Bab 7a

10.7K 1.1K 48
                                    

"Apa benar istrimu kabur, Mas?"

"Iya, sudah hampir tiga Minggu."

"Nggak tahu kemana?"

Adam menggeleng. "Nggak. Aku udah cari ke mana-mana, tapi nggak ada jejak. Terakhir, aku tahu kalau dia kecelakaan dan setelah itu, lenyap."

Dira berpindah tempat, dari semula berdiri di dekat pintu, kali ini duduk di sofa. Melirik Adam yang menunduk. Dari cara bicara laki-laki itu, ia tahu kalau ada yang membebani pikirannya. Sebagai laki-laki dan seorang suami tentu saja Adam merasa kuatir, tapi bukankah itu tidak seharusnya terjadi? Sudah ada dirinya, kenapa Adam masih memikirkan perempuan itu.

"Kalau dia nggak ada kabar, bukankah bagus? Dengan begitu kita bisa menikah tanpa hambatan."

Adam terdiam, menekuri lantai yang mengkilat.

"Kamu dan istrimu, sudah lama nggak harmonis. Aku sedang hamil, kemarin rencana pernikahan kita tertunda karena belum ada persetujuan dari Mayra. Sekarang, orangnya sudah pergi. Harusnya jadi lebih mudah."

Adam memikirkan perkataan Dira, dan tidak mengerti harus menjawab bagaimana. Di satu sisi, batu penghalang hubungannya dengan dira sudah tersingkir, di sisi lain hati nuraninya terusik. Kepergian Mayra tanpa sepatah katapun, membuatnya pedih. Terlebih saat teringat apa yang sudah dilakukannya pada sang istri, saat terakhir mereka bertemu. Tidak aneh kalau Mayra pergi.

Sebagai laki-laki, meskipun berstatus suami, tidak seharusnya ia memaksa Mayra untuk melayaninya. Memang benar yang dikatakan istrinya, kalau ia sedang memerkosa bukan bercinta. Tapi, saat itu hatinya sedang marah dan kesal karena Mayra tidak mengikuti keinginannya. Andai saja, Mayra bisa lebih bersabar dan juga menurutinya, tidak mungkin ia sekasar itu.

"Mas, kenapa diam?"

Adam menghela napas panjang, menyunggingkan senyum kecil. Meraih jemari Dira dan menggenggamnya.

"Yang kamu bilang itu benar, kita bisa menikah sekarang."

Wajah Dira cerah seketika. "Nah, begitu, dong. Aku akan mempersiapkan pernikahan kita. Kedua orang tua dan kakak-kakakku pasti gembira."

"Baiklah, semoga mereka setuju."

"Jelas setuju, aku anak bungsu dan anak perempuan satu-satunya dalam keluarga. Nggak ada alasan buat nggak setuju, terutama setelah tahu aku hamil. Orang tuaku pasti ingin lihat cucu mereka." Dira mengusap perutnya, tidak sabar untuk melihatnya membuncit. "Aku akan mengatur pertemuan dengan mereka, kamu bersiap."

Adam mengangguk. "Iya, aku nantikan itu."

Dira memiringkan kepala, menatap Adam dan berucap serius. "Satu lagi, kalau nanti kita menikah, anakmu nggak boleh ada di pesta."

"Apaa? Kenapa?" tanya Adam kaget.

"Alasannya sederhana, karena di kantor nggak ada yang tahu kalau kamu sudah menikah dan punya anak. Aku nggak mau ada masalah, saat anakmu mengacau di pesta kita nanti."

"Ta-tapi, Cantika anak yang baik."

Dira mengibaskan rambutnya ke belakang. "Memang, aku percaya dia anak yang baik. Tapi, di pesta nanti banyak orang-orang penting. Ingat, jangan mempermalukan aku, Mas. Camkan itu!"

Adam mengusap rambut dan kembali menunduk. Permintaan dari Dira, meskipun tidak membuatnya senang, tetap harus ditepati. Harga dari semua hal yang sudah ia lakukan. Dari awal ia tahu kalau Dira bukan perempuan yang akan mudah menurutinya. Dira mungkin mencintainya, tapi tidak akan pernah mendedikasian hidup dan perasaan utuh padanya.

Cantika yang cantik, baik, dan penurut. Anaknya itu, sudah berhari-hari menangis karena rindu dengan sang mama. Segala bujuk rayu dari dirinya dan kedua orang tuanya tidak mempan. Dua hari lalu, Cantika jatuh sakit dan terus mengigau memanggil sang mama. Ia hanya bisa melihat dengan kuatir, dengan suhu tubuh Cantika yang makin lama makin tinggi. Untunglah, saat pagi demamnya mereda dan setelah setelah mendapat perawatan dari dokter, keadaannya membaik. Tetap saja setiap hari anaknya merengek.

RetakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang