Bab 15a

8.6K 950 60
                                    

"Kamu mau bicara apa?" Adam mencopot dasi dan sepatu, merebahkan tubuh di atas sofa. Memejam dan mengistirahatkan tubuhnya yang lelah.

Dira menelan makanan di mulutnya. "Perempuan miskin itu, tadi datang ke sekolah Cantika."

Mata Adam seketika membuka. "Siapa? Mayra?"

"Iya, dia."

Adam duduk tegak, menatap Dira. "Dia masih hidup? Mayra masih hidup?"

Dira mengernyit heran. "Tentu saja, dia masih hidup. Mulai kapan kamu mikir kalau dia mati?"

"Waktu itu, dia kabur dan aku mencari jejaknya. Kata tetangga dan juga satpam, dia kecelakaan. Aku pikir ...." Adam meneguk ludah. "Terjadi sesuatu dengannya."

Dira meraih tisu, mengelap bibirnya. "Kamu nggak bilang kalau cari dia? Kamu cuma ngomong kalau dia kabur."

"Iya, memang kabur. Dan aku—"

"Cari dia? Kenapa? Kangen? Nggak rela ditinggalin?"

Adam menggeleng. "Bu-bukan begitu, Dira. Bagaimana pun dia masih istriku."

Dira menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Makin lama dibahas, ia makin kesal soal Mayra dan kebodohan Adam yang mengejar perempuan itu. Ia menurunkan harga diri, rela tinggal di rumah kecil ini, tapi Adam membuatnya kecewa.

"Dia mengancamku, memaki keras dan mengataiku macam-macam. Dia bahkan nekat ingin menculik Cantika, untung saja anak itu teriak jadi bisa tertolong."

Adam terbelalak. "Mayra melakukan itu? Lalu?"

"Aku rebut Cantika, dan dia marah. Lalu mengancamku dengan membabi buta, membuatku gemetar ketakutan. Kamu tahu apa yang dia bilang? Katanya, kalau kamu nggak ceraikan dia ...." Dira menghela napas panjang dengan dramatis. "Dia akan menggunakan segala cara untuk menghancurkan rumah tangga kita. Aku benar-benar shock dan takut, sampai muntah." Ia mengusap dada dan bernapas pendek-pendek, seolah ada beban berat menghimpitnya.

Adam memukul sofa, memaki keras. "Tidak akan aku biarkan dia membawa Cantika pergi, dan juga merusak rumah tangga dia. Perempuan kurang ajar. Dia ingin cerai? Biar dia yang urus dan aku akan memberikan apa yang layak dia terima!"

Kemarahan Adam membuat Dira diam-diam mengulum senyum. Menyibak rambut ke belakang, ia menutup kotak martabaak, sementara Adam masih mengomel tak karuan.

"Bagaimana Cantika? Apa dia takut?"

Dira memasang wajah memelas. "Sangat takut. Sepertinya Mayra mengancam atau memaksa begitu. Cantika sudah betah sama aku, mana mungkin mau sama dia."

Adam menghela napas lega. "Kamu hebat, Sayang. Untung saja, kamu bisa mempertahabkan Cantika. Soal cerai, jangan kuatir. Aku pasti menceraikannya!"

"Baiklah, sebaiknya kamu mandi. Udah malam."

Adam mengusap wajah Dira dan mengecup bibirnya. "Terima kasih. Aku beruntung memilikimu."

Dira menahan dengkusan. Dari sudut matanya, ia mengawasi Adam yang masuk ke kamar mereka. Dalam hati bergumam keras, tentang beruntungnya Adam mendapatkan dirinya sebagai istri. Tentu saja, itu sebuah kebenaran. Mana ada di dunia ini, perempuan kaya raya dan cantik sepertinya, jatuh cinta dengan laki-laki miskin dan juga suami orang lain. Kalau bukan karena Adam yang menolongnya di saat kritis, ia tidak akan pernah menaruh hati pada laki-laki itu.

Dira memanggil salah satu pelayan dan menyodorkan bungkusan martabak. "Kalian harus habiskan malam ini. Nggak boleh ada yang tersisa."

"Baik, Nyonya."

Malam itu, para pelayan di rumah Adam pesta martabak. Mereka makan sambil mengobrol ceria, sementara di kamar kecil, Cantika merintih dalam tidur. Gadis kecil itu berbaring meringkuk sambil memegang perut.

"Mamaa, Cantika lapar. Mau maem, Mamaa."

Sayangnya, tidak ada yang mendengar rintihannya. Sendirian, Cantika menghadapi rasa lapar yang membuatnya menangis tiada henti.

**

Nirmala mengawasi Mayra yang merapikan semua pakaiannya ke dalam tas. Tidak terkecuali make-up dan barang-barang pribadi lainnya. Ia menggigit bibir bawah, ingin bertanya tapi ditahan. Ibunya datang untuk bertanya dan Mayra menjawab lembut.

"Iya, Bu. Pindahnya nggak jauh. Nanti bakalan sering datang."

Yang ditakutkan menjadi kenyataan. Mayra benar-benar akan pindah dari rumah ini. Setelah ibunya pergi bersama anaknya ke warung, Nirmala menyingkirkan rasa kesal dan bertanya pada Mayra.

"Kamu mau pindah?"

Mayra mendongak, menatap Nirmala yang bersandar pada tembok lalu mengangguk. "Iya, aku akan pindah."

"Kenapa? Rumah ini terlalu kumuh buat kamu?"

Mayra memasukkan semua ke dalam tas dan merapikannya. "Jangan sarkas, Nirmala. Nggak cocok buat kamu. Kita berdua sama-sama tahu, kenapa aku pindah."

"Karena Toro?"

Mayra menggeleng. "Bukan, tapi karena kamu nggak percaya sama aku. Sejujurnya, aku nggak peduli kamu ingin menjalin hubungan dengan siapa. Kalau itu laki-laki yang baik, aku justru akan mendukung. Tapi, Toro—"

"Dia juga baik. Kamu aja yang nggak bisa lihat!"

"Nah'kan? Kita selalu ribut soal ini dan aku nggak mau dibilang iri atau cemburu karena kamu punya pacar. Lebih baik aku yang pindah."

Rumah petak itu hening, sesekali terdengar suara teriakan dari orang yang berjalan di gang atau motor yang melintas. Selain itu, suasana cenderung lebih tenang. Para penghuni rumah yang lain, saat siang begini semuanya bekerja dan mereka pulang kala hari sudah larut. Kehidupan di kota besar yang keras, memaksa setiap orang yang tinggal di dalamnya untuk selalu bekerja demi memenuhi kebutuhan.

Nirmala mengamati Mayra yang sudah selesai berkemas. Sebentar lagi, sahabatnya itu akan pergi. Hati kecilnya ingin bertanya, di mana Mayra akan tinggal tapi kesombongannya menghalangi.

"Kamu sok bijak setelah jadi orang kepercayaan Pak Dion," ucapnya pelan.

Mayra menengadah heran. "Kenapa bawa-bawa Dion, Nirmala. Kita berdua tahu, dia nggak ada hubungannya sama kepindahanku. Lagi pula, memang sudah saatnya kita tentukan jalan hidup masing-masing. Aku sangat berterima kasih atas bantuanmu selama ini. Aku nggak akan lupa, semoga kelak aku bisa membalasnya." Ia mengangkat tas, dan berdiri di depan Nirmala. "Tempat baruku, ruangan kecil di sebelah gudang. Kamu bisa datang kapan aja kalau ingin ngobrol. Nirmala, jaga ibu dan anakmu baik-baik dan jangan mengambur-hamburkan uang untuk Toro. Satu lagi, jangan mudah takluk dengan rayuannya. Aku nggak mau kamu nyesal nantinya."

"Oh, pindah ke restoran!" sela Nirmala lugas. "Ternyata benar, kamu pegawai kesayangan Pak Dion. Makanya sok mau menasehatiku!"

Mayra menghela napas panjang, merasa percuma bicara dengan Nirmala. Ia mengangguk dan berpamitan lirih sebelum melangkah ke pintu.

"Selamat tinggal, dan makasih."

Nirmala mengepalkan tangang. "Memang beda kalau orang udah kaya. Lupa sama temen! Lupa asal usul!"

Mayra mengabaikannya, ojek yang dipesannya datang. Kebetulan ibu dan anak Nirmala baru datang dari warung. Mayra berpamitan dengan mereka, sebelum meninggalkan rumah menaiki ojek. Saat deru kendaraan membawanya menjauh, Mayra berharap Nirmala sadar akan kebejatan Toro. Hanya itu yang menjadi kekuatirannya.

**

Saya akan posting cerita ini setiap hari di Wattpad dan grup, karena di Karya Karsa sudah ending, sampai bab 60 dan menunggu extra part.

RetakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang