Bab 5b

10.9K 1.1K 23
                                    

"Minum, wajahmu pucat. Biar nggak masuk angin."

"Aku kurang suka minuman ini."

"Tetap saja, harus diminum."

Menerima dengan enggan, Dion menyesap perlahan. Pikirannya dipenuhi tentang perempuan cantik yang tergolek di atas ranjang rumah sakit. Biasanya, orang yang sedang sakit atau terluka, akan senang kalau ada yang menemani dan merawat. Mayra berbeda, lebih suka sendirian. Pasti rasanya sangat menyedihkan, saat menjalani masa sulit dalam hidup dan berpisah dengan keluarganya.

Ia sendiri merasa beruntung, ada kakek yang selalu ada di sisinya. Dengan orang tua yang bercerai, sampai akhirnya mereka meninggal, ia diasuh oleh kakek dan neneknya. Perasaan melankonis menguasainya dan Dion menyesap susu jahe lebih banyak dari yang seharusnya.

"Adikmu menelepon ke rumah, katanya kamu memblokir nomornya."

Dion mengernyit. "Siapa, Kek?"

"Feri."

Dion tidak dapat menahan dengkusan, Feri adalah anak papanya dengan perempuan lain. Mereka memang satu darah dari sang papa, tetap saja ia menganggap kalau Feri itu orang lain.

"Nggak ada urusan, kenapa harus telepon."

"Dion, bagaimana pun mereka saudaramu. Kelak, mereka akan menemani kalau kakek pergi."

"Kakek nggak akan kemana-mana dan jangan paksa aku untuk bersikap baik sama mereka. Yang membuktikan kalau kami satu darah, hanya karena lahir dari sperma milik Papa. Selain itu? Nggak ada. Setelah Papa meninggal, mereka mencoba mendekat? Kenapa? Karena bangkrut!"

Damar tidak menyangkal perkataan Dion. Setelah kematian anak laki-lakinya, memang kondisi keluarga Feri kurang baik. Banyak utang, gaya hidup yang luar biasa hedonis, membuat mereka seolah kekurangan uang. Dengan mendekati Dion, mereka berpikir akan mendapatkan harta warisan yang sama banyaknya. Damar tidak akan membiarkan itu terjadi.

"Feri menginginkan restoran itu," ucapnya lembut.

Dion tersentak lalu menggeleng. "Nggak akan. Nenek suka dengan restoran itu. Aku akan mengelola dan mempertahankannya demi Nenek. Lagi pula, mereka sudah ada perusahaan untuk diurus? Kenapa masih merecokiku?"

Tidak ada jawaban dari Damar, karena sama seperti Dion, ia akan berbuat apa pun demi membuat restoran peninggalan istrinya tetap berjalan. Meski untuk itu, ia harus mengancam Dion menggunakan pernikahan paksa.

**

Mayra menjalani malam pertamanya di rumah sakit dalam keadaan rindu. Ia merindukan kehadiran anaknya yang cantik dan lucu. Bukan luka-luka yang membuatnya takut, tapi perasaan kalau tidak akan pernah bisa menjumpai adiknya lagi. Mengabaikan rasa kesepian, Mayra makan teratur meski tidak ada rasa, dan minum obat juga dengan teratur.

Hari pertama, Dion datang sore hari. Membawa dua kotak makanan berisi cemilan dan potongan buah untuknya. "Sebenarnya, aku mau bawa parcel buah, tapi sadar kalau kamu belum bisa ngupas."

Mayra mengucapkan terima kasih untuk perhatian laki-laki itu.

"Sudah seharusnya, dan biaya tagihan obat serta rumah sakit sudah aku bayar. Kamu tetap tenang di sini sampai sembuh."

"Terima kasih, Pak Dion."

Dion tertawa. "Eit, jangan panggil aku, Pak. Cukup Dion saja. Kesannya jadi kayak orang tua."

"Baiklah, Dion."

Dion tidak lama-lama menjenguknya, hanya tiga puluh menit, bicara basa-basi lalu pergi. Di hari kedua, laki-laki itu datang saat malam. Membawa puding coklat dan memberikannya langsung pada Mayra.

"Coba, enak nggak? Dari restoranku."

Mayra mencecap puding di tangannya. "Enak. Kamu punya restoran?"

Dion mengangguk. "Warisan dari kakekku."

"Pasti besar."

"Cukup besar kalau soal tempat, tapi tentang pembeli belum sebesar yang lain. Maklum, aku pemian baru di bidang kuliner, masih banyak yang harus aku pelajari."

Mayra cukup senang bicara dengan Dion. Ia mendengarkan dengan seksama, mimpi-mimpi, keinginan, serta rencana Dion untuk restorannya. Untuk beberapa hal ia tidak setuju tapi tidak mengatakan apa pun, karena itu bukan urusannya. Lagi pula, mereka tidak berteman, bertemu dan berkenalan pun karena terpaksa. Mayra merasa senang karena Dion sangat bertanggung jawab dengan keadaannya.

Hari ketiga di rumah sakit, Dion tidak datang. Ia tidak tahu kenapa, dan tidak bisa bertanya karena tidak punya ponsel. Ia menghela napas, menyadari ponselnya yang terjatuh saat tertabrak. Beruntung dompet dan surat-suratnya masih utuh. Secara perlahan, bahu dan kepalanya yang sakit perlahan mulai mereda. Ia bisa menggerakan sedikit demi sedikit tanpa rasa sakit yang berlebihan.

Di hari keempat, Dion datang siang hari dengan wajah yang sedikit pucat. Laki-laki itu terbatuk sesekali dan mengatakan terkena flu.

"Kemarin aku bergadang sama temanku di restoran. Kami mabuk dan yah, sepertinya aku tidur di lantai. Jadi, masuk angin. Bagaimana keadaanmu?"

Mayra tersenyum. "Sudah jauh lebih baik."

"Good, semoga dalam beberapa hari kedepan, kamu sudah bisa keluar dari rumah sakit, Mayra. Pasti rasanya membosankan di sini."

Mayra mengakui kalau berada seharian di rumah sakit memang membosankan, hanya ia saja ia tidak tahu kalau nanti keluar dari rumah sakit akan kemana? Tidak ada tempat tujuan untuknya dan sepertinya, ia harus mencari kerja sebelum membuat rencana hidup yang lain.

RetakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang