Peter mendengkus dan lalu mencebik ke arah Damar. "Kek, aku juga cucumu. Tapi, di mata Kakek hanya ada Kak Dion."
"Sudah, kamu nggak perlu merajuk. Bukan bayi lagi. Kakek tahu kamu mau apa? Soal pabrik kayu bukan? Kakek tegaskan sekali lagi, pabrik itu dari awal sudah diserahkan pada papamu. Kalau sekarang, pabriknya bangkrut, nggak ada hubungan sama kami!"
"Papa itu anak Kakek. Apa benar nggak mau bantu kami?"
Damar mengangguk. "Tidak akan pernah. Dari awal Kakek tidak mau ikut campur soal pabrik kayu. Tapi, kalian juga jangan merecoki Kakek."
Peter menunduk, menghela napas panjang. Ia mencuri pandang ke arah Mayra yang sekarang mengupas buah apel dan memberikan pada Dion. Wajah kakaknya yang biasanya pucat, hari ini terlihat lebih segar. Barangkali memang merasa bahagia. Ia tersenyum sinis, merasa kalau kakaknya memang cenderung bodoh. Bisa-bisanya meninggalkan Andini yang kaya raya hanya untuk perempuan jelata.
Dion menangkap pandangan adiknya lalu menggerakkan tangan untuk mengusir. "Kamu sudah tahu bukan jawaban Kakek? Sekarang sebaiknya kamu pergi dan bilang sama papamu, jangan merecoki kami lagi."
"Papaku juga papamu," sela Peter masam. "Harusnya kamu nggak lupa dengan darahmu."
Dion menyipit, "Namaku Dion Antajaya, cucu dari Damar Antajaya. Sebaiknya kalian mulai berpikir sendiri bagaimana menyelamatkan perusahaan. Jangan berpikir ingin mengambil alih rumah ini, perkebunan apel di Malang, dan restoran. Aku tidak akan membiarkannya."
Peter memaki dalam hati, menyugar rambut serta menghela napas panjang. Ia merasa sangat kesal sekarang. "Jangan bilang, kalau kalian akan membiarkan kami bangkrut."
Dion mengangkat bahu. "Dari awal, kami nggak ikut campur dengan pabrik itu. Segala keuntungan kalian yang dapatkan. Kenapa saat rugi, kalian meminta bantuan kami?"
"Karena kita keluarga, Kak!"
Dion menahan dengkusan. "Aku nggak akan ingkar kalau kita sedarah, tapi setelah Papa meninggalkan aku di sini, orang tuaku hanya Kakek dan Nenek. Sebaiknya kamu pergi, Peter. Jangan ganggu kami lagi."
Peter menoleh pada Damar, meminta petunjuk. Sayangnya, sang kakek justru melengos.
"Kek, mau buah pir?" tanya Mayra lembut. Sedari tadi perempuan itu terdiam, hanya mendengarkan perdebatan keluarga.
Damar mengangguk. "Boleh, manis nggak? Cantika suka buah yang manis-manis."
Mayra tersenyum. "Manis, Kek. Ada kok untuk Cantika. Ini, buat Kakek dulu."
Peter menahan geram, menatap sang kakek yang lebih mementingkan buah pir dari pada dirinya. Ia mengalihkan pandangan ke arah Mayra, menggertakkan gigi dan berucap kasar sebelum pergi.
"Pantas saja kawin sama janda, memang kamu nggak ada otak dan perasaan, Kak!"
Tanpa berpamitan, Peter menghambur pergi, meninggalkan Dion yang bertukar pandang muram dengan sang kakek. Mayra menghela napas, merasa kalau hubungan keluarga suaminya memang tidak harmonis. Di acara pernikahan mereka sudah terlihat, bagaimana mereka dingin satu sama lain. Kini, ditambah perkara perusahaan, sepertinya pertentangan dan perdebatan itu akan semakin melebar.
"Ayo, May. Kamu siap-siap, kita ke restoran sekarang. Mereka sudah menunggu kita." Perkataan Dion menyadarkan Mayra. Ia bangkit dari sofa dan bergegas ke kamar untuk berganti pakaian. Hari ini akan ada acara kumpul bersama karena besok Grifin akan bertolak ke Italia dan tidak tahu kapan kembali. Tina dan Natasha juga ada, sepertinya akan menjadi malam perpisahan yang penuh dengan makanan dan alkohol.
Dugaan Mayra tidak salah, saat tiba di kantor Dion, sudah ada tiga botol sampanye dingin. Natasha membawa banyak kue kue manis yang dibelinya di toko kue terkenal. Mayra bergegas ke dapur untuk menyiapkan makanan bagi mereka.
Ia menyipakan mie kuah kaldu, ayam panggang, dan berbagai sayuran tumis. Selama hampir dua jam ia menyiapkan semua dan saat dihidangkan, decak kekaguman keluar dari mulut mereka.
"Dion, kalau Mayra belum menikah denganmu, aku pasti menikahinya," ujar Tina keras. "Biar aku tiap hari kenyang, makan makanan rumahan yang bergizi."
Dion tertawa lirih. "Poligami aja, gimana? Kamu jadi istri keduaku."
Tina mengangguk dengan wajah berseri-seri. "Ide bagus, aku yang tidur sama Mayra di kamar, kamu di sofa."
Tawa pecah, saat mendengar percakapan Tina dan Dion. Mayra mengulurkan semangkok mi untuk Grifin dan Natasha.
"Silakan dicoba, masakanku."
Natasha menerima dengan wajah berseri-seti. "Terima kasih, sepertinya enak sekali."
"Nggak, hanya makanan rumahan," jawab Mayra malu-malu.
"Tapi, rasanya hotel bintang lima. Mayra, makin hari aku makin jatuh cinta padamu," teriak Tina. Makan ramen sambil minum sampanye, Mayra menduga kalau Tina sudah setengah mabuk.
Grifin menatap ramen miliknya, mencicip dan mendecakkan lidah dengan nikmat. Ia menyukai tekstur mi yang kenyal dan kuah yang kental. Mayra mengingat kebiasaannya yang tidak suka dengan daun bawang. Sama sekali tidak ada daun hijau itu di dalam mangkoknya.
"Enak sekali, May. Terima kash," ucapnya.
Mayra mengangguk. "Sam-sama, hanya mi."
Dion menandaskan makanannya, duduk bersandar di sofa menatap istri dan teman-temannya. Tina yang mabuk, mulai bicara keras-keras soal musik atau saham. Sesekali berdebat dengan Natasha perihal siapa aktor Hollywood paling tampan.
Grifing bertanya pada Mayra tentang sesuatu, dan keduanya terlibat diskusi serius. Dion menduga, sahabatnya sedang mengevaluasi keadaan restoran. Bagaimana pun, Grifin adalah salah satu pemegang saham di restoran ini.
Dion mengernyit, mendadak napasnya terasa berat. Ia bangkit menuju toilet dan terbatuk di depan westafel. Mencabut beberapa lembar tisu, ia menutup mulut sambil terbatuk dan mengernyit saat melihat bercak darah. Membuangnya ke dalam tong sampah, Dion mencuci tangan. Dion meyakinkan diri, kalau dirinya baik-baik saja. Ia punya istri yang cantik dan pengertian, serta anak sambung yang lucu. Restoran berjalan lancar, teman-temanya juga baik. Tidak ada yang perlu dikuatirkan, semua berjalan dengan membahagiakan.
"Kamu baik-baik aja, Sayang? Mukamu pucat," tanya Mayra kuatir.
Dion mengangguk. "Aku baik, tadi sempat cuci muka pakai air dingin. Makanya pucat."
Grifin duduk di sebelah Dion dan menepuk pundaknya. "Jangan sampai sakit. Besok aku pergi jauh, nggak bisa ketemu lagi entah untuk berapa bulan."
Dion membalas tepukan sahabatnya. "Santai, aku baik-baik aja. Kamu kerja yang benar, palingan enam bulan lagi kita ketemu."
"Ngomong-ngomong, aku tadi tukeran nomor ponsel sama istrimu. Nggak apa-apa'kan?"
Dion tersenyum. "Santai, Bro."
Makin malam, keadaan makin tidak terkendali. Tina yang mabuk, memaki dan mengumpat mantan suaminya, sambil sesekali menangis atau tertawa. Natasha mabuk dengan anggun, hanya tertidur pulas di samping Grifin yang mengobrol dengan Dion. Mayra, yang tidak berani minum alkohol, menjadi sasaran Tina untuk diajak mengobrol. Malam berlalu dengan cepat, dan mereka menghabiskannya bersama dalam kegembiraan.
.
.
.
.
.Buat yang udah baca di Karyakarsa dan playbook, pasti tahu bagaimana akhir kisah ini. Terima kasih sudah membeli dan tidak menebar spoiler.
Buku akan selesai dicetak tanggal 6 dan mulai distribusi seminggu kemudian. Setelah buku dikirim, update saya hentikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Retak
RomanceKisah Mayra yang jatuh bangun membangun hidup setelah bercerai dari suaminya yang berselingkuh. Ia kehilangan hak waris anak, menuai cacian, dan juga rasa permusuhan dari mantan mertua dan juga teman-temannya, karena dianggap tidak mampu menjaga rum...