Mayra menatap tak percaya saat mendengar jawaban suaminya. Ia meraih tali karet dari atas meja dan mengikat rambutnya. Seharian ini, membiarkan rambutnya tergerai dan lepek karena keringat. Ia suka bekerja, membersihkan rumah, memasak, dan melakukan pekerjaan rumah yang lain. Akhir-akhir ini Adam jarang pulang, tertinggal hanya Mayra dan Cantika di rumah. Meski begitu, ia tetap memasak seperti biasanya karena menginginkan anaknya punya makanan rumahan yang sehat.
Setelah kejadian ini, pengakuan Adam yang meluluhlantakan bahtera rumah tangga mereka, Mayra yang awalnya gamang, tidak tahu harus bagaimana, hanya bisa menangis dan merenung. Menganggap dirinya tidak cukup baik menjadi seorang perempuan sekaligus ibu. Terlebih saat mendengar perkataan Yuna tentang Adam. Awalnya ia marah, menganggap mertua perempuannya itu pilih kasih. Tapi, dipikir lagi mungkin itu hanya pembelaan seorang ibu pada anaknya. Adam adalah penopang keluarga, tidak heran kalau orang tuanya sangat mendukung. Mayra merasa, percuma dirinya memberontak dan marah, tetap saja kalah. Lebih baik kalau mencari jalan keluar sendiri untuk hidupnya, yaitu bercerai.
"Kenapa kamu nggak mau kita bercerai. Kamu sudah ada wanita lain, sudah hamil lagi. Kalian pasti ingin menikah bukan?"
"Memang, tapi kami tetap menikah dengan persetujuanmu."
Mayra mengernyit. "Maksudnya apa, Mas? Menikah dengan persetujuanku?"
Adam menghela napas panjang. "Kalian berdua, kamu dan Dira, tetap menjadi istriku."
Mayra menatap Adam dengan tatapan bingung bercampur tidak percaya. Setelah perngakuan perselingkuhan Adam, ada lagi hal yang lebih kejam diucapkan laki-laki itu. Bisa-bisanya ingin menjadikannya istri tua? Poligami? Mayra merasa otak Adam sudah rusak.
"Aku rasa kamu salah paham pada sikapku," ucap Mayra dengan kemarahan tertahan. "Aku marah karena kamu khianati dan kamu nggak mau ceraikan aku? Apa kamu sudah gilaaa?!"
"Mayra, aku sudah berkali-kali minta maaf padamu soal ini. Aku salah, aku akui itu."
"Apa gunanya minta maaf, semua sudah terjadi."
"Mayra, aku khilaf."
Mayra mendengkus tidak percaya. "Lagi-lagi kamu bilang khilaf? Mana ada khilaf sampai hamil?"
Adam bergerak mendekat, Mayra bergerak menjauh. Meraih lengan istrinya, Adam mencengkeram kuat, tidak melepaskan meski Mayra mengernyit.
"Sa-sakitt."
"Mayra, buka telinga dan dengarkan aku dulu. Semua yang terjadi, aku lakukan demi masa depan keluarga kita. Anak yang dikandung Dira, bisa membantu kita. Apa kamu mengerti?"
Mayra menggeleng. "Pengertian macam apa yang kamu minta dariku, Mas? Mengijinkanmu punya istri muda? Menikah lagi dengan ijinku? Hahaha, pengertian sialanmu itu, sungguh nggak bisa aku terima."
"Mayra, jaga omongan. Jangan kasar! Kenapa kamu nggak mau ngalah? Demi keluarga kita, demi Cantika!"
Perkataan yang sama diucapkan oleh Yuna, kali ini oleh Adam. Kenapa mereka menyudutkannya dengan membawa-bawa anak? Kenapa mereka membuatnya tidak berdaya dengan membawa bawa Cantika? Memangnya ia tidak boleh punya pendapat sendiri?
Mayra mengibaskan cengkeraman Adam di pergelangan tangannya. Mengernyit saat melihat kulitnya kemerahan. Ia menjauh dari Adam, merasa asing dengan laki-laki yang sudah menikah dengannya lima tahun ini. Entah ke mana perginya rasa sayang yang dulu ia rasakan. Kemana menghilangnya rasa memuja yang dulu meluap-luap ia rasakan.
Mereka bicara di ruang tengah yang lengang. Tempat mereka biasa menghabiskan waktu bersama untuk menonton televisi atau mengobrol. Mayra akan membuat kopi dan mendengarkan Adam bicara panjang lebar, mengeluh tentang beban pekerjaan yang berat dan seolah tiada habisnya. Mayra hanya bisa menghibur, saat suaminya yang penat dan lelah karena pekerjaan, mengumpat orang-orang kantor, atasan, dan siapa pun yang dianggap bersalah.
Di ruang ini juga dulu mereka membangun mimpi-mimpi. Tentang rencana membeli kendaraan baru, mencari sekolah yang bagus untuk Cantika, membangun usaha restoran untuk Mayra. Ironisnya, di ruangan ini pula mereka berdiri berhadapan bagai dua orang asing dengan niat saling melukai satu sama lain.
"Kenapa kita harus saling mempersulit diri, Mas?"
Adam menggeleng. "Nggak ada yang mau mempersulit kamu, Myara. Aku berusaha memberimu pengertian."
"Semua orang mengatakan hal yang sama, termasuk mamamu. Aku diminta untuk mengerti dirimu, mimpi-mimpimu, tapi apa kamu pernah tanya apa mimpiku, Mas?"
"Kamu kekanak-kanakan. Memangnya apa salahnya seorang istri sekaligus ibu, mengalah demi suami dan anak? Memangnya apa salahnya kamu mengorbankan diri demi keluarga?"
"Apaa? Kamu memintaku mengorbankan diri demi kalian?" Mayra berujar keras, telunjuknya teracung. "Pengorbanan apa lagi yang kamu minta? Mengijinkanmu menikah dan menjadikanku istri tuamu? Kamu pikir, aku perempuan tanpa perasaan? Kita menikah, atas dasar cinta. Akuu ... menerimamu apa adanya, mendampingimu, berusaha selalu untuk menjagamu dan Cantika." Mayra terisak sekarang. Ia membenci dirinya yang mudah menangis tapi air matanya seolah tidak tertahankan. "Lima tahun, aku mengubur mimpi dan cita-citaku, di rumah ini. Lima tahun aku berusaha meyakinkan diri kalau semua yang aku lakukan adalah keputusan terbaik. Ternyata, keyakinan itu justru menghancurkan hatiku!"
Adam mendekat, ingin meraih Mayra dalam pelukan tapi diurungkan. Ia tahu, istrinya sedang marah dan membencinya. Tapi, ia yakin dengan penjelasan yang tepat dan seiring berjalannya waktu, Mayra akan mengerti.
"Mayra, apa kamu ingin aku bersimpuh dan memohon padamu?"
Mayra menatap lekat-lekat pada laki-laki yang berdiri dengan wajah menyiratkan permohonan yang sama sekali tidak tulus. Ia sudah dilukai, dan kini dipaksa berjalan di atas pecahan kaca yang membuat tubuhnya terkoyak makin dalam. Apakah Adam tidak mengerti dengan apa yang terjadi? Apa laki-laki itu tahu, apa yang sudah dilakukannya?
"Kamu ingin menikahi selingkuhanmu, bukan?" Mayra menghela napas panjang. "Anak boss yangh cantik dan kaya raya. Katamu demi masa depan dan mendukung karirmu. Boleh, Mas. Silakan, aku nggak larang. Tapi, ceraikan aku!"
"Tidaaak! Aku nggak mau!" bentak Adam kasar. "Aku nggak akan ceraikan kamu!"
"Tdak ada yang namanya dua cinta dalam rumah tangga. Kamu pikir semua akan baik-baik saja kalau kamu punya dua istri?"
"Tentu saja, semua akan baik-baik saja. Aku yakin bisa membuatmu dan Dira bahagia."
Mayra mendengkus, menatap langit-langit ruanh tengah. Rasa lelah menderanya dan ingin sekali mengakhiri perdebatan ini secepat mungkin.
"Bahagia seperti apa yang ingin kamu berikan padaku, Mas? Kenapa membuat semuanya makin sulit. Ceraikan aku!"
"Tidak akan, dan jangan memaksaku, Mayra!" Adam mendekat, meraih bahu Mayra dan mengguncangnya. "Aku masih menyayangimu, nggak mau cerai. Terima saja pernikahanku dengan Dira, Mayra. Aku janji akan memberikan semua yang kamu inginkan."
Mayra memberontak. "Kalau begitu, langkahi dulu mayatku!"
Wajah Adam menggelap. "Oh, jadi ini yang kamu inginkan? Baik, aku akan berikan apa yang kamu mau!"
Mayra menjerit saat sebuah pukulan bersarang di perutnya. Sekian lama menjalani rumah tangga, baru kali ini suaminya melakukan kekerasan. Ia ditampar hingga terjatuh dan tergelak di lantai dengan darah membasahi tubuh. Ia terus dihajar, oleh Adam yang seolah telah kehilangan akal sehat.
"Aargh, sa-sakiit!"
"Kamu yang membuatku kehilangan kesabaran, Mayra. Coba kamu menurut!" Adam mencengkeram rambutnya. "Kenapa, kamu keras kepala, hah?"
**
Di Karyakarsa sudah bab 12
KAMU SEDANG MEMBACA
Retak
RomanceKisah Mayra yang jatuh bangun membangun hidup setelah bercerai dari suaminya yang berselingkuh. Ia kehilangan hak waris anak, menuai cacian, dan juga rasa permusuhan dari mantan mertua dan juga teman-temannya, karena dianggap tidak mampu menjaga rum...