Bab 11b

9K 998 55
                                    

Sudah hampir dua bulan Mayra pergi tanpa kabar. Selama itu pula, Adam menahan cacian dari para tetangga. Untuk menghindari kasak kusuk yang makin tajam, setelah menikah berniat pindah rumah. Sayangnya, tidak semudah itu bisa dilakukan.

Dira tidak mau pindah. Istrinya itu menyukai suasan rumah yang asri dan tidak jauh dari jalan besar. Selain itu, rumah Adam dirasa cocok untuk Dira yang sedang mengandung. Tidak banyak mengandung polusi udara karena masih banyak pepohonan, dan dekat dengan rumah Yuna.

Dira membawa dua pelayan ke rumah, untuk membantunya membersihkan rumah. Karena hanya ada dua kamar, Adam mengubah halaman belakang yang kosong menjadi kamar tidur dan juga kamar mandi untuk dua pelayan itu. Ia berharap, dengan dua orang yang membantu di rumah, maka anaknya juga terawat dengan baik. Ia cukup senang kalau Dira bisa menerima kehadiran Cantika dengan tangan terbuka. Anaknya itu, cenderung menjadi lebih pendiam setelah mamanya pergi. Ia menyadari dampak besar dari pertengkarannya dengan Mayra dan ia sedang berusaha mengembalikan keceriaan anaknya seperti dulu. Sayangnya, ia terlalu sibuk.

Adam tadinya berpikir, setelah menikah dengan Dira, kekuasaannya akan menjadi lebih luas dan pendapatnya akan menjadi dalil kuat bagi banya pegawai. Nyatanya, beban tanggung jawab yang diberikan orang tua Dira padanya, sungguh tidak main-main. Tidak peduli kalau Adam adalah mantu, mereka memperlakukannya sama kerasnya dengan pegawai lain.

"Tergetmu bulan ini kurang dari 1000 ton perhari. Gabah kering yang harusnya mencapai 2500 ton, menyusut banyak. Ada apa sama kamu, Adam. Bisa kerja atau nggak?"

Teriakan dari Dirga, kakak ipar sekaligus wakil direktur membuat Adam muram. Masalah pasokan gabah kering harusnya menjadi tanggung jawab Dani, adik Dirga. Kenapa harus dirinya yang diberi beban sebesar ini? Makin hari, Adam merasa kalau menjadi menantu dari orang kaya tidak seenak yang dipikirkannya. Meskipun secara financial jauh lebih tercukupi.

Selesai memasang dasi, Adam menuju meja makan dan mengernyit saat mendapati tidak ada makanan apa pun di atasnya.

"Nggak ada sarapan?" tanya Adam pada istrinya yang melintas di belakangnya.

"Oh, nggak ada, Sayang. Kamu beli nasi uduk aja di luar, makannya di kantor."

Adam mencari-cari anaknya. "Cantika ke mana? Apa dia sudah sarapan?"

Dira mengangguk. "Sudah, tadi makan roti. Tenang saja, Cantika baik-baik saja sama kami."

Adam meraih wajah Dira dan mengecup bibirnya. "Terima kasih, Sayang. Aku pergi dulu."

"Iya, hati-hati. Pulang bawain aku makanan."

"Baiklah, nanti aku telepon kalau mau pulang."

Adam meninggalkan ruang makan dengan perut keroncongan. Dulu, sewaktu ada Mayra, ia tidak pernah begini. Selalu ada makanan hangat di atas meja. Ia berusaha untuk tidak membanding-bandingkan Mayra dan Dira. Keduanya sangat berbeda. Mayra memang koki, sudah sepantasnya kalau pintar memasak. Sedangkan Dira, selama ini hanya tahu soal kerja dan memang orang kaya tidak pernah ke dapur. Tidak heran kalau tidak bisa memasak. Tetap saja, ia merasa sangat lapar dan akan senang kalau dibuatkan sarapan. Bibirnya meringis saat lagi-lagi perutnya berkriuk keras.

Setelah memastikan Adam sudah pergi, Dira berteriak keras dari ruang makan. "Keluarkan dia!"

Seorang pelayan membuka pintu kamar mandi belakang, menatap Cantika yang berdiri ketakutan dengan seragam basah di pojokan kamar mandi. Ia menarik keras lengan anak itu.

"Eh, cengeng! Mamamu cari, tuh!"

Cantika menggeleng. "Dia bukan mamaku."

"Bawel! Mau dikurung lagi?"

Cantika terisak, tidak berdaya saat tubuh kecilnya diseret ke ruang makan. Di sana ada Dira yang menatap tajam tanpa senyum.

"Sini kamu, anak nakal!"

Cantika mendekat sambil menggeleng cepat. "Tantee, Cantika nggak nakal. Cantika anak ba-baik."

Dira menoyor kepala Cantika, cukup keras hingga gadis kecil itu terdorong ke belakang. "Nggak nakal katamu? Siapa tadi yang memecahkan vas bungaku?"

Cantika menggeleng. "Nggak sengaja, Tante." Air mata kembali menetes.

"Jangan nangis! Dilarang nangis. Kalau kamu nangis lagi, aku kurung!"

Cantika cegukan, mencoba menahan air mata. Tidak mudah bagi gadis sekecil dia, untuk menahan rasa sakit hati dan juga sedih.

"Bagus, sekarang ganti seragam dan kamu ke sekolah. Ingat, kalau sampai ngadu ke orang lain, aku akan pukul kamu. Mengerti?"

Cantika mengangguk. "Iya, Tante."

"Apalagi kalau sampai papamu tahu, lihat saja nanti akibatnya!" Dira menatap satu pelayan dan melambaikan tangan. "Bawa bocah sialan ini pergi. Ganti seragam dan antar ke sekolah. Jangan kasih sarapan, biar dia tahu kalau nakal akan terima akibatnya."

Cantika duduk di dalam mobil yang membawanya ke sekolah sambil menunduk. Ia ingat tidak boleh menangis atau nanti akan dipukul. Tidak boleh mengadu, nanti tidak ada makanan. Wajah mungil yang dulu selalu ceria, secara perlahan berubah menjadi layu dan kelabu.

"Mamaa, Mamaaa." Cantika memanggil berulang kali, pada sang mama yang diharapkan datang dan menolongnya. Nyatanya, sia-sia. Sang mama pergi dan tidak pernah kembali.

**

Restoran hari ini luar biasa ramai, terutama di jam makan siang. Para pekerja dari kantor sekitaran, datang untuk makan sekaligus melepas lelah. Mayra dibantu Nirmala, yang harusnya berada di depan, membuat banyak masakan. Johan dan Gusti sibuk menyiapkan pesanan. Pukul sembilan malam, restoran tutup dan Mayra yang duduk di teras belakang, minum air madu lemon sambil melepaskan lelah.

"Sepertinya kita butuh koki satu lagi."

Dion datang dan duduk di sampingnya.

"Aku lihat kamu kewalahan."

Mayra tersenyum. "Hanya hari ini, karena lagi banyak pesanan. Biasanya nggak sesibuk ini."

"Aku sudah coba lontong sayurmu, menurutku itu istimewa. Kapan mulai dimasukan dalam daftar menu."

Mayra berpikir sesaat. "Bagaimana kalau menu itu hanya untuk weekend? Bukan setiap hari. Anggap saja menu istimewa."

Dion mengangguk. "Boleh juga idemu. Ingat, jangan terlalu memaksakan diri, kamu manusia bukan robot."

"Siap, Pak! Tapi, ngomong-ngomong, cuma kamu seorang boss yang nyuruh anak buahnya istirahat terus. Lagi pula, kalau aku siangnya cape kerja biasa malam tidur nyenyak. Sampai kontrakan langsung baringan."

"Naik ojek pulang?"

Mayra menggeleng. "Jalan kaki, nggak jauh. Paling 20-30 menit."

"Ckckck, itu cukup jauh. Mana kamu pulang sama Nirmala nggak pernah bareng."

"Yah, kan beda jam kerja juga."

Dion menatap Mayra yang sedang minum. Gurat kelelahan terlihat jelas dari wajah perempuan itu. Mendadak satu ide tersirat di kepalanya.

"Kamu tahu nggak kalau di dekat gudang ada kamar kosong?"

Mayra mengangguk. "Tahu."

"Kenapa kamu nggak pindah ke sana? Itung itung irit biaya kontrakan perbulan."

Mayra mengedip bingung. "Pindah ke sini?"

"Iya, bagaimana, May? Kamu mau?"

**

Di Karyakarsa bab baru 41-44 tayang jam enam sore, bab tentang pesta, Mayra dengan gaun indah, dan karma untuk suami pengkhianat.

RetakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang