Bab 6b

10.6K 1.2K 27
                                    

"Cantika anak yang baik, jarang rewel. Saat menginginkan sesuatu, kita menolak dengan memberikan alasan yang masuk akal, maka dia akan mengerti."

Dion terbelalak. "Benarkah? Anak baik, Cantika."

Mayra mengangguk bangga. "Memang, selain bangga juga lucu. Rambut tebal dan hitam, seperti rambutku." Ia meraba rambutnya sendiri dan menunduk malu. "Nggak ada orang yang nggak suka sama Cantika. Dari guru, teman-teman, sampai tetangga, semua menyukainya."

Dion yang semula berdiri di samping kursi roda, kini duduk di bangku besi. "Anak yang cantik, aku jadi ingin kenalan."

Senyum menghilang dari bibir Mayra. "Itu rasanya, nggak mungkin."

Dion terdiam, tidak lagi bertanya soal Cantika. Ia mengerti, dilihat dari raut wajah Mayra yang mendadak sendu saat membahas masalah keluarga, pasti ada hal besar yang menyangkut anak dan suaminya. Ia tidak akan menanyakan hal pribadi pada orang yang tidak mau bercerita. Biarlah, itu menjadi privasi mereka.

Mayra memiringkan wajah, matanya menyipit karena sinar matahari yang membias pada sosok Dion.

"Kamu pasti ingin tahu soal suamiku," ucapnya.

Dion menggeleng. "Aku nggak akan tanya kalau kamu nggak mau cerita."

Mayra tersenyum kecil. "Satu hal singkat yang aku ingin bilang adalah, suamiku berselingkuh dan aku kabur dari rumah."

Mata Dion yang sedari tadi melihat rumpuh, tidak goyah. Meskipun kilatan aneh dari matanya muncul sekejap langsung menghilang.

"Malam itu, aku kabur dari rumah. Tempat kamu menabrakku itu adalah area komplek perumahanku. Niatnya, aku ingin kabur cari kerjaan, tapi malah kecelakaan."

Dino menghela napas panjang. "Maaf."

"Nggak ada yang harus dimaafkan, salahku juga lari nggak lihat-lihat jalan."

Sepertinya, lari dalam perkataan yang diucapkan Mayra bukanlah bahasa kiasan. Perempuan itu benar-benar melarikan diri dari suaminya. Bukankah semua masalah ada jalan keluar? Kenapa harus melarikan diri? Mayra bisa mengajukan tuntutan cerai, kalau memang tidak mau punya suami peselingkuh. Apakah keadaannya begitu mengerikan. Dion teringat akan lebam-lebam di tubuh Mayra dan merasa kalau yang dipikirkannya memang benar.
"Mayra, satu pertanyaan lagi kalau kamu merasa nggak keberatan," ucapnya.

Mayra mengangguk. "Boleh, tanya aja."

"Itu, apakah suamimu memukulmu?"

Mayra menghela napas panjang, memejamkan mata lalu mengangguk. "Iya, dia memukulku."

Tangan Dion mengepal karena amarah. Ia tidak habis pikir tentang laki-laki yang ringan tangan terhadap perempuan. Laki-laki diciptakan punya tubuh kuat untuk melindungi perempuan yang dicintai, bukan untuk melayangkan pukulan. Ia tidak tahu, laki-laki macam apa, suaminya Mayra. Sampai nekat berbuat jahat seperti itu.

"Pecundang!"

"Apa?"

"Hanya seorang laki-laki pecundang yang memukul perempuan. Suamimu itu, salah satunya."

Mayra membenarkan perkataan Dion. Adam memang pecundang, memukulinya dengan niat untuk membuatnya patuh dan takut. Dulu, ia sangat menghormati dan mematuhi suaminya, itu karena Adam memperlakukannya dengan baik. Setelah tahu Adam berselingkuh, rasa hormatnya menguap bersama udara.

Seorang anak perempuan berlari, melintasi lapangan berumput dengan seorang perempuan setengah baya berlari di belakangnya. Jeritan anak itu terdengar nyaring dan gembira, saat tubuhnya berhasil ditangkap dan dihujani gelitikan di tubuh. Perasaan Mayra menghangat, teringat akan Cantika. Entah apa yang sedang dilakukan anaknya sekarang. Apakah Yuna merawat Cantika dengan baik? Pwrasaan bersalah menguar dalam dada, karena telah meninggalkan anaknya. Ia tidak tahu, apakah kelak Cantika menyalahkannya karena pergi sendirian? Semoga saja, apa yang dipikirkannya tidak terjadi.

"Kita kembali ke kamar, di sini mulai panas."

Dion kembali mendorong kursi roda menuju kamar rawat. Sepanjang jalan melintasi lorong, keduanya tidak saling bicara. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Dion berpamitan pulang, setelah Mayra berbaring di ranjang.

"Besok, pas aku datang akan tanya, kapan kamu bisa keluar dari rumah sakit. Kayaknya kamu udah bosan."

Perkataan Dion disambut antusias oleh Mayra. "Tolong tanyain, soalnya udah lama banget aku di rumah sakit. Hampir dua Minggu."

"Ehm, yang penting sehat dulu."

"Aku udah sehat, kok. Udah bisa jalan juga."

Keesokan harinya, Dion menepati janji dengan bertanya pada pihak rumah sakit tentang kemungkinan waktu pulang bagi Mayra. Setelah dokter memeriksa, akhinya dipituskan waktu yang tepat bagi Mayra untuk keluar dari rumah sakit.

"Nyonya Mayra, biarpun sudah keluar tetap harus rawat jalan, jangan lupa minum obat yang teratur."

Mayra menyanggupi perkataan sang dokter. "Baik, Dok."

Di hari kepulangannya, Dion datang lebih pagi. Membantunya membereskan kamar. Siapa sangka laki-laki itu berinisiatif membawa dua setel pakaian baru.

"Aku tahu, bajumu terkena darah jadi nggak bisa dipakai. Kamu pakai ini saja, dariku."

"Terima kasih."

Mayra menerima kantong berisi pakaian dengan terharu. Kebaikan Dion padanya sangat besar, dan membuatnya bertanya-tanya, bagaimana cara membalasnya. Ia bergegas ke kamar mandi untuk menukar seragam pasien dengan gaun yang dibawa Dion. Ternyata pas di tubuhnya. Dion juga membelikannya selop baru, karena sandal yang dipakainya jatuh entah ke mana.

Setelah membayar semua urusan administrasi, Dion mengantar Mayra ke halte bus, menawarkan diri untuk mengantar kemanapun perempuan itu ingin pergi tapi ditolak.

"Terima kasih untuk pertolongannya. Semoga kelak kita ketemu lagi, dan aku bisa balas kamu."

Dion mengangguk. "Yakin, nggak mau aku antar?"

"Nggak, aku naik bus aja."

"Tapi, kamu belum sembuh dari sakit. Mau naik kendaraan umum, nanti takutnya kenapa-napa."

"Dion, aku bisa sendiri. Nggak mau bikin kamu repot. Terima kasih sekali lagi, beruntung kenal sama kamu."

Mereka berpisah saat bus yang ingin dinaiki Mayra datang. Dion menjabat jemari perempuan itu sebelum membiarkannya naik. Mayra melambaikan tangan dari dalam bus dan Dion membalas lambaiannya sampai Bus menghilang di kelokan.

"Mayra, hati-hati. Semoga kamu nggak kena musibah lagi," ucap Dion lembut.

RetakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang