Mereka tergelak bersamaan dan sedang membenturkan gelas masing-masing saat Tina menerjang masuk dan duduk di samping Dion. Tanpa permisi, mengambil gelas Dion dan meneguknya hingga tandas.
"Temani aku cerai!" ucapnya.
Grifin dan Dion saling pandang. Tina menghela napas panjang.
"Salah satu di antara kalian harus temani aku datang ke sidang."
Dion mengernyit. "Kenapa? Ada pengacara."
Tina memukul permukaan meja lalu meletakkan wajahnya di sana dan mulai bergumam keras. "Keluarganya akan datang juga, termasuk istri pertamanya. Seharusnya aku yang marah, tapi aku bisa apa. Aku malah takut kalau mereka akan mempersulitku."
Grifin mengusap rambut pirang Tina dan berujar pelan. "Kalau Dion nggak bisa datang, aku yang akan ke pengadilan."
"Beneran?"
"Iya, yang penting urusanmu lancar."
Tina mengangkat wajah dan mengusap matanya yang basah. "Kalian tahu, aku bukan perempuan cengeng. Tapi urusan perceraian sialan ini bikin orang tuaku menderita."
"Kami paham," jawab Dion lembut. "Kami akan dukung kamu, apa pun yang terjadi."
Malam itu, Tina minum seperti orang kesurupan. Memesan banyak wine dan menghabiskannya seorang diri, membuat Grifin dan Dion kewalahan. Mereka berdia tidak ada yang berani minum, karena harus bergantian menjaga Tina. Berjam-jam kemudian, Tina yang sudah lelah mengoceh dan menangis, ambruk ke atas sofa. Grifin mengantarnya pulang.
**
Hari berjalan cepat bagi Mayra. Ia bekerja dari pagi buta hingga larut malam, menenggelamkan diri dalam kesibukan. Ia tidak peduli kalau harus bekerja lebih dari 10 jam sehari, selama tubuhnya kuat. Berada di depan kompor yang panas, mengolah bahan mentah menjadi hidangan lezat, adalah salah satu caranya untuk menghilangkan ketegangan. Sebentar lagi, keputusan sidangnya akan digelar. Ia akan mendapatkan status janda tapi bukan itu yang membuatnya gugup melainkan soal hak asih Cantika.
Sang pengacara mengatakan, kemungkina besar ia tidak dapat mendapatkan hak itu. Ada banyak pertimbangan dari hakim dan salah satunya karena harta. Mayra berusaha menghilangkan prasangka prasangka buruk dengan bekerja keras. Kelelahan membuat tidurnya menjadi nyenyak setiap hari.
Hubungan pertemanannya dengan Nirmala tidak juga membaik. Sahabatnya itu menghindari bicara dengannya, dan saat berpapasan akan membuang muka. Mayra merasa sangat sedih tapi tidak bisa melakukan apa apa untuk menyelamatkan persahabatan mereka yang sudah retak.
Setelah menunggu dalam kegugupan selama beberapa hari, akhirnya sidang putusan digelar. Akhirnya, ia resmi bercerai dengan Adam, tapi kebahagiaannya tidak berlangsun lama karena hakim memutuskan hak asuh Cantika jatuh pada Adam.
"Kenapa, Pak? Aku ibunya, aku yang harusnya merawat Cantika," tanya Mayra pada pengacaranya.
"Sorry, May. Hakim punya pertimbangan kalau setelah bercerai kamu tidak punya rumah tetap, dan pekerjaan yang stabil. Sedangkan Adam dan Dira punya segalanya. Karena itu, Hakim takut kalau Cantika jatuh dalam pelukanmu maka tidak terurus."
Mayra menunduk, menahan tangis. "Aku kehilangan anakku."
"Nggak, May. Masih ada waktu untuk berjuang. Kita bisa banding."
Mayra meninggalkan ruang sidang dengan langkah lunglai. Kebahagiaannya karena lepas dari Adam, tertutup oleh kenyataan pahit. Bagaimana ia bisa tenang menjalani hari, tanpa anaknya? Cantika yang malang, jatuh dalam pengasuhan Dira. Sebagai orang tua, Mayra merasa sangat tidak berguna.
Sudah jatuh tertimpa tangga, itu yang Mayra rasakan. Dalam kesedihan, ia justru mengalami kemalangan, tersiram es teh manis di tangga pengadilan. Untunglah ada laki-laki berjas abu-abu yang memberinya sapu tangan. Kalau tidak, pasti sekarang tubuhnya basah.
Karena sedang sedih dan bingung, Mayra salah menaiki kendaraan yang akan membawanya ke restoran. Ia terpaksa turun di tengah jalan, dan berniat menaiki ojek. Sialnya, uangnya tidak cukup banyak untuk itu. Menekuri senja yang makin temaram, Mayra merasa hatinya hampa.
"Hai, kamu mau kemana?"
Sebuah mobil menepi, pintu jendela membuka. Sapaan orang di balik kemudi membuat Mayra kaget. Ia mengerjap dan melihat laki-laki berjas abu-abu yang ditemuinya di tangga pengadilan.
"Kamu kesesat atau gimana? Kenapa bengong di situ?" Laki-laki itu kembali bertanya.
Mayra menggeleng. "Lagi nunggu bis."
"Mau ke arah mana?"
"Jalan Senopati."
"Kebetulan kalau gitu, kita searah. Ayo, naik. Nunggu bis bisa lama karena jam pulang kerja dan macet."
Mayra menggigit bibir, ragu-ragu menerima tawaran laki-laki itu. "Ta-tapi, takut merepotkan."
Laki-laki itu menggeleng. "Nggak kok, kebetulan searah. Ayo!"
Mayra mengepalkan tangan, berpikir sesaat lalu membuka pintu dan masuk ke dalam. Laki-laki itu tersenyum ramah.
"Pakai sabuk pengamannya."
Mayra memasang sabuk pengaman dan menggumamkan terima kasih.
"Bajumu udah kering."
"Iya, karena sapu tanganmu. Maaf, aku belum bisa kembaliin. Aku mau cuci dulu, kotor soalnya."
"Santai aja. Ngomong ngomong, kamu ke pengadilan kenapa?"
Kendaraan berhenti di lampu merah, laki-laki di belakang kemudi bertanya sambil memandang Mayra yang menunduk.
"Bercerai," jawab Mayra lirih.
"Ah, begitu rupanya. Hari ini aku ke pengadilan juga karena sidang cerai. Bukan aku, tapi temanku."
Mayra mengangguk, menegakkan kepala dan menatap lampu-lampu jalan yang mulai menyala. Hari berganti, dan hidupnya juga berubah. Mayra merasa siang dan malam datang, menyadarkannya tentang hidup yang sudah dijalaninya.
"Ngomong-ngomong, namaku Grifin."
Laki-laki itu memperkenalkan diri. Mayra menatapnya sekilas lalu mengangguk. "Salam kenal."
Grifin, nama yang bagus, sesuai untuk orangnya yang tampan dan gagah. Grifin bukan laki-laki biasa kalau dilihat dari penampilan dan mobilnya. Mayra merasa, teman Grifin sungguh beruntung, karena ada yang mendukung di saat terburuk dalam hidup. Ia juga punya Dion, dan itu juga membuatnya bersyukur.
"Namamu siapa?" tanya Grifin.
"Mayra."
Grifin mengedip, lalu menatap Mayra dengan terbelalak. "Tunggu, kamu Mayra? Apa kamu koki di Blue Bistro?"
Mayra ternganga. "Kok tahu?"
Dion tersenyum lebar, mengedipkan sebelah mata pada Mayra. "Hai, Mayra. Nice to meet you. Jodoh pertemuan kita, cukup unik bukan?"
Tidak ada yang tahu kemana angin senja berembus, dengan membawa serpihan debu dan daun kering. Tidak ada yang tahu, bagaimana kehidupan berjalan, karena waktu berjalan tanpa bisa terulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Retak
RomanceKisah Mayra yang jatuh bangun membangun hidup setelah bercerai dari suaminya yang berselingkuh. Ia kehilangan hak waris anak, menuai cacian, dan juga rasa permusuhan dari mantan mertua dan juga teman-temannya, karena dianggap tidak mampu menjaga rum...