Kesibukan Mayra bertambah semenjak menikah. Ia mengurus restoran, sekaligus rumah. Tidak peduli betapa banyak tenaga keluar, yang diinginkan hanya membuat orang-orang tecintanya merasa nyaman. Ia merawat Damar seperti orang tuanya sendiri. Memperhatikan asupan obat, makan, dan hal lain. Sampai-sampai Damar menggerutu dengan bahagia, kalau hidupnya sekarang jadi lebih teratur.
Begitu pula dengan Dion. Lambat laun, Mayra merasa sungguh-sungguh menyayangi suaminya. Meskipun sudah hampir empat bulan menikah dan sama sekali belum pernah bercinta, ia tidak peduli. Asalkan bisa membuat Dion bahagia, itu sudah cukup baginya.
Kadang-kadang, kalau pikiran buruknya sedang muncul, ia akan bertanya dengan lembut pada suaminya. Kenapa Dion sama sekali tidak menyentuhnya. Apakah suaminya itu memang tidak ada perasaan sama sekali padanya? Jawaban Dion selalu sama.
"Aku sayang sama kamu, May. Sayaaang sekali. Kamu bukan hanya istri tapi juga patner yang baik. Hanya saja, aku masih takut kalau kamu trauma. Jadi, kita tunggu saja nanti sampai benar-benar siap."
Mayra tersenyum malu-malu. Memeluk suaminya. "Sepertinya aku bisa, kalau memang dilakukan dengan lembut dan pelan-pelan."
Dion menggeleng dengan wajah sendu. "Nggak, May. Jangan sekarang. Maaf, bukan nolak kamu. Aku ingin kamu benar-benar siap saat kita melakukannya."
Bukan sekali dua kali Mayra bertanya, dan jawaban Dion tidak berubah. Akhirnya Mayra memutuskan untuk menunggu, hingga suaminya itu percaya padanya. Seharusnya Dion bertanya padanya, apakah ia masih mencintai Adam? Mayra dengan sukarela mengatakan tidak. Apakah ia masih trauma dengan penganiayaan yang dilakukan Adam? Mungkin sesekali mengingatnya, tapi tidak menjadikan beban. Bagaimanapun, ia tidak ingin terus terikat dalam rasa sakit hati.
Yang tidak sabar ingin mendapatkan cicit adalah Damar. Meskipun laki-laki tua itu sangat menyayangi Cantika, dan memperlakukannya dengan sangat baik, tetap saja menginginkan cicit darah dagingnya sendiri. Bagi Mayra itu adalah tuntutan yang wajar. Ia hanya bingung bagaimana menyampaikan pada Damar kalau Dion sama sekali belum menyentuhnya.
"Kamu jangan kerja berlebihan sampai kelelahan, Mayra. Sering-sering santai, biar badanmu sehat. Kakek sudah pingin gendong cicit."
Biasanya, Dion yang akan menjawab. Sesekali mengalihkan pembicaraan, atau memberi jawaban yang ambigu.
"Iya, Kek. Ini juga lagi bikin. Ngomong-ngomong, papaku telepon dan memohon lagi."
Damar mendengkus, kemarahan pada anak laki-lakinya membuatnya lupa akan permintaan untuk punya cicit.
"Biarkan saja dia. Sudah banyak uang yang kita kasihkan sama mereka! Seenaknya foya-foya."
Dion memiliki dua saudara laki-laki dan satu saudara perempuan dari pihak papa. Sedangkan dari pihak mama, dia memiliki sepasang saudara laki-laki dan perempuan. Selama ini, yang paling banyak merecoki adalah dari pihak papa. Karena mereka berbagi harta warisan yang sama, milik Damar. Sedangkan dari pihak mama, tidak pernah membuat ulah tapi juga tidak pernah dekat. Hanya sebatas saling tahu.
Kemarahan Damar selalu meledak setiap kali membahas anak laki-lakinya. Di mata laki-laki itu itu, tidak ada satu pun yang benar selain Dion. Apapun yang dilakukan anaknya ia tidak peduli asal jangan mengusik cucunya.
"Padahal, dua tahun lalu saat aku tinggalkan, pabrik kayu itu dalam keadaan baik-baik saja. Kenapa sekarang jadi begini?" gumam Dion. Memikirkan perusahaan milik keluarganya yang mengalami kerugian karena ulah orang tuanya. Dalam waktu dua tahun, keadaan berubah drastis. Sebelum Peter datang kemari untuk meminta bantuan, ia sudah mencari tahu dan sangat tercengang dengan kenyataan yang didapatnya. Kemana perginya uang untuk modal yang seharusnya bisa diputar? Kenapa perusahaan jadi banyak utang? Dion benar-benar tidak mengerti.
"Istri papamu itu, terkenal tukang foya-foya. Barangkali itu juga berpengaruh," jawab Damar.
"Kek, biarpun Tante doyan belanja. Nggak mungkin bisa membuat perusahaan bangkrut. Pasti ada yang lain."
Damar mengangguk, sepakat dengan analisa cucunya. Memang tidak masuk akal, sebuah perusahaan bangkrut hanya karena foya-foya untuk belanja.
"Apa kamu ada keinginan kembali ke perusahaan dan membantu mereka?" tanya Damar. "Barangkali kamu berminat?"
Dion menggeleng. "Nggak, aku udah cukup senang mengurus restoran dan perkebunan di Malang. Aku juga lelah selalu berselisih paham dengan Papa, Tante, dan anak-anak mereka."
"Baiklah, lain kali mereka merecokimu, lebih baik blokir saja." Damar bangkit dari sofa, menyapa Cantika yang sedang bermain di ruang tamu dan mengajak bocah perempuan itu bermain di taman.
Dion menatap punggung sang kakek dan Cantika yang menjauh, mendadak merasa lelah menghadapi keluarganya. Dari dulu mereka selalu merepotkannya, terutama sang papa. Sedangkan istri papanya tidak pernah cocok dengannya. Bagiakan makan buah simalakama.
"Sayang, wajahmu pucat." Mayra berucap kuatir. Dion terlihat sangat kurus dengan wajah pucat, duduk bersandar pada sofa besar.
Dion tersenyum. "Aku baik-baik saja, May.'
Mayra menggeleng. "Nggak, kamu sakit. Tolong, jangan lagi menentangku. Ayo, kita ke rumag sakit."
"May, aku sehat, hanya lelah."
Mayra berlutut di depan suaminya. Meremas jemari Dion dengan lembut. Ia mengamati selama beberapa bulan ini, kalau ada yang salah dengan tubuh suaminya. Awalnya, ia berpikir kalau itu tidak lebih dari efek kelelahan dalam bekerja. Namun, batuk yang terus menerus membuatnya kuatir. Hingga akhirnya, ia memergoki sesuatu dan itu tidak lagi membuatnya tenang.
"Dion, aku istrimu. Sudah seharusnya kamu bicara jujur padaku."
Melihat istrinya terlihat kuatir, Dion menegakkan tubuh.
"Ada apa, May?"
"Aku yang seharusnya tanya, ada apa? Kamu pikir aku nggak tahu kamu sering batuk darah? Aku melihat ceceran darah di kamar mandi, dan juga di tisu bekas. Ada apa, Dion? Kenapa sakit kamu nggak ngomong?"
Dion menghela napas panjang, meraih tangan Mayra dan meremasnya. "Nggak usah kuatir. Batuk biasa."
"Nggak! Batuk biasa kalau hanya berdahak. Kamu batuk darah. Mana ada yang biasa soal itu? Kita ke rumah sakit. Kalau kamu nggak mau, aku akan panggil ambulan secara paksa!"
Dion menghela napas panjang lalu mengangguk lemah. "Baiklah, kita ke rumah sakit besok. Malam ini, aku harus menemui Peter."
"Di mana?"
"Restoran kita."
"Aku akan menemanimu dan ingat janjimu, Dion."
"Yah, besok kita ke rumah sakit. Sebaiknya kamu membuat janji dulu dengan dokternya."
Dengan senang hati Mayra membuat janji dengan pihak dokter dari rumah sakit. Kalau bukan karena ingin bertemu Peter, ia berniat menyeret Dion ke rumah sakit. Beberapa hari belakangan, ia sangat kuatir dengan kondisi suaminya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Retak
RomanceKisah Mayra yang jatuh bangun membangun hidup setelah bercerai dari suaminya yang berselingkuh. Ia kehilangan hak waris anak, menuai cacian, dan juga rasa permusuhan dari mantan mertua dan juga teman-temannya, karena dianggap tidak mampu menjaga rum...