Bab 9a

9.7K 1.1K 30
                                    

"Selamat datang di restoranku. Kalian akan masak langsung, menu menggunakan daging sapi. Kami ingin yang berkuah dan menggugah selera. Aku nggak peduli kalian sudah kerja di mana saja dan untuk berapa lama. Yang aku inginkan adalah koki yang cocok dengan citarasa restoran kami. Mengerti?"

Mayra dan calon koki lainnya mengangguk. Otaknya berputar tentang hidangan seputar daging yang menggugah selera. Apa yang harus ia masak? Ia menatap Dion yang sedang memberikan pengarahan pada mereka. Tersenyum dalam hati karena ternyata nasib mempertemukannya dengan laki-laki itu lagi.Tidak mengherankan kalau Dion dari keluarga kaya, mengingat bagaimana laki-laki itu membantunya membayar biaya rumah sakit tanpa perhitungan. Laki-laki yang bertanggung jawab atas perbuatannya.

"Oke, kalian ikuti Risty, dia mana manajer restoran ini. Kalian diberi waktu 60 menit untuk menyiapkan hidangan. Aku akan menunggu bersama beberapa teman di ruang depan."

Mayra menghela napas untuk menghilangkan gugup saat Dion meninggalkan ruangan. Risty, perempuan 30 tahun dengan rambut pendek dan memakai seragam abu-abu bicara lantang.

"Mari, ikuti aku."

Mereka dibawa ke dapur panjang yang ada di bagian belakang restoran. Ada lima kompor untuk digunakan dan berikut peralatan memasak.

"Untuk bahan makanan, kalian bisa ambil di kulkas. Silakan! Waktu dimulai sekarang."

Mayra berdiri sesaat di depan kulkas, mengamati bahan-bahan masakan di depannya. Para pseserta sudah mulai memilih bahan. Ia mengambil sepotong besar daging, kol, daun bawang, dan bumbu-bumbu lalu membawanya ke meja depan kompor. Hidangan biasa yang menggugah selera, jawabannya satu, tongseng sapi. Masakan traditional itu cukup mudah dibuat, dan ia sudah terbiasa memasaknya. Ia berdoa dalam hati sebelum mulai memotong daging. Semoga mendapatkan keberuntungan dan nasib baik di tempat baik. Demi dirinya dan juga Cantika.

Di ruangan VIP restoran, Dion duduk bersama Damar dan Grifin. Di sana juga datang satu perempuan cantik berambut pirang. Perempuan itu berbincang serius dengan sang kakek, mengobrol tentang bisnis, dan juga gaya hidup.

"Berapa orang koki yang datang hari ini?" tanya Grifin.

"Lima, dua cewek dan tiga cowok." Dion meraih gelas berisi jus dan meneguknya.

"Koki yang lama kamu pecat?"

"Hooh, nggak becus kerja. Main ponsel melulu dan beberapa kali ada rambut. Kamu tahu itu nggak boleh terjadi."

Grifin mengangguk, meraih sebatang rokok dan menyulutnya. "Minggu depan aku ke Malaysia, paling dua atau tiga bulan di sana."

Dion terbatuk kecil, menghela napas panjang dan mengipas udara untuk menyingkirkan asap. "Oh, soal bisnis baru itu?"

"Iya, ada distributor besar di sana dan aku ingin tahu bagaimana penerimaan pasar di sana tentang barang kita."

Perempuan berambut pirang menoleh pada mereka berdua, menunjuk Grifin dengan wajah heran. "Kamu, kerja melulu. Emangnya nggak niat kawin?"

Grifin mengangkat bahu. "Kawin? Udah sering. Lagian, buat apa terikat perkawinan kalau ujung-ujungnya cerai. Kayak kamu!"

"Jangan mengkritikku!"

"Tina, nggak ada yang kritik kamu. Semua yang ada di sini tahu kalau rumah tanggamu diambang kehancuran. Masih berani nyuruh aku kawin. Kenapa nggak Dion aja?"

Dion menghela napas panjang, berusaha meredakan batuknya. "Jangan bawa-bawa aku!" ucapnya serak.

Tina menepuk permukaan meja. "Kakek baru saja bilang, kalau Dion akan menikah dengan Andini. Aku, sih, nggak suka cewek itu. Tapi, demi Dion—"

Terdengar dengkusan keras, Dion menggeleng cepat. "Kita semua tahu, Andini sukanya sama Grifin. Aku nikah sama dia, sama saja kayak bunuh diri sendiri."

"Jangan bicara sembarangan!" teriak Damar. "Kalau memang Andini suka sama Grifin, memangnya kenapa? Grifin, toh, mau ke luar negeri. Dia pasti lupa dan kalau kalian menikah, Andini pasti cinta sama kamu."

"Kek, ngomongin cinta kayak ngomongin gadai barang. Bisa pindah-pindah pemilik, aneh amat!"

"Kamu yang aneh, Dion." Tina berdecak keras. "Coba mikir, umur makin tua, kasihan Kakek kalau kamu jadi beban dia. Nikahlah!"

"Eh, Tina. Kapan aku jadi beban Kakek?"

"Nggak sadar, ya, kamu. Kasihan Kakek, Dion!"

"Tina, kamu ngomong apaan, sih?"

Grifin mengisap habis rokoknya, mendengarkan dalam diam perdebatan mereka tentang jodoh Dion. Ia tidak mengerti kenapa Tina meributkan soal pernikahannya dan Dion, sedangkan perempuan itu justru diambang perceraian. Kalau niat sang kakek bisa dipahami. Bagaimanapun, rumah mereka terlalu besar untuk ditempati berdua. Kalau Dion menikah, punya pasangan dan kehidupan yang stabil, pasti kakek akan sangat bahagia.

Bagi Grifin, pernikahan bukan hal yang penting. Setiap orang berhak untuk memilih apakah ingin menikah atau tidak. Banyak yang lebih penting untuk dicapai, misalnya karir dan usaha yang mapan. Cinta, ia bisa dapatkan dari mana saja. Dengan tubuh dan tampangnya, banyak perempuan yang rela menyerahkan diri padanya. Sayangnya, ia penyuka perempuan tapi bukan untuk pernikahan.

Perdebatan mereka terhenti saat pintu digentuk. Dion bangkit untuk membukanya dan Risty mengangguk hormat. "Pak, makanan sudah diapa disajikan."

"Bawa masuk. Suruh mereka pulang dan akan dikabari nanti melalui ponsel."

"Baik, Pak."

Ingatan Dion tertuju pada Mayra. Ia sempat kaget saat tahu perempuan itu melamar pekerjaan padanya. Dilihat dari penampilannya yang terlihat bugar, sepertinya luka-lukanya sudah membaik. Ia tidak tahu kalau Mayra membutuhkan pekerjaan, kalau dari awal ngomong sudah pasti ia menawari.

Dua pelayan restoran datang dengan nampan, meletakkan makanan hasil dari calon koki baru. Ada semur, sop, oseng, soto, dan juga tongseng. Aroma bumbu menguar di udara. Tina mengendusnya dengan wajah gembira.

"Wah, jadi lapar aku."

Tak lama, masing-masing orang mendapat sepiring nasi dan mereka mencicipi hasil masakan secara bergantian.

"Semurnya enak, tapi kurang empuk daginnya," ucap Grifin.

Damar mengangguk. "Kakek setuju. Gigiku rasa mau patah makan itu."

"Sopnya kurang ada rasa." Tina berdecak kesal, menyingkirakn sop dari depannya dan mencoba makanan yang lain.

Dion mencicipi tongseng. Ia tidak tahu itu hasil masakan siapa tapi cukup menyukainya. "Ehm, ini enak. Paduan bumbu dan sayuran pas di lidah. Dagingnya juga empuk. Kalian cobain."

Menuruti saran Dion, masing-masing mengambil dua sendok tongseng dan mencicipi. Tina mengangguk dan berdecak puas. "Enak."

Grifin pun sama. "Rempah dan bumbunya pas."

Damar mengunyah daging dengan perlahan lalu menelannya. "Dagingnya empuk. Kakek suka yang ini."

Selesai mencoba makanan, mereka pamit pergi termasuk sang kakek. Dion memberi tahui Risty tentang koki mana yang lulus uji dan kaget saat mendapati kalau itu adalah Mayra. Rupanya, ikatan nasib antara dirinya dan perempuan itu, tidak terhenti hanya sebatas antara penabrak dan korbannya.

***

Di Karyakarsa sudah ada bab 29-32. Bab yang mengharu biru dan meluruhkan air mata.

RetakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang