"Kamu kelihatan nggak suka sama aku."
"Iyakah? Emang kelihatan?"
"Jelas banget. Napa? Nggak suka dijodohin sama aku? Sayangnya, aku sendiri nggak bisa nolak." Andini mengibaskan rambut ke belakang, mengamati kukunya yang di manicure.
Dion mengamati pengunjung yang berlalu lalang di kafe. Menahan diri untuk tidak beranjak dari kursi dan pergi. Masih banyak hal yang harus dilakukan, dan ia terjebak di kafe bersama perempuan sinis. Semua karena kakeknya. Andaikan tahu dari awal akan bertemu Andini, ia akan menggunakan segala cara untuk tidak datang.
Terjebak di keramaian, dengan perempuan angkuh dan penggerutu, rasanya bagi Dion tidak ada yang lebih parah dari ini. Ia lebih suka disuruh berlari 10 kilometer, meski batuk dan ngos-ngosan, asalkan tidak ada di sini sekarang.
"Jangan menganggap dirimu terlalu tinggi, Dion. Kita harus akui, kalau perjodohan ini justru lebih menguntungkan bagimu, dari pada untukku."
Dion mengerjap, menarik pikirannya dan lamunan. "Kamu menyebalkan," gumamnya.
Andini terbeliak. "Apa?"
"Aku bilang, kamu menyebalkan. Kita berdua tahu, kamu mengejar Grifin. Aku tebak alasanmu menerima perjodohan ini adalah ingin menggunakan kedekatanku dengan Grifin demi kepentinganmu, atau justru ingin membuat sahabatku itu cemburu. Untuk alasan yang lain seperti patuh pada orang tua, adalah bullshit!"
Andini tersenyum tenang, mendengar kata-kata Dion. Ia mengaduk minuman yang sama sekali tidak disentuhnya. Omongan Dion tidak sepenuhnya salah. Ia memang mencintai Grifin, tapi menggunakan pertunangan untuk mengejar laki-laki itu agak berlebihan. Ada hal lain yang ia pikirkan.
"Bagus kalau kamu tahu soal Grifin. Tapi, itu sedikit berlebihan. Ada satu hal yang menarik perhatianku kalau nanti menikah denganmu adalah, restoran itu."
"Restoranku?" tanya Dion kaget.
"Iya, itu. Restoran yang berada di pusat kota, dibangun di atas tanah yang luas dan asri. Nilai asetnya pasti tidak sedikit. Kalau nanti kita menikah, ijinkan aku ikut mengembangkan restoran itu."
Dion mendengkus. "Jangan harap! Berteman denganmu saja aku ogah, apalagi menikah!"
"Well, sayangnya niat kakekmu nggak bisa dibantah."
"Bisa, kalau aku mau. Kita lihat saja nanti, aku pasti akan menggunakan segala cara untuk menggagalkan pertunanganan sialan ini." Dion menepuk dada, napasnya sedikit tersengal.
Andini menatapnya tak peduli. Mereka bersikap kejam satu sama lain, sama sekali tidak ada ikatan atau chemistry yang tercipta antara keduanya. Dari pada disebut tunangan, lebih cocok dikatakan musuh.
"Nggak usah buru-buru, Dion. Ingat, semua yang kamu lakukan berdampak pada keluargamu. Apa kamu tahu kalau saudar tirimu menjalin kerja sama dengan kakakku? Kamu bisa bayangkan, kalau aku mengadu soal sikapmu yang kasar. Apa yang akan terjadi?"
Dion terbatuk kecil, memanggil pelayan untuk memesan segelas air minum.
"Kamu asma?" tanya Andini.
Dion menggeleng. "Nggak."
"Kayaknya kamu sakit, deh. Nggak heran, badanmu kurus gitu. Mana muka pucat."
Dion meneguk air yang diberikan pelayan. Rasa sejuk mengaliri tenggorokannya dan ia merasa agak lega.
"Jangan sampai kamu punya penyakit menular. Masa, iya, tunanganku penyakitan. Nggak banget!"
Dion membanting gelas ke atas meja, melotot pada perempuan yang sedari tadi mencela tiada henti. "Udah belum ngomongnya? Kalau udah, kamu yang pergi, aku aku?"
"Lah, kenapa ngamuk? Aku hanya bicara kenyataan. Ingat, punya pasangan yang tubuhnya sehat, itu penting!"
Ia bangkit dari kursi dan tanpa basa-basi, meninggalkan Andini sendiri. Sepanjang jalan menuju parkiran, ia tak habis pikir dengan pola pikir sang kakek yang menjodohkannya dengan Andini. Masih banyak perempuan lain yang dikenal, kenapa harus dia?
Andini memang cantik, kaya, dan terpelajar, tapi bukan perempuan yang ia idamkan untuk dijadikan teman seumur hidup. Sikap dan tindakan perempuan itu justru sama sekali tidak menunjukkan kalau terpelajar. Lebih baik dia melajang seumur hidup dari pada menikahi Andini.
Di dalam kafe, Andini menatap punggung Dion yang menjauh. Tersenyum kecil, mengangkat ponsel dan diam-diam mengambil foto laki-laki itu. Lalu mengirimkannya pada Grifin. Ia sedang ingin menggoda laki-laki tampan yang sekarang ada di Malaysia.
"Lihat, kamu tinggal lama-lama, aku selingkuh sama sahabatmu."
Terkirim, tidak ada balasan. Ia mengaduk minuman dan memutuskannya ingin mencicipi sedikit. Baru dua teguk, ponselnya bergetar dan satu balasn pesan datang.
"Dion? Oh, selamat kalau akhirnya kalian jadi bertunangan. Dion sahabatku, jangan mempersulitnya."
Andini merengut kesal, merasa provokasinya gagal. Memangnya kenapa kalau ia mempersulit Dion? Itu tidak ada hubungannya dengan Grifin. Merasa marah pada diri sendiri, Andini bangkit dari kursi dan memutuskan untuk pulang. Kedatangannya bertemu Dion kali ini terasa sia-sia dan hanya buang-buang waktu.
Teringat akan Dion yang batuk dan napasnya tersengal, ia mendengkus dalam hati. Tidak masalah kalau menikah dengan laki-laki itu, membayangkan tentang luasnya restoran yang akan menjadi hak miliknya kelak, menyingkirkan rasa enggan. Dion sakit itu bagus, mungkin saja umurnya tidak akan lama. Andini merasa pikirannya jahat, sayangnya tidak bisa dikontrol.
**
Mayra membuka tutup panci besar, seketika aroma rempah menguar di udara. Perpaduan santan, bumbu, dan daging ayam membuat orang yang mengendusnya, seketika merasa lapar.
"Wow, ayam gulai?"
Mayra mengangguk pada rekan kerjanya. Sama-sama bekerja sebagai koki, posisi Johan adalah kepala koki yang membawahi Mayra dan Gusti, satu koki yang lain. Johan adalah laki-laki yang disiplin dan masakannya memang enak, Mayra mengakui.
"Aku akan membuat menu baru. Lontong sayur ala Blue Bistro. Selain gulai istimewa, juga ada sayur papaya muda, sambel, orek teri, dan kerupuk udang."
"Kapan kami bisa mencicipinya?"
"Sebentar lagi, tunggu Pak Dion datang."
Johan tersenyum, tangannya mulai menyiapkan sayur mayur. Ada pesanan 100 porsi nasi goreng hari ini dari salah satu kantor, dan sudah tugasnya untuk menyiapkan. Dibantu oleh Gusti tentu saja. Untuk urusan restoran akan ditangani sendiri oleh Mayra. Ia yakin, perempuan itu mampu melakukannya.
"Harin ini semoga restoran ramai, aku senang kalau banyak pesanan." Gusti masuk dengan membawa senampan besar daging ayam suwir dan meletakkan di meja dekat kompor. "Biarpun capek, tapi kayak capeknya itu berharga."
Johan memanaskan penggorengan besar, menuang minyak dan mentega lalu mengaduknya. "Dari kemarin restoran rame. Emang kamu nggak ngrasa?"
"Yah, sempat sepi pas aku baru datang. Tapi, akhir-akhir ini emang rame. Udah dari sononya, kalau kita trio koki yang keren."
Mayra tergelak. "Trio koki. Nama yang aneh."
"Jangan gitu, May. Baru kali ini aku kerja senang tanpa tekanan."
"Iya, Gusti. Kamu emang hebat. Lihat, minyaknya udah panas!" Mayra menunjuk penggorengan.
Johan menyalakan penyedot minyak sekaligus asap, dan mulai menumis bumbu. Seorang pelayan datang membawa pesana baru dan Mayra bergegas menyiapkannya. Tiga porsi sop buntut, dua porsi mie goreng spesial, belum lagi pesanan yang lain, langit nyaris menggelap tapi sosok Dion belum juga terlihat. Mayra bertanya-tanya dalam hati, apa yang sedang terjadi dengan laki-laki itu. Tidak biasanya absen dari restoran. Biasanya, Dion akan ada di sini dari siang hingga tutup. Mayra mendesah, meracik nasi sapi lada hitam di atas piring dengan pikiran tertuju pada Dion.
**
Di Karyakarsa sudah bab 40, Mayra menjadi janda untuk kedua kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Retak
RomanceKisah Mayra yang jatuh bangun membangun hidup setelah bercerai dari suaminya yang berselingkuh. Ia kehilangan hak waris anak, menuai cacian, dan juga rasa permusuhan dari mantan mertua dan juga teman-temannya, karena dianggap tidak mampu menjaga rum...