Bab 17b

8K 991 56
                                    

Di ruang kerja yang sepi, Adam duduk menghadap jendela sambil merokok. Ia membuka sedikit jendela kaca dan memberinya pemandangan halaman parkir yang penuh dengan kendaraan roda empat maupun dua. Sepulang dari pengadilan, ia berniat langsung ke rumah tapi telepon dari mertuanya membuatnya mau tidak mau kembali ke sini.

Ternyata, ada banyak kesalahan terjadi, dari mulai distributor yang salah kirim barang, sampai masalah pabrik yang sedikit kacau karena kurangnya kordinasi. Sang mertua laki-laki, memanggilnya hanya untuk memaki dan membentak, mengatakan kalau dirinya tidak becus bekerja. Padahal, ia tahu kalau masalah pabrik itu tugas Dirga, si anak pertama. Entah kenapa, semua kesalahan ditimpakan padanya.

"Kamu kerja jadi manajer, kapan becusnya, hah! Masa hal seperti ini terus menerus terjadi?"

Adam membela diri tentu saja. "Pa, masalah pabrik bukannya itu tugas Pak Dirga?"

"Memang! Aku sudah konfirmasi dengan Dirga, dia mengatakan kalau sebelumnya sudah memberitahumu untuk menanganinya. Dirga sedang banyak kerjaan di luar kota. Lalu, apa yang kamu lakukan, Adam! Mengacaukannya!"

Adam hanya bisa terdiam, saat setumpuk kerta-kertas dilemparkan ke wajahnya. Ia tidak bisa melawan karena yang sedang marah selain mertua juga atasannya. Bagaimana ia bisa membela diri dengan mengatakan pada Hervan kalau anak sulung laki-laki itu keluar kota hanya untuk mencari pelacur dan bersenang-senang, bukan bekerja yang selama ini seperti disangka banyak orang. Bagaimana Adam bisa tahu? Tentu saja, ada mata-mata yang ia tempatkan di samping kakak iparnya, dan orang itu memberinya informasi yang akurat tentang Dirga.

"Pergi! Selesaikan sekarang! Jangan pulang kalau belum beres hari ini!"

Ia menantu sekaligus manajer, tapi diperlakukan seperti budak hanya karena miskin. Terkadang harga dirinya sebagai laki-laki memberontak, tapi Adam berusaha untuk bersabar. Bagaimana pun juga, ada misi lain yang lebih penting untuk dicapai di perusahaan ini. Tidak masalah kalau mereka memperlakukannya seperti anjing sekalipun. Suatu hari, anjing itu akan menggigit tangan tuannya.

Mengisap rokok sampai habis, Adam teringat akan pertemuannya dengan Mayra hari ini. Perempuan yang sudah menjadi mantan istrinya itu, terlihat begitu cantik meskipun badannya lebih kurus. Tersemat sedikit rasa menyesal dalam dada, setiap kali mengingat Mayra. Ia memang laki-laki brengsek yang dibutakan oleh nafsu dunia. Tapi, bukankah laki-laki akan melakukan hal yang sama? Siapa yang bisa menolak pesona nona kaya, dibandingkan istri miskin yang tidak punya apa-apa. Adam mencari pembenaran dalam hati, mematikan rokok dan kembali bekerja. Ia adalah budak dari keluarga Dira, suatu hari nanti, ia akan menginjak mereka semua hingga terkapar di bawah kakinya.

**

"Teman-temanmu baik semua, senang punya sahabat seperti mereka."

"Memang, kami saling support satu sama lain. Apa kamu tahu hal lucu yang terjadi antara aku dan Grifin?" tanya Dion.

Mayra menggeleng. "Ada apa?"

Dion tergelak sebelum bicara dengan nada malu. "Aku dijodohkan dengan kakekku sama wanita bernama Andini. Ironisnya, Andini justru sangat menyukai Grifin. Tentu saja, Grifin tidak menyukai perempuan itu dan alasan Andini menerima perjodohan kami adalah, ingin dekat dengan sahabatku sekaligus laki-laki pujaannya dan juga ... restoran ini."

Mayra tercengang mendengar penuturan Dion. Sungguh sebuah kasus yang aneh. Dion sudah dijodohkan dengan perempuan lain, tapi masih begitu tenang menerimanya. Seolah, itu bukan hal besar. Padahal, rumah tangga adalah hal terpenting seumur hidup. Sekali membuat keputusan, tidak ada jalan mundur kecuali perceraian. Ia sudah mengalami itu.

"Kenapa Andini terobsesi dengan restoran ini?"

"Karena lokasi restoran ini yang strategis dan tanahnya yang luas. Dia berencana membuat butik atau apalah, di sini. Dia pikir, kalau menjadi istriku akan mudah menguasai tempat ini. Dia salah! Aku akan melakukan apa pun untuk menggagalkan perjodohan kami."

Mayra menatap Dion yang menghela napas panjang. Wajah laki-laki itu terlihat murung. Ia ikut prihatin mendengar penuturannya. Dion batuk sekali lalu mendesah.

"Aku sangat menyayangi Kakek. Dia dan Nenek yang merawatku dari semenjak orang tuaku bercerai. Tapi, perjodohan ini memang tidak masuk akal."

"Apakah Kakek punya alasan kuat untuk menjodohkan kalian?"

"Ya, kakek Andini berteman dengan kakekku, sungguh ironi. Masa depanku dipertaruhkan untuk sebuah persahabatan. Alasan lainnya, Kakek takut aku sendiri kalau dia mati nanti. Sedangkan sampai sekarang aku belum punya pacar. Sungguh banyak yang dipikirkan kakekku."

Mayra terdiam, menatap bunga dalam pot yang bergoyang terkena angin malam. Suasana restoran sudah sepi, tersisa hanya dirinya, Dion, dan seorang penjaga gerbang yang bertigas malam hari. Entah mulai kapan, ia dan Dion terbiasa berbincang berdua di halaman belakang. Menikmati suasan restoran yang sepi saat tidak sedang melayani pelanggan.

Mereka akan bicara apa saja, dan saling mendengarkan. Layaknya dua sahabat yang mengerti satu sama lain, itu yang dirasakan Mayra pada Dion. Kebaikan Dion padanya, jauh melampaui harapannya dan ia bersyukur untuk itu.

"Aku mengerti alasan kakekmu. Meskipun soal perjodohan memang sedikit aneh, tapi senang rasanya punya keluarga yang memperhatikan kita. Kamu lihat aku bukan? Sebatang kara. Hanya punya Cantika, itu pun direnggut paksa dariku. Kamu tahu alasan hakim? Aku dianggap tidak mampu menghidupi seorang anak, tidak peduli meskipun aku punya pekerjaan tetap dan penghasilan. Lawak dan menyedihkan."

Dion mengernyit, memikirkan kata-kata Mayra. "Kamu dianggap tidak mampu, karena kalah kaya sama istri baru Adam. Hakim rada-rada nggak rasional!"

Mayra tertawa, merasakan ironisnya kehidupan. "Mungkin, hakim menyuruhku menikah dengan orang kaya, baru bisa mengasuh Cantika. Seandainya semudah itu, aku pasti rela melakukannya. Semua demi Cantika. Aku kasihan dan merasa bersalah dengan anakku, harus menanggung beban penderitaan karena ulah orang tuanya."

"Hidup memang tidak adil, Mayra dan kita harus tetap menjalaninya."

Dua orang yang sedang dilanda masalahnya masing-masing, duduk berdampingan menatap gulita malam. Semilir angin menerpa tubuh mereka dan sesekali Dion terbatuk maka Mayra secara reflek mengusap punggungnya. Hal yang biasa dilakukan saat Cantika batuk. Dion sama sekali tidak canggung saat Mayra melakukan itu, menikmati sentuhan dan perhatian yang diberikan untuknya.

"May, aku punya usul. Mungkin ini sedikit gila, tapi bisa menyelesaikan masalah kita berdua."

Mayra mengangkat sebelas alis. "Usul apa?"

"Eh, bagaimana kalau kita menikah? Maksudku kawin kontrak. Dua tahun mungkin cukup. Kamu bisa mengandalkan statusku untuk mendapatkan Cantika dan aku, terbebas dari perjodohan. Bagaimana May?"

Mayra tercengang hingga tidak dapat bicara. Sama sekali tidak menyangka kalau Dion akan memberikan ide gila seperti itu.

RetakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang