Bab 20a

9.1K 1K 60
                                    

Adam berdiri di ruang tengah yang rapi dan bersih. Setiap barang dan perabot dilap mengkilat dan terletak pada tempatnya. Ada vas bunga besar di sudut ruangan, dengan tambahan perabot baru berupa guci mahal di bufet. Berbeda dengan saat masih ada Mayra, di mana ada banyak mainan berserakan di atas karpet, ruangan ini seakan- seakan tidak ada tanda-tanda kalau ada anak kecil di rumah.

Adam menghela napas, menyadari kalau semua kerapian ini pasti karena ada tiga pelayan di rumah. Sedangkan dulu, Mayra mengerjakan semuanya di sini. Pukul sebelas malam, dan rumah sudah sunyi. Ia duduk di sofa, membuka jas dan dasi. Sepertinya, sudah berhari-hari ia tidak bertemu Cantika. Pergi pagi dan pulang malam, pekerjaan menyita banyak waktunya. Cantika selalu tertidur setiap kali ia pulang.

Malam ini, ia pulang lebih awal. Biasa jam 12 ke atas bari sampai rumah, ini baru jam sepuluh. Ia mengulum senyum, bangkit dari sofa dan berniat pergi ke kamar anaknya saat Dira muncul.

"Loh, Mas, pulang kok nggak ada suara?"

"Niatnya aku mau ke kamar Cantika baru ketemu kamu. Kirain kamu udah tidur."

Dira mencebik. "Malah ketemu, Cantika dulu. Gimana, sih? Emang bayi di kandunganku nggak butuh disapa apa?"

Demi menghindari perdebatan, Adam menghampiri Dira dan mengusap perutnya. "Anak Papa, baik-baik kamu di sana, ya? Sebentar lagi bisa ketemu papa."

Dira tersenyum lalu meringis. "Seharian dia nakal. Nendang-nendang terus."

Adam menegakkan tubuh, meraih wajah Dira dan mengecup bibirnya. "Wajah itu, namanya juga anak laki-laki."

"Kamu mau makan apa, Sayang? Biar disiapkan."

"Nanti dulu, aku mau ketemu Cantika."

"Tapi, dia udah tidur."

Adam menghela napas panjang. "Kayaknya udah berhari-hari nggak ketemu Cantika. Setiap kali pulang pasti dia tidur. Aku berangkat kerja dia belum bangun. Tumbem banget anak itu pulas tidurnya. Padahal, dulu rewel banget. Kalau nggak ditemani, nggak mau."

Dira mengangkat bahu, dan menggerai rambutnya yang semula dikuncir. "Tergantung dari orang tua yang mendidiknya. Istrimu yang dulu, manjain banget. Sampai-sampai Cantika nggak bisa mandiri. Kalau sama aku ya beda, harus ada aturan. Lihat'kan? Cantika jadi lebih rajin dan hidupnya teratur."

"Kamu hebat, Sayang. Aku kamar Cantika dulu. Nggak akan berisik, hanya lihat dari jauh."

Dira menatap suaminya dengan sebal, tapi tidak ada daya untuk membantah. Ia mengikuti Adam menuju kamar Cantika. Membuka pintu dan menyalakan lampu. Adam mendekati ranjang, di mana Cantika tergolek dengan tubuh tertutup selimut hingga leher, terlihat hanya wajahnya yang mungil dengan rambut tergerai di atas bantal.

Adam mengusap rambut lalu pipi anaknya. Cantika yang sedang tertidur pulas, sangat mirip dengan Mayra. Bibir yang penuh, hidung mancung, dan wajah yang cantik. Cantika sungguh menggemaskan.

"Lihat bukan, dia tidur pulas," bisik Dira.

Adam tersenyum. "Cantiknya anak papa. Tapi, kenapa dia kelihatan kurus dan pucat, ya? Kayak anak lagi sakit."

"Masa, sih? Coba kamu pegang dahinya, panas nggak?"

Adam meraba dahi Cantika dan menggeleng. "Normal aja."

"Nah'kan, nggak ada yang musti ditakuti. Bisa jadi, makin gede makin aktif jadi badan sedikit kurus. Biasa itu, yang penting makannya normal."

"Iya, Sayang. Kamu benar. Terima kasih sudah merawat Cantika dengan baik. Ayo, kita keluar."

Mereka berjengit ke arah pintu. Mematikan lampu sebelum bergegas keluar. Adam berpamitan hendak mandi lebih dulu sebelum makan. Menunggu suaminya di sofa, Dira menyesap jus buah. Ia tersenyum samar, mengingat tentang sebotol pil yang tersembunyi dengan rapi.

Adam tidak tahu, betapa menjengkelkannya Cantika. Anak itu gemar merengek dan membuat ulah. Ia sering mencubit dan memukul, tapi tidak membuat Cantika kapok. Hampir setiap malam membuat onar dan menolak tidur. Pil di dalam botol itu adalah solusi terbaik. Cukup satu butir dan Cantika tidak akan terbangun sampai esok pagi.

**

Rencana pernikahan Dion dan Mayra menjadi kabar yang mengejutkan bagi karyawan Blue Bistro. Mereka memang tahu kalau Dion dan Mayra sangat dekat satu sama lain. Hampir setiap malam selalu menghabiskan waktu bersama untuk mengobrol. Namun, mereka tidak menyangka kalau persahabatan itu akan berubah menjadi cinta. Dion yang selama ini terkenal pendiam dan menjaga jarak, ternyata jatuh cinta dengan koki di restorannya. Mayra memang cantik, tapi statusnya sebagai janda membuat banyak orang heran. Apa yang membuat Dion tertarik sampai ingin menikah.

"Difinisi perempuan beruntung dan Upik Abu dalam kehidupan nyata adalah Mayra."

"Hooh, tiap harii di dapur malah dapat boss. Lah, aku? Capek capek dandan, pacar aja nggak punya."

"Mungkin, kesederhanaan Mayra yang bikin boss jatuh hati."

"Aduh, jadi iri."

Pembicaraan mereka didengar Nirmala dengan wajah memucat. Ia tidak menyangka, kalau setelah keluar dari rumahnya, Mayra justru mendekati Dion. Selama ini, Mayra selalu mengatakan kalau hubunganya dengan Dion tidak lebih dari boss dan anak buah. Ada kedekatan khusu itu pun hanya persabatan. Ternyata, ia ditipu.

Dari tempatnya berdiri, ia melihat pelayan yang sedang bersiap-siap menunggu restoran buka, sibuk membicarakan pernikahan Mayra dan Dion. Rasa iri menguasainya. Nirmala berpikir, kalau ia menjadi koki apakah Dion akan memilihnya? Bukankah Dion sangat suka masakan lokal? Barangkali jatuh cinta dengan Mayra bukan karena orangnya tapi karena hasil masakannya. Nirmala tenggelam dalam teorinya sendiri.

Ujung matanya menangkap bayangan Risty. Sudah rahasia umum kalau sang manajer sangat menyukai Dion. Perempuan itu tentu saja patah hati karena Dion akan menikahi orang lain. Nirmala bisa mengerti pikirannya.

Sebuah kendaraan meluncur masuk dari luar. Dari dalamnya keluar Dion dan Mayra. Di tangan Mayra ada setumpuk undangan dan perempuan itu memanggil pegawai yang lain untuk berkumpul.

"Kalian bagi undangan ini. Restoran akan libur selama tiga hari saat kami menikah," ucap Mayra sambil mengulurkan undangan pada salah seorang perempuan berseragam. "Jangan lupa datang. Nggak usah bawa kado, kami ingin kalian menikmati pesta dan perayaan sederhana nanti."

Dion mengangguk. "Kalian wajib datang. Makan dan bersenang-senang nanti."

"Terima kasih, Pak Dion!"

Mayra menatap Nirmala yang berdiri kaku di dekat pilar dan melambaikan tangan. "Nirmala, jangan lupa bawa ibu dan anakmu nanti."

Nirmala tidak menjawab, hanya mengangguk kecil. Tidak habis pikir, di saat terpenting Mayra masih mengingat tentang keluarganya.

RetakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang