Bab 8b

9.8K 1.1K 46
                                    

Mayra berniat pindah kos kalau si gondrong terus menerus mengganggunya. Ia sudah mengatakan niatnya pada Nirmala, satu-satunya teman yang dipunya dan jadi pendengar yang baik untuknya.

"Padahal, kos di situ murah. Tapi, kalau aku jadi kamu pasti takut sama laki-laki kurang ajar."

Mayra mengangguk. "Makin hari makin bikin jengkel. Tangannya nggak bisa diam, kalau lihat aku kayak pingin nyentuh."

Nirmala melotot marah. "Kamu bawa pisau aja!"

Mayra melongo. "Buat apa?"

"Tusuk dia kalau macam-macam."

Mayra tersenyum, mendengar pembelaan sahabatnya. Ia merasa beruntung, pada masa paling susah dalam hidup bisa menjadi teman Nirmala. Tidak mudah mendapatkan teman yang tulus dan apa adanya.

Nirmala tahu kisah hidupnya, ia sudah menceritakan semua. Tentang Adam yang berselingkuh dan gemar menganiaya. Nirmala mendukung penuh keputusannya untuk lari.

"Kamu kerja keras, kumpulin duit lalu gugat cerai. Soal hak asuh anak, semoga bisa berpihak sama kamu. Mengingat, papanya berselingkuh."

Saran dari Nirmala membekas di hati dan pikirannya. Memang itu rencannya, bekerja, mengumpulkan uang dan menggugat cerai. Ia akan berusaha sekuat tenaga, untuk mendapatkan hak asuh anak. Tidak peduli meskipun harus melewati pengadilan. Ia akan menyewa pengacara andal yang bnisa membantunya. Untuk itu, ia harus punya uang.

"Ngomong-ngomong, aku kemarin ketemu teman SMU. Katanya, ada lowongan kerja di restoran. Apa kamu mau ikut nglamar?"

Ajakan Nirmala membuat Mayra tertarik. "Mau, aku ingin jadi koki lagi."

Nirmala mengangguk. "Hooh, aku akan minta nomor kontak pihat restoran. Kamu jadi koki, aku bisa jadi pelayan."

Mayra menyetrika lembaran pakaian terakhir. Mendinginkan setrika uap, dan menumpuk pakaian yang sudah terlipat rapi. Ia masukkan ke dalam plastik dengan perlahan dan menyegelnya. Hari ini, ai sudah mencuci 20 kilo pakaian dan menyetrika hampir 15 kilo. Tangannya sudah mulai pegal. Selesai menata, ia membawa bungkusan ke bagian kasir yang ada di depan.

"Ngomong-ngomong, siapa yang kerja kalau kita berdua libur?" tanya Mayra.

Nirmala tersenyum, menyemprot cairan pelican ke atas permukaan pakaian sebelum menyeterikanya. "Kamu belum tahu? Kalau Minggu depan binatu libur tiga hari."

"Hah, belum. Ada apa?"

"Oh, lupa. Kamu lagi tidur waktu ada pengumuman. Katanya, pemilik ada urusan di kampung, jadi kita disuruh libur tiga hari. Pas bukan waktunya?"

Mayra menatap sahabatnya dengan berseri-seri. "Iya, kamu benar. Semoga saja, waktunya pas."

Semua rencana untuk ikut interview pekerjaan di restoran, membuat Mayra lebih bersemangat menjalani hari. Tak hentinya ia berdoa, semoga keberuntungan bisa berpihak padanya. Sudah lama ia menginginkan kembali bekerja di restoran dan sekarang adalah waktu yang pas, tanpa ada Adam yang menghalangi. Seandainya waktu itu Adam tidak memintanya berhenti bekerja, barangkali sekarang jabatannya adalah kepala koki atau minimal wakil manajer restoran. Sayangnya, impiannya terkubur karena suaminya. Namun, ia tidak menyesal saat memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya, itu karena anaknya. Demi Cantika, ia akan melakukan apa saja, bahkan mengorbankan kebahagiaannya.

Sayangnya, nasib baik tidak berpihak pada Mayra. Suatu pagi, saat ia hendak berangkat kerja, si gondrong mencegat langkahnya di tangga. Laki-laki itu dengan kurang ajar berniat menyentuhnya dan ia menepis keras.

"Kurang ajar!"

"Ups, Mayra. Jangan nolak gitu, ah. Aku tahu, kamu naksir aku'kan?"

"Jijik aku sama kamu. Minggir!"

Si gondrong merentangkan tangan, menutupi tangga. "Bagaimana kalau aku nggak mau? Kamu mau apa?"

Mayra mendengkus, menatap laki-laki di depannya dengan kebencian yang meluap-luap. Laki-laki pengangguran yang tidak tahu diri. Hidup di bawah belas kasihan istri tapi bersikap kurang ajar. Benar-benar bajingan sejati.

Dengan sekuat tenaga, Mayra mengayunkan tas yang dipegangnya. Tepat mengenail muka si gondrong dan membuat laki-laki itu terkesiap kaget. Ia mengayunkan sekali lagi, kali ini mengenai mata si gondrong. Tubuh laki-laki itu oleng jatuh dari tangga. Untung saja tidak ada luka-luka. Mayra bergegas melewatinya tapi tangan laki-laki itu berhasil mencengkeram kakinya.

"Mau kemana kamu, dasar perempuan jalang. Sok jual mahal!"

Mayra menjerit, memukul dengan panik dan menggigit tangan laki-laki itu. Si gondrong sekali lagi berteriak, kali ini berhasil memancing penghuni lain untuk keluar.

"Hei, apa-apaan kalian!"

Mayra berdiri dengan napas tersengal, menatap nanar pada perempuan yang berdiri di anak tangga paling bawah. Itu adalah istri si gondrong dan kelegaan membanjirinya. Namun, siapa sangka justru malapetaka yang lain datang."

"Sayaaang! Dia menggodaku. Perempuan jalang itu ingin tidur denganku, tapi aku menolak. Lihat, dia menggigitku karena maraah!" Si gondrong berlari ke arah istrinya.

Mayra menggeleng kalut. "Bu-bukan begitu. Ini salah paham."

Si perempuan berkacak pinggang, menatap bergantian pada suaminya dan Mayra lalu menunjuk marah. "Perempuan gatal! Dari awal kamu muncul aku sudah nggak suka. Tega-teganya kamu menggoda suamiku, hah!"

Mayra tidak dapat mengelak begitu saja, saat perempuan itu menaiki tangga dan ingin memukulnya. Ia menghindar dan tangan perempuan itu bergerak cepat untuk menjambak rambunya.

"Sundal sepertimu memang harus diberi pelajaran! Biar nggak gatal sama laki orang!"

Mayra menahan rasa sakit karena rambutnya ditarik keras. Ia mengulurkan tangan, menjambak rambut perempuan itu dan keduanya bergumul di tangga hingga pemilik kos datang untuk memisahkan. Ketua RT didatangkan, Mayra kalah suara saat si perempuan membela suaminya habis-habisan. Mayra tidak takut pada mereka, ia hanya bingung harus tinggal di mana kalau diusir.

Pertolongan datang saat ia sedang putus asa. Nirmala yang berniat menjemputnya karena tidak kunjung kerja, mengamuk saat mendapati Mayra diadili.

"Kemas barang-barangmu, May. Ikut tinggal di rumahku sekarang. Orang-orang ini buta kalau kamu korban!"

Mayra mengusap air mata, dan mengangguk. "Mala, terima kasih."

Nirmala mengangguk. "Sana, berkemas. Kita pergi."

Saat Mayra ke atas untuk mengemasi barang-barangnya, Nirmala mendekati si gondrong yang duduk bersebelahan dengan istrinya. "Kamu, laki-laki pecundang. Semoga suatu saat ada mengebiri kelaminmu!"

Mayra pergi dari kos menuju rumah Nirmala yang berada di lain gang. Rumah sempitnya, sempit dan nyaris tidak ada ruang untuk tidur. Tapi, ia bersyukur karena mereka mau menolongnya.

"Sementara, kamu bisa tinggal bersama kami. Sampai dapat kerjaan baru. Besok kita datang untuk interview."

"Terima kasih."

"Jangan sungkan, kita teman."

Mayra tidur berhimpitan bersama Nirmala dan ibunya yang sudah tua. Mereka beralas kasur busa tipis, dengan banyak peralatan makan serta memasak berada di dekat dinding. Bukan tempat yang layak untuk tinggal, tapi Mayra bersyukur tidak menggelandang di jalan.

Keesokan paginya, bersama Nirmala mereka menaiki angkot menuju restoran yang sedang mengadakan panggilan kerja. Mayra tidak dapat menahan rasa kagumnya, saat melihat exterior restoran yang klasik dan bergaya vintage. Ada banyak pelamar yang datang bersama mereka, dan menunggu di ruang samping restoran. Untuk pekerjaan pelayan, mereka diintervew satu per satu. Sedangkan koki, yang datang melamar lima orang dan kelimanya dibawa masuk dan menghadap langsung ke pemilik restoran.

Mayra tidak dapat menahan rasa kaget saat mendapati pemilik restoran ternyata Dion. Laki-laki itu pun mengenalinya dan tersenyum kecil.

"Mayra, kita berjodoh ternyata."

**

Di Karyakarsa sudah bab 28

RetakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang