Bab 9b

9.5K 1.1K 32
                                    

"Bagaimana tadi tesnya, kamu nggak grogi'kan?" tanya Nirmala saat mereka duduk bersebelahan di kontrakannya yang sempit. Anaknya sudah tidur, berdampingan dengan sang nenek.

Mayra mengunyah perlahan. Karena tidak bisa tidur, mereka memutuskan makan mie seduh. "Agak grogi sebenarnya. Tapi, berusaha yang terbaik."

"Bagus, biar kita bisa satu restoran. Aku mulai kerja Minggu depan, semoga kamu juga."

Mayra mengangguk, menatap mie dalam gelas di tangannya. Ia sangat berharap bisa kerja di restoran lagi. Ia menyukai kesibukan di dapur, hawa panas, aroma masakan, dan pujian yang diterima saat para pelanggan puas dengan masakannya. Itulah yang dilakukannya dulu, sebelum nasib dalam pernikahan mengubah semuanya.

Mengaduk mie perlahan, Mayra teringat akan Dion. Laki-laki itu tidak menghindarinya, menyapa ramah, dan menunjukkan kalau mereka saling mengenal. Dari awal ia tahu kalau Dion adalah laki-laki yang baik dan tulus.

Terdengar bunyi alat makan beradu, Nirmala merapikan bekas makan dan peralatan yang kotor. Membawanya ke belakang. Ada sumur yang bisa digunakan untuk bersama. Dengan tiga bilik kecil, orang-orang menggunakan sumur itu untuk mandi, buang air, mencuci pakaian, dan lain-lain. Keadaan juga tidak terlalu bersih, dengan tumpukan sampah menggenang di got dan menimbulkan bau anyir.

Sebenarnya, lingkungan tempat Nirmala tinggal jauh lebih padat dari pada kosan, tapi bagi Mayra tempat ini adalah yang laing aman untuknya sekarang. Nirmala sudah membantu dan menampungnya, itu hal yang bagus.

Terdengar teriakan keras dari kontrakan samping. Mayra menatap anak Nirmala yang menggeliat. Bocah itu terganggu, dengan lembut ia menepuk punggungnya dan anak perempuan itu kembali tertidur. Mengamati anak Nirmal, pikiran Mayra dipenuh oleh Cantika. Entah bagaimana kabar anaknya sekarang. Ia berharap, bisa cepat dapat pekerjaan, mandiri, dan bisa bertemu kembali dengan anaknya.

"Maay, ada kabar baik!"

Nirmala bergegas masuk dengan ponsel di tangan. Menunjukkan layar ponsel pada temannya. "Kamu diterima, kata mereka kamu boleh kerja mulai Minggu depan."

Mayra menghela napas panjang, meraih tangan Nirmala dan menggenggamnya. "Kabar yang baik, ini awal untuk kita."

"Benar, ini awal yang baik untuk kita."

Rencana untuk bekerja di restoran Dion, membuat Mayra tidak dapat memicingkan mata. Ia terjaga sepanjang malam, mengingat tentang anaknya dan juga, harapan-harapan yang terbentuk karena tempat bekerja yang baru. Ia berjanji dalam hati, akan bekerja sebaik mungkin demi mendapatkan anaknya kembali.

**

Rumah itu terlihat lebih lengang dari biasanya. Tidak ada tawa nyaring yang biasanya terdengar. Semua penghuni di sekitar mereka tahu, kalau nyonya rumah itu melarikan diri dan meninggalkan anakj serta suami. Para tetangga menggosip hampir setiap hari, menyampaikan kabar dari mulut ke mulut tentang Adam yang berselingkuh, Mayra yang kabur, dan Cantikan yang kini diasuh Yuna. Gosip dan berita yangn makin hari makin ditambah bumbunya, bahkan jauh lebih pedas dari yang asli. Mereka menggunjingkan Adam yang katanya punya tiga selingkuhan, mereka menggosipkan Mayra yang kabur ke manta pacar, dan juga Yuna yang tidak becus mengasuh Cantika. Tidak ada yang mau repot-repot mengeceknya. Mereka menelan mentah-mentah kabar-kabar itu dan akibatnya, tidak ada lagi yang ingin bergaul dengan keluarga Adam.

Mungkin Adam tidak peduli dengan gosip-gosip itu, karena sibuk bekerja dan mempersiapkan pernikahan dengan Dira. Tapi, Yuna yang mendengarnya sangat geram. Seperti pagi ini, ia nyaris adu pukul dengan salah seorang tetangga saat mendengar perkataan para perempuan itu.

"Kita, jadi perempuan, kudu hati-hati kalau mau cari laki. Jangan sampai, nikahnya ama kita tapi yang kontrol emaknya!"

"Emang bener itu, terpenting lagi cari laki kudu yang setia. Jangan pandang fisik doang, tapi juga hati."

"Orang yang ngaku tampan, biasa emang suka berulah."

"Padahal punya bini cantik, tapi masih kurang."

"Iyalah, cuma kucing bodoh yang melepaskan ikan demi ayam basi. Biar pun ayam lebih malah, tapi basi."

"Ckckck, kasihan, ya, menantunya. Nggak ada yang belain."

"Namanya juga, mertua egois."

Mereka mengatakan dengan keras dan disengaja saat Yuna lewat dengan menggandengn Cantika. Terjadi hampir setiap hari, orang-orang itu menyindirnya dan membuatnya nyaris kehilangan sabar. Mereka membicarakannya seolah dirinya mertua paling jahat di dunia. Padahal, mereka tahu kalau ia juga sayang dengan Mayra.

"Mertua kayak gitu, semoga masuk neraka!"

"Yah, minimal dapat karmalah!"

Mereka tertawa dan Yuna yang tidak tahan lagi, menghampiri dengan wajah kaku. "Kalian bilang apa? Aku mertua yang egois?"

"Eh, ada yang ngrasa? Emang kita ngomongin situ?" Salah satu perempuan menjawab santai.

"Saat kalian ngomong, muka kalian jelas jelas menunjuk ke arahku!" teriak Yuna. "Aku peringatkan, ya. Kalau sampai kalian bikin sakit hati anak dan cucuku, nggak akan aku maafkan dan aku akan bikin perhitungan!"

Yuna meninggalkan mereka dengan wajah merah padam. Kebaradaan Mayra yang tidak diketahui, rencana Adam untuk menikah lagi, menjadi santapan gosip di antara para tetangga dan ia harus menebalkan telinga untuk tidak mendengarnya. Ia sedang membantu Cantika berganti pakaian saat mendengar pertanyaan cucunya.

"Nenek, pelakor itu apa?"

Yuna mengedip bingung. "Cantika dengar itu dari mana?"

"Temen-temen, katanya Mama pergi karena pelakor."

Yuna meraup Cantika dalam pelukannya. Hatinya sakit sekarang. Ia menyetujui hubungan dan pernikahan antara Adam dan Dira, tapi tidak suka dengan dampaknya pada Cantika. Mereka boleh menyakiti siapapun, tapi jangan Cantika.

**

Menaiki angkot, Mayra dan Nirmala bersama-sama menuju restoran. Karena tempatnya yang cukup jauh dengan kondisi jalanan yang cukup macet, mereka berangkat dua jam lebih awal dari jam buka restoran. Tidak ingin telat di hari pertama bekerja.

"Semoga kerjaan kita nanti di sini panjang waktunya, ya, Mayra. Aku bisa bawa anak sama ibuku pindah kos yang dekat."

Mayra mengangguk. "Kalau sudah stabil, kerjaan dan keuangan kita. Ada baiknya kita pindah kos. Nanti kita yang cari kontrakan murah yang bisa bayar bulanan dan kita patungan."

"Iya, itu ide bagus."

Mereka datang tepat waktu, setengah jam sebelum restoran buka, Risty mengumpulkan semua pekerja. Memberi arahan pada tiga pelayan area depan dan dua koki baru.

"Kalian mendapat makan siang, dan juga jatah libur seminggu sekali. Libur tidak boleh weekend atau tanggal merah, karena itu waktu sibuk. Untuk koki baru, kalian ditunggu Pak Dion di kantor."

Bersama satu koki laki-laki yang sama-sama diterima bekerja, Mayra menuju kantor Dion. Mengetuk perlahan dan mendapati laki-laki itu sudah menunggu dengan kontrak kerja di atas meja.

"May, duduk. Mau minum apa?"

Sapaan ramah dari Dion membuat Mayra menggeleng malu. "Nggak usah, Pak."

"Pak? Kamu manggil aku, Pak?" Dion mengangkat sebelah alis.

Mayra menggangguk gugup. "Iya, Pak Dion."

Dion mengetuk permukaan meja dan berkata lantang. "Perlu kamu tahu, Mayra. Umurku, lebih muda darimu tiga tahun. Karena itu, panggil aku Dion. Nggak pakai pak-pak segala!"

Hari pertama Mayra kerja, diawali dengan perdebatan soal nama.

**

Di Karyakarsa udah bab 32

RetakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang