Bab 27b

9.2K 1K 37
                                    

Keesokan harinya, setelah mengantar Cantika sekolah, Damar datang. Membawa sekoper pakaian milik Dion dan Mayra. Laki-laki tua itu bertanya kabar sang cucu dan mengernyit saat mendapati wajah Mayra yang sembab.

"Kamu kenapa, May? Nangis terus?" tanyanya.

Mayra tersenyum. "Kek, nanti temani aku ke supermarket sebentar."

"Kapan?" tanya Damar kebingungan. Tidak biasanya Mayra manja.

"Sebentar lagi, setelah Dion selesai makan."

Dion menatap Mayra yang sedang menyuapinya. Tersenyum lemah. "Tumben, minta diantar Kakek?"

Mayra tersenyum. "Pingin jalan-jalan sebentar. Nggak apa-apa'kan aku tinggal? Mungkin hanya beli kopi."

Dion mengangguk. "Pergi aja, sekalian lihat-lihat kalau ada yang menarik."

"Di rumah sakit selain suster dan dokter, apa yang menarik?"

"Entahlah, mungkin taman bunga."

Damar berdehem. "Nggak usah berdebat. Kami pasti pergi. Lagipula, kakek mau marahi kamu. Bisa-bisanya jatuh pingsan? Kamu sakit tapi nggak ngomong-ngomong, ya?"

Dion menggeleng. "Kek, hanya sakit biasa."

"Sakit biasa apanya sampai pingsan? Pokoknya kakek nggak mau tahu. Kamu harus tetap dirawat sampai benar-benar sembuh! Nggak boleh keluar dari rumah sakit tanpa ijinku."

"Iya, Kek. Nggak usah marah-marah. Nanti darah tinggi!"

"Yang Kakek katakan benar, kamu memang harus banyak istirahat," sela Mayra.

"Aduh, aku bosan setengah mati berbaring terus."

"Oh, mau diikat biar nggak gerak?"

"Mayra, kamu kejam sekali sama suamimu!"

Damar berdiri kaku, mendengar percakapan antara Dion dan Mayra. Ia bisa merasakan kalau cucu mantunya ingin mengatakan hal yang penting. Firasatnya tidak enak tentang ini. Apa yang ingin dikatakan Mayra? Apakah berhubungan dengan penyakit Dion? Apakah cucunya menderita penyakit yang serius? Damar tidak ingin menebak-nebak.

"Grifin tadi telepon pas kamu tidur," ucap Mayra.

"Pasti dia kuatir. Dasar cemen!" Dion menggerutu. "Kamu bilang sama dia, fokus kerja. Jangan sekali-kali ingin pulang cuma karena aku. Bilang juga, aku hanya anemia. Bukan penyakit serius."

Mayra tertawa lirih. "Iya, iya, aku akan bilang dia."

Dion menunjuk buburnya yang sisa sedikit. "Aku sudah kenyang. Kamu rapikan semua dan sana, jalan-jalan sama Kakek. Aku ingin menelepon Tina atau Grifin."

Mayra mengangguk, tidak takut kalau Dion menelepon Tina. Karena mereka sudah sepakat, harus Mayra yang memberitahu soal penyakit. Mayra yakin, Tina akan menyimpan rahasia dengan rapat. Selesai membersihkan peralatan makan, Mayra mengajak Damar keluar.

Mereka menyusuri lorong rumah sakit yang ramai, berbelok di ujung lalu melangkah bersamaan menuju taman. Mayra memperhatikan, rupa-rupa orang yang datang ke rumah sakit. Ada gelak tawa, sepertinya pasien yang sudah sembuh dan diperbolehkan pulang. Ada tangis kesedihan, mungkin dari keluarga yang telah menderita. Selebihnya wajah-wajah tanpa ekpresi, bisa jadi mereka pegawai rumah sakit atau pun pedagang. Ada banyak juga orang yang datang menjenguk dengan buah atau bunga di tangan. Semua berbaur di tempat ini.

"Kek, kenapa mereka menamakan rumah ini dengan rumah sakit? Bukan rumah sembuh? Bukankah orang-orang yang datang kemari berharap untuk bisa sembuh?"

Damar mengangguk. "Kakek pun bingung. Menurutmu, bagus rumah sakit atau rumah sembuh?"

"Rumah sembuh tentu saja. Setiap kali orang-orang yang menderita karena penyakit, datang dengan harapan mereka untuk kesembuhan. Di pijakan pertama, seolah ada harapan bahwa mereka datang ke tempat yang benar. Memang tidak sepenuhnya yang sakit pasti sembuh, tapi bukankah nama adalah sebuah harapan?"

Damar merenungi perkataan Mayra. Ia mendengarkan perkataan cucu mantunya dalam diam. Mengerti kalau Mayra ingin mengatakan sesuatu, hanya saja tidak sanggup berterus terang. Damar menyipit, menatap taman yang panas. Ada banyak pohon dan bunga, tapi tidak mampu memberikan keteduhan. Panas yang terlalu terik, membuat tumbuhan itu tak berdaya. Bukan melawan tapi malah tunduk dengan patuh.

Di umurnya yang sudah melewati 70 tahun, Damar sudah mengalami banyak hal. Bisnis yang jatuh bangun, keluarga yang tercerai berberai, dan cobaan terberat adalah kehilangan istrinya. Damar hanya berharap, ia tidak lagi mengalami cobaan itu. Menghela napas panjang, ia melirik Mayra yang sekarang sedang terisak. Memberanikan diri untuk bertanya, dengan segala doa yang terbaik terpanjatkan dalam hati.

"Mayra, apa suamimu menderita penyakit serius?"

Mayra terdiam lalu mengangguk lemah. "Iya, Kek."

"Seberapa serius?"

"Sangat, dan bisa membahayakan nyawa."

Damar memejam, berusaha untuk tetap berdiri kokoh di tempatnya. "Penyakit apa, May? Dion susah tahu?"

Mayra menggeleng. "Dion nggak tahu, Kek dan penyakitnya ...." Ia terdiam, mengela napas lalu mengusap pelupuknya yang basah. "kanker paru paru."

"Apaa? Kamu serius, May?"

Mayra mengangguk. "Iya, Kek. Serius."

Damar mengusap dadanya yang mendadak sakit. Kakinya melemah dan ingin ambruk.

"Kakeek! Ayo, kita cari tempat duduk."

Mayra menggandeng Damar menuju bangku besi di bawah pohon. Damar mengusap usap dada dengan Mayra berdiri takut di belakangnya.

"Kek, napas. Tenangkan diri."

Dengan air mata bercucuran, Mayra memijit pundak dan bahu Damar. Ia mengerti kalau sang kakek susah menerima kenyataan ini. Ia sendiri ingin marah, tapi tidak tahu pada siapa. Hanya bisa menimpakan kesedihannya dengan air mata yang mengalir terus menerus.

"Dioon! Malang benar nasibmu, Naaak! Dioon!"

Damar menunduk dan meraung, tidak bisa menyimpan kesedihannya lebih lama. Mayra berjongkok di depannya, mengusap lutut sang kakek dengan air mata yang bercucuran.

"Keek, tenangkan diri."

Damar menggeleng, menangis seperti anak kecil. Menyesali nasib cucunya.

"May, da-dari kecil Dion sudah sengsara hidupnya. Orang tua bercerai, dan sama sekali nggak diurus. Dia berjuang melawan kesedihannya, selalu bersikap ceria di bawah pengasuhan kami. Se-sebenarnya kami tahu kalau dia merasa kesepian, dan ingin dekat orang tua. Tapi, Dion memendamnya. Melawan rasa marah dan sedih, dia berdiri di atas kakinya, hidup mandiri, dan ba-ru saja bahagia, Tuhan lagi-lagi memberinya cobaan besar."

"Kakek, ja-jangan bersedih. Kita akan cari jalan keluar. Kita akan cari rumah sakit yang bagus untuk Dion."

"Kemana Mayra? Bukankah kamu tahu kalau kanker itu berbahaya?"

"Memaang, tapi bukan berarti nggak bisa sembuh. Kakek, jangan menyerah. Demi Dion, ja-jangan putus harapan."

Mayra tidak sedang menghibur Damar, sebaliknya sedang berusaha menenangkan dirinya sendiri. Ia juga takut, cemas, dan kuatir. Tapi, semua masalah pasti ada jalan keluarnya. Ia yakin, dengan dukungan teman dan keluarga, Dion pasti tertolong.

"Mayra, apa Dion ada kemungkina selamat?" tanya Damar lirih. Setelah tangisnya mereda dan tersisa kesedihan mendalam.

Mayra menggeleng. "Nggak tahu, Kek. Aku bukan Tuhan. Tapi, bu-bukankah kita diwajibkan berusaha?"

Damar memejam lalu mengangguk. Apa yang dikatakan Mayra benar. Mereka sedih dan hancur, tapi bukan berarti harus menyerah. Mereka akan mencari jalan untuk menyembuhkan Dion. Tidak peduli meskipun harus ke ujung dunia, Dion harus ditangani rumah sakit terbaik dengan tim dokter yang ahli.

"Kita harus masuk, Mayra. Sudah saatnya Dion tahu."

"Iya, Kek. Sebaiknya kita masuk sekarang."

Dua manusia, berjalan bersisihan dengan langkah lunglai dan kepala menunduk melawan panas. Hati mereka bergolak dalam kekuatiran dan membuat setiap langkah terasa berat.

RetakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang