Bab 23b

10.3K 1K 38
                                    

Mengusap rambut Cantika yang halus, Mayra tidak habis pikir, bagaimana Adam membiarkan Dira menyiksa darah dagingnya sendiri. Apakah buta karena harta, membuat Adam melupakan hati nurani?

Mayra masih bisa memaklumi tindakan kekerasan oleh Dira. Seperti yang dikatakan banyak orang, ibu tiri memang rata-rata kejam. Tapi, Adam adalah ayah kandung. Bukankah sudah seharusnya kalau seorang ayah melindungi anak perempuannya? Tapi, yang terjadi justru sebaliknya. Adam membiarkan Dira bersikap sewenang-wenang dan melukai anak kecil yang tidak berdosa.

Perkiraan Dion benar, saat Cantika tersadar dari tidur panjangnya, dokter mengijinkan untuk dibawa pulang. Sepanjang jalan Mayra memangkunya, tidak memberika kesempatan pada anaknya untuk merasa takut.

"Cantika, panggil papa sama om ini."

Mayra memperkenalkan Dion pertama kali pada Cantika di mobil.

"Papa?"

"Iya, Sayang. Panggil Papa Dion." Tersenyum lembut, Dion mengusap pipi Cantika. "Sekarang, kita beli baju untuk kamu dulu, sebelum pulang."

"Iya, Papa Dion."

Jawaban Cantika membuat Dion tersenyum lebar. Merasa senang, punya anak sambung secantik dan seimut Cantika. Keluar dari rumah sakit, mereka menuju toko pakaian anak-anak. Memilih cepat sepuluh gaun lucu, tiga pasang sepatu, dua pasang sandal, dan tiga setel pakaian tidur. Mayra protes karena Dion membeli terlalu banyak. Dion tertawa, membawa barang-barang ke mobil.

"Kelak, Cantika akan punya jauh lebih banyak dari ini. Dia akan punya kamar sendiri yang didesain cantik, khusus untuk anak perempuan."

Mayra merasa bersyukur dengan semua kebaikan Dion. Ia merasa dirinya sangat beruntung, bisa punya suami sehebat dan sepengertian Dion. Ia hanya jandi miskin yang tidak punya apa-apa, tapi Dion menerimanya dengan tangan terbuka. Sama sekali tidak pernah terpikirkan bahwa hidupnya akan seindah ini saat memutuskan untuk melamar pekerjaan di restoran.

Dion bisa menerima Cantika dengan lapang dada dan tangan terbuka. Yang ia takutkan sekarang adalah Damar. Ia tidak tahu apakah si kakek akan bisa menerima Cantika? Damar memang baik padanya, tapi Cantika bukan darah daging Dion. Ia tidak tahu, apakah itu akan menjadi penghalang nanti.

Ternyata ketakutan Mayra tidak menjadi kenyataan. Begitu Cantika menginjakkan kaki di rumah besar itu, Damar tersenyum dan mendatanginya.

"Anak manis, siapa namamu?"

Cantika menatap Damar dengan bola matanya yang bulat dan indah. "Namaku Cantika, Kakek."

"Ah, Cantika. Nama yang cantik sesuai orangnya. Apa kamu mau menemani kakek jalan-jalan ke taman dan melihat-lihat burung? Kakek Uyut memelihara banyak burung."

Cantika mengangguk antusias. "Mau, Kakek."

Damar terkekeh dan mengulurkan tangan. "Ayo, kita pergi sekarang. Manggilnya jangan kakek tapi uyut."

"Iya, Uyut."

Semudah itu, Damar menerima kehadiran Cantika. Tanpa banyak tanya, tanpa protes sedikitpun. Mayra menatap dengan terharu, bagaimana Damar bisa mengembalikan tawa anaknya. Mereka berkeliling taman, melihat-lihat burung, dan Damar menemani Cantika bermain petak umpet. Dion yang seakan mengerti isi pikirannya, berbisik lembut.

"Kita lupa, nggak beli mainan. Besok kita pergi beli, biar Cantika nggak kesepian."

Mayra mengangguk, melihat anaknya berlarian di ruang tengah, sesekali tertawa di kaki Damar. "Iya, kita beli besok. Dia tertawa, senang bermain dengan Kakek."

"Memang, dan Kakek juga kelihatan senang. Bagus bukan? Rumah ini nggak sepi lagi, karena sekarang ada Cantika."

Keesokan harinya, Grifin dan Tina datang berkunjung. Mereka ingin melihat keadaan Cantika. Tina tidak hentinya mengomel dan memaki saat melihat bilur kemerahan di tubuh Cantika.

"Kalau aku jadi kalian, akan memuntut pasangan suami istri setan itu!"

"Kami berniat melakukannya, visum juga sudah kami lakukan," jawab Dion.

"Bagus itu, jangan kasih mereka kesempatan untuk hidup tenang!"

Grifin mengalihkan pandangan dari Cantika yang sedang bermain di atas karpet. Ia datang membawa boneka untuk gadis kecil itu, dan ternyata Cantika sangat menyukainya. Sekarang, Cantika sibuk bicara dengan boneka barunya.

"Sebenarnya, hidup mereka sudah mulai nggak tenang," ucap Grifin perlahan. "Selain karena perusahaan sedang bermasalah, mereka juga baru tertimpa musibah."

Mayra menatap Grifin dengan pandangan bertanya-tanya. "Kena musibah apa?"

"Kemarin, Dira dilarikan ke rumah sakit. Dari kabar yang aku dengar, anaknya meninggal saat dilahirkan."

Mereka saling pandang dengan muram. Dira sudah mendapatkan hukumannya, tapi mereka tidak berani merasa gembira karena itu. Bagaimana pun, kehilagan anak adalah hal yang paling menyakitkan, Mayra sendiri pernah mengalami.

Melihat suasana jadi canggung, Tina berdehem. "Ngomong-ngomong, aku ada kabar bagus untuk kita semua."

Semua mata kini tertuju pada Tina. "Kenapa? Kamu menang lotre miliaran rupiah?" tebak Dion.

Tina mencebik. "Coba aja itu benar. Sayangnya, ini semua nggak ada hubungannya sama uang."

"Trus, ada apa?"

Tina merangkul bahu Grifin dan berkata dengan wajah berbinar. "Natasha mengatakan, kalau sangat menyukai Grifin. Minggu lalu, saat mereka di klub, saling lengket satu sama lain. Tidak terpisahkan. Aku akan heran kalau Grifin tidak membawanya ke tempat tidur."

"Memang, nggak!" jawab Grifin pelan. "Memangnya ada keharusan, membawa perempuan yang baru di kenal ke ranjang? Tidak peduli meskipun dia cantik."

Tina terbelalak, mengguncang bahu sahabatnya. "Kamu kesambet? Bisa-bisanya kamu mikir lurus begitu?"

"Dari dulu aku lurus, kamu aja yang nggak!"

"Hei-hei, kenapa kalian jadi ribut? Tadi Tina bilang ada kabar baik. Buruan bilang ada apa?" Dino melerai pertengkaran kedua sahabatnya.

Tina kembali tersenyum lebar. "Oh, itu. Selama beberapa hari ini Natasha dan Grifin terus melakukan pendekatan. Tadi malam, Natasha bilang kalau mengungkapkan perasaannya pada Grifin, dan coba tebak?" Ia menghentikan ucapannya dengan dramatis, menatapa para sahabatnya yang kebingungan. "Grifin setuju. Mereka sepakat untuk menjalin hubungan dan membuat komitmen untuk bersama. Kalian bisa bayangin? Bujangan kita akhirnya bertekuk lutut pada cinta!"

Mayra bertepuk tangan dengan wajah berseri-seri sedangkan Dion hanya menggeleng sambil berdecak. "Terlalu cepat, berapa hari kenal? Seminggu?"

Tina mengangguk. "Iya, tepat seminggu. Kata Natasha, dia menemukan belahan jiwa dan sosok yang dicarinya selama ini pada Grifin. Manis nggak, tuh."

Dion menggeleng sambil menggoyangkan tangan. "Nggak, menurutku tetap terlalu cepat. Pacaran boleh, jangan serius dulu. Harus pendekatan yang benar. Menikah bukan soal main-main."

Tina mencubit pinggang Dion dan membuat laki-laki menjerit kesakitan. "Kamu kenapa, sih? Ingat nggak pas nikah sama Mayra, kamu juga kenal dia baru beberapa bulan."

"Eh, beberapa bulan, ya? Bukan beberapa hari."

"Trus apa bedanya, kalau jodoh."

"Jelas bedalah."

Grifin menghela napas panjang, meraih sebatang rokok dan menyulutnya. Ia bertukar pandang dengan Mayra dan sama-sama mengangkat bahu, geli dengan pertengkaran antara Tina dan Dion.

.
.
.
.
.
.
Terima kasih, versi cetak untun cerita ini sudah terjual 100 buku dalam satu hari. Tidak akan ada cetak ulang, kalau kalian masih mau memesan, bisa chek Shopee atau Tokped, barangkali masih ada olshop yang punya stok.

RetakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang