aku anakmu."

Mayra tersenyum. "Seandainya saja, aku bisa mengomeli anakku, pasti menyenangkan." Ia menghela napas panjang, menatap langit pekat. "Entah di mana anakku sekarang. Harusnya, jam segini sudah tidur."

"Kenapa kamu nggak ngambil dia untuk tinggal sama kamu?" tanya Dion dan melihat wajah Mayra meredup karena pertanyaannya.

"Aku mau, tapi nggak sekarang. Aku ingin kerja keras, ngumpulin uang, gugat cerai suamiku, dan dapatin hak asuh Cantika. Semua bisa aku lakukan, kalau aku punya uang."

"Selama ini aku selalu mendengarmu bicara soal anak, tapi sama sekali nggak sebut suami. Apa kamu benar-benar sudah ingin melepaskannya?"

Mayra mengangguk mantap, mendongak ke langit gelap dengan pandangan mengembara. "Untuk apa kita memegang tali kekang dari kuda yang ingin berlari liar di padang rumput. Tidak peduli kalau kita menyediakan banyak rumput di kandang, si kuda selalu beranggap kalau rumput itu tidak segar. Membosankan makan dari tempat yang selalu sama. Dia ingin mencoba hal baru, memetik rumput segar dan berpikir, barangkali di padang luas, dia akan lebih bebas dan bahagia. Aku ... anggap saja pemilik kuda itu. Dari pada aku jatuh, terseret, luka luka, karena mempertahankan kuda liar, lebih baik aku melepaskannya. Yang hilang dariku adalah rasa memiliki, bagaimanapun, kuda itu milikku. Tapi, di satu pihak aku bersyukur, selamat dari bahaya."

Mayra menghela napas panjang, menoleh pada Dion. "Maaf, ceritaku membosankan."

Dion menggeleng. "Nggak, aku senang mendengarnya. Yang kamu katakan itu benar, tidak usah mempertahankan sesuatu yang ingin pergi dari kita."

"Awalnya, aku merasa sakit hati. Sangat marah, dan kecewa. Bahkan menyalahkan diriku sendiri sebagai istri yang tidak becus mengurus suami." Mayra menepuk dadanya, mencoba melonggarkan tekanan di bagian dalam tubuhnya. "Lalu, suatu malam, saat aku berbaring dengan luka-luka di tubuh, karena pukulannya—"

"Apaaa? Dia memukulmu? Laku-laki bajingan! Hanya bajingan yang berani memukul perempuan!" tukas Dion emosi dan terdiam saat kembali batuk.

Mayra mengusap punggungnya. "Jangan emosi. Sudah berlalu. Itu terjadi sebelum aku keluar dari rumah itu. Aku sudah mencoba berdamai dengan keadaanku. Mengatakan kalau semua yang terjadi bukan salahku. Suamiku berselingkuh, itu murni keputusannya. Untuk apa aku menyalahkan diri sendiri? Dari situ, aku punya keberanian untuk melarikan diri."

Dion meneguk minuman berempah hingga tandas. Mengusap mulut dengan punggung tangan dan menatap Mayra lekat-lekat. "May, aku akan membantumu untuk mendapatkan anakmu dan menggugat cerai suamimu. Yang kamu lakukan hanya bekerja keras, untuk membuat restoran ini stabil dan ramai pengunjung."

Mayra mengangguk gembira, harapan kecil mulai tumbuh di hatinya. "Terima kasih. Sudah pasti akau akan membantumu. Jangan kuatir."

Percakapan mereka terhenti saat Nirmala memanggil dan mengajak Mayra pulang. Berpamitan dengan sopan, Mayra meninggalkan Dion duduk sendiri di teras belakang.

"Kamu kelihatan akrab sama Pak Dion. Malah sekarang saling manggil nama." Nirmala berujar pada Mayra yang duduk di sampingnya. Keadaan angkot cukup sepi, hanya ada lima penumpang dan dua lainnya laki-laki. Satu penumpang perempuan berumur cukup tua, duduk di dekat pintu.

Mayra menyandarkan kepala pada jendela yang sedikit terbuka, membiarkan angin menerbangkan rambutnya.

"Bukannya aku udah bilang kamu, kalau memang kenal."

"Iya, kamu bilang dia pernah menabrakmu. Tapi, aku nggak tahu kalau bakalan sedekat ini."

"Itu, karena kamu satu frekuensi soal menu. Ngomong-ngomong, Dion setuju aku membuat bebek betutu. Nanti aku buatkan lebih satu porsi untuk ibumu."

Nirmala mengangguk dan tersenyum cerah. "Kamu baik banget sama ibu dan anakku. Tiap hari ada aja makanan untuk mereka." Ia mengangkat kantong merah di tangan. "Hari ini apa? Sop pedas dan bakwan jagung."

Mayra mengibaskan tangannya. "Halah, kecil itu. Lagi pula, aku udah ijin Dion. Kalau dia perhitungan soal makanan makanan itu, biar potong gajiku. Ngomong-ngomong, sop itu benar-benar pedaaas. Kesukaan ibumu. Ada tambahan sambel di dalamnya."

"Kamu, sangat berlebihan."

"Nggak apa-apa, yang penting anak sama ibumu gembira."

Mayra tidak meneruskan ucapannya saat perempuan tua di dekat pintu menjerit. Dua laki-laki di dalam angkot mengacungkan belati pada mereka dan salah seorang berkata mengancam.

"Ada yang berani macam-macam, nyawa taruhannya."

**

Di Karyakarsa bab 33-36 sudah upload hari ini.

RetakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang