Bab 18a

8.6K 946 27
                                    

Mayra tidak pernah menganggap serius ajakan Dion untuk menikah. Ia tahu diri untuk tidak merepotkan orang lain dalam menyelesaikan masalahnya. Ide kawin kontrak bukan hanya gila tapi itu perbuatan yang akan menyakiti banyak orang, tentu saja sang kakek, Damar. Mayra tahu, keuntungan terbesar ada padanya. Menikah dengan Dion, kesempatan untuk mengambil alih Cantika sangat besar. Namun, ia tidak tega kalau harus melukai hati laki-laki tua.

"Kita menikah, bukan hanya bisa menyelamatkan Cantika tapi juga aku. Bagaimana, May?"

"Aku ... janda, Dion. Baru saja menjanda."

"Lalu, apa masalahnya? Kamu pisah dari Adam udah hampir delapan bulan, meskipun baru menyandang status resmi. Aku rasa, tidak ada hukum yang akan menghalangi kita menikah."

Mayra menggeleng. "Ini gila, bagaimana reputasimu kalau menikahi janda dan perempuan yang tidak sederajat denganmu."

Dion tersenyum kecil. "Jangan pedulikan itu, yang terpenting kamu bisa menerimaku. Please, Mayra. Anggap saja aku memohon pertolongan padamu untuk membebaskan diriku dari perjodohan."

Mayra tidak habis pikir, kenapa dirinya yang harus menolong Dion. Kenapa bukan Tina? Bukankah mereka saling mengenal satu sama lain? Tina juga baru saja bercerai, dan sedang tidak ada pasangan. Tapi, ia tidak berani bertanya soal ini pada Dion, bisa jadi hubungan keduanya jauh lebih dekat dari pada saudara.

"Heh, bengong aja. Kerja yang bener!"

Risty menempelkan pesanan pada jendela kaca dengan sedikit bertenaga. Alhasil, membuat Mayra yang sedang membumbui bebek tersentak kaget.

"Pecah itu kaca, nggak usah digebrak gitu juga, Mbak!" celetuk Johan.

Risty melotot padanya. "Emangnya aku ngomong sama kamu?"

"Loh, di dapur hanya ada kami bertiga. Emang situ ngomong sama siapa lagi?"

"Koki banyak cakap!" Risty membentak sengit lalu menghilang di lorong.

Gusti dan Johan saling pandang lalu mengangkat bahu bersamaan.

"Ada apa sama dia?" tanya Gusti.

"Nggak tahu, PMS kali."

"Marah-marah melulu kalau ke dapur, lama-lama aku aduin ke Pak Dion," sungut Gusti.

Johan yang mendengarnya mengacungkan jempol. "Aku juga ada niat begitu. Mentang-mentang manajer, seenaknya aja nyuruh-nyuruh kita dan nggak ada sopan-sopannya!"

Mayra menyela percakapan mereka. "Kalau kalian ngadu, pasti aku yang kena imbasnya."

"Kok bisa?"

"Kenapa?"

Gusti dan Johan bertanya bersamaan. Mereka menatap Mayra tidak mengerti.

"Manajer kita emang nggak suka sama aku. Itu bukan rahasia lagi, semua yang kerja di sini tahu. Aku yakin, dia dengan senang hati menimpakan semua masalah ke atas kepalaku."

Johan memotong sayuran yang telah dicuci bersih dan meletakkannya di atas piring, dilanjut dengan bakso dan udang kupas. "Nggak adil buat kita, kalau nggak ngadu. Masalahnya, tanpa kita restoran ini nggak jalan. Tapi, lihat manajer yang harusnya jadi pemimpin malah menindas kita. Aku ngerti kenapa Risty nggak suka sama kamu, May. Karena kamu dekat dengan Pak Dion. Bukan hanya Risty yang cemburu tapi hampir semua pegawai perempuan yang masih single."

Mayra tersenyum, menepuk-nepek daging bebek di tangannya yang telah dibumbui merata dan menutupnya. Menyalakan komporb lalu meletakkan panci kukusan di atasnya.

"Sebenarnya, Dion berhak berteman dengan siapa pun, tanpa ada yang boleh mengatur. Tapi, namanya juga perempuan."

"Aku nggak ngerti perempuan," ucap Johan lantang. "Pikiran mereka aneh!"

"Oh, kamu nggak mau sama perempuan? Kalau gitu kawin sama laki aja, mau?" tanya Gusti.

Johan bergidik seketika. "Nggak mau. Idiih!"

Mereka tertawa bersamaan, dan terhenti saat pesanan mulai berdatangan. Mayra menyingkirkan perkara kawin kontrak dengan Dion. Ia memusatkan pikiran pada sayur, rempah, dan semua bahan masakan di hadapannya. Pekerjaan nomor satu, hal lain bisa dipikirkan belakangan.

**

Dion mengisap rokok, sambil sesekali terbatuk. Di sampingnya, Grifin mengernyit dengan wajah tidak suka.

"Batuk kenapa ngrokok terus!"

Dion menggeleng. "Aku ditolak cewek."

Grifin yang sedang membubuhkan tanda tangan di atas dokumen, menghentikan gerakannya. "Apa katamu?"

"Aku mengajak Mayra menikah dan dia menolakku!"

Perkataan Dion yang diucapkan dengan tenang membuat Grifin terheran-heran. Ia tidak pernah mendengar kalau sahabatnya menjalin hubungan spesial dengan Mayra. Lalu, kenapa sekarang memutuskan untuk menikah? Mulai kapan mereka dekat satu sama lain? Kenapa ia tidak tahu?

"Dion, emangnya kalian pacaran?" tanyanya bingung.

Dion menggeleng. "Nggak."

"Trus, kenapa pingin nikah sama Mayra?"

"Sama-sama saling membutuhkan. Aku butuh Mayra untuk mengusir Andini dari hidupku dan Mayra, butuh aku untuk mendapatkan Cantika."

Grifin menutup dokumen di tangan, meninggalkan kursi dan duduk di sofa berhadapan dengan Dion. Ia menuang air putih dan meneguk perlahan. Matanya mengawasi Dion yang sedang merokok sambil melamun. Ada lingkaran hitam di bawah mata, yang menandakan sahabatnya itu kurang tidur. Apa yang membebaninya? Apakah perjodohan dengan Andini benar-benar membuat Dion stress?

Ia mengenal Andini, dan memang tidak ada perasaan apa pun dengan perempuan itu. Dari pertama kenal, Andini mengatakan dengan jelas kalau menyukainya dan berharap menjadi kekasihnya. Ia sendiri sudah menolak berkali-kali. Tidak peduli kalau Andini dengan gigih mengejarnya, ia tidak ada minat sama sekali.

Saat tahu kalau Dion dijodohkan dengan Andini, ia pun kaget. Tapi, tidak mengatakan keberatan apa pun karena bukan kapasitasnya untuk bicara. Sekarang, melihat sahabatnya terlihat murung dan berusaha segala cara untuk menggagalkan perjodohan, termasuk dengan melakukan pernikahan dengan Mayra, adalah hal paling aneh yang ia tahu.

"Dion, kamu tahu pernikahan bukan main-main?"

Dion mengangguk, masih mengisap rokok di tangan dan terbatuk sekali.

"Kamu lihat apa yang terjadi dengan Mayra dan Tina? Keduanya sama-sama tidak bahagia dalam pernikahan mereka."

"Itu karena mereka salah mengenal laki-laki," jawab Dion pelan.

"Menurutmu, Mayra trauma tidak dengan pernikahan?"

Dion lagi-lagi mengangguk. "Pasti trauma."

"Nah, itu kamu tahu. Dia jelas trauma dengan pernikahan, dan kamu mengajaknya menikah dengan kesepakatan? Dion, otakmu geser atau gimana?"

Dion mematikan rokoknya setelah batuknya makin menjadi. Grifin mengulurkan asbak dan ia membuang putung ke dalamnya. Menyugar rambut, menatap sahabatnya dengan serius.

"Aku ajak nikah bukan semata-mata demi kebutuhan kami berdua. Kamu mungkin nggak percaya tapi dari pertama aku melihat Mayra, sudah menyukainya."

Grifin mengangkat sebelah alis. "Benarkah?"

"Iya, benar." Dion mengangguk dan berucap serius. "Aku menyukai pembawaannya yang halus dan lembut. Tutur katanya yang sopan, pekerja keras dan juga mengasihani hidupnya yang kurang beruntung. Apa itu kurang untuk dijadikan landasan pernikahan?"

Mereka saling berpandangan dan Grifin hanya bisa menggeleng. Ia mengerti benar alasan Dion, hanya saja merasa semua terlalu cepat. Tidak heran kalau Mayra menolak, karena memang tindakan Dion sangat terburu-buru. Mereka baru mengenal kemungkinan tiga atau empat bulan ini. Apakah itu waktu yang cukup untuk memutuskan menikah?

RetakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang