Bab 17a

8.3K 955 65
                                    

"Kenapa kalian bisa datang barengan?" tanya Dion dengan heran, saat melihat Mayra turun dari mobil Grifin.

"Ketemu di pengadilan," jawab Mayra.

Grifin mengangkat bahu. "Memang udah jodoh, aku dan koki terbaik dari restoran ini bertemu di tempat yang sangat aneh."

Dion menggelengkan kepala sambil berdecak. "Luar biasa. Tapi, untung ada Grifin, jalanan macet soalnya. Eh, kalian udah kenalan'kan?"

Mayra dan Grifin saling lirik lalu menganggukan kepala bersamaan.

"Bagus, aku nggak perlu ngenalin lagi. Gimana, May? Lancar?"

Mayra menggigit bibir, mengulum senyum kecil. "Lancar."

Dion mengamati wajahnya yang sendu, menghela napas dan menepuk lembut bahunya. "Kamu ganti pakaian dulu. Istirahat, jangan kerja."

"Tapi, lagi ramai." Mayra menatap restoran yang nyaris penuh pengunjung.

Dion melambaikan tangan. "Masih bisa ditangani yang lain. Istirahatlah! Kalau kamu mau kerja, tolong buatkan kami minuman dan makanan kecil dan bawa ke kantorku."

"Oke, ditunggu!"

Selesai menjawab, Mayra bergegas ke kamarnya untuk berganti pakaian. Dion mengamati punggungnya yang menjauh dan menghela napas panjang tanpa sadar.

"Pasti terjadi sesuatu," gumamnya.

Grifin mengikuti arah pandang sahabatnya. "Memang, tadi dia cerita sedikit. Hak asuh anaknya, jatuh ke tangan suaminya."

"Brengsek! Padahal, Cantik sering disiksa sama istri baru itu."

"Benarkah? Pantas Mayra terlihat sedih. Ngomong-ngomong, Tina sedang dalam perjalanan kemari, dia juga sedang sedih, resmi bercerai."

"Perempuan-perempuan itu, jatuh cinta dengan orang yang salah."

Grifin mau tidak mau setuju dengan perkataan Dion. Ia banyak mengenal teman perempuan dan menurutnya, tidak sedikit yang jatuh cinta dengan laki-laki brengsek, contohnya Tina. Tapi, mereka berdalih kalau cinta yang membutakan hati atau waktu yang mengubah hati dari putih menjadi busuk. Grifin yang seumur hidup belum pernah menjalin komitmen serius dengan perempuan manapun, tidak mengerti arti hubungan seperti itu.

Mayra berganti pakaian dengan cepat. Menahan air mata yang lagi-lagi hendak menetes setiap kali ingat anaknya. Pengadilan memutuskan, ia berhak untuk menjenguk Cantika kapan saja. Tapi, itu hanya teori, dengan adanya Dira di rumah itu, yakin saja kalau tidak mudah untuk melakukannya.

Keputusan hakim yang membuatnya harus merelakan Cantika, mempengaruhi rasa percaya dirinya. Dianggap tidak mampu memenuhi nafkah, kalah karena tidak punya harta, jauh lebih menyakitkan dari apa pun. Rasa bersalah bercokol dalam dada. Ia tidak tahu, bagaimana kelak bisa mengambil anaknya, kalau sebagai koki dianggap tidak punya penghasilan yang stabil. Teriakan Risty menembus dinding, menyadarkannya dari lamunan.

"Mayra, kenapa malah ke dapur. Ini hari istirahatmu?" Johan berteriak dari penggorengan yang mengepulkan asap panas, saat melihat Mayra menyelinap masuk ke dapur.

Mayra melambaikan tangan. "Pak Dion mau cemilan!"

Gusti berdecak, mengaduk bumbu di dalam panci kecil. "Emangnya Pak Dion nggak tahu kamu libur?"

"Tahu, tapi, aku yang mau kerja. Tenang aja, aku nggak ganggu kalian!"

"Meja nomor 15, pesan bebek goreng, nasi timbel lengkap, dan sop iga!" Risty berucap dari jendela dapur, menempelkan pesanan di dinding kaca. Menatap sekilas pada Mayra dengan pandangan sinis sebelum berlalu.

Mayra mengabaikannya. Ia ingin membuat kopi gula aren untuk Dion dan Grifin. Mengaduk terigu dan bumbu-bumbu lalu menguleninya dengan cepat. Ia menambahkan minyak ke dalam adonan dan membentuk bulatan-bulatan lalu mendiamkannya. Ia mengambil ayam suwir dari kulkas, berikut kentang dan wortel lalu merebusnya sebentar sebelum memotong kotak-kotak kecil dan ditumis dengan ayam. Adonan dipipihkan, diisi dengan tumisan ayam dan sayur, lalu membentuk pastel dan menggorengnya. Ia selesai membuat 10 buah pastel dan menunggu dingin, membuat kopi gula aren yang tidak terlalu manis. Selesai semua, ia mengantar ke kantor Dion dan kaget saat membuka pintu, ternyata ada orang lain.

"Waah, wangi apa ini?" Tina bangkit dari sofa, mengendus nampan di tangan Mayra. "Pastel? Wangi sekali."

Mayra meletakkan nampan di atas meja. "Maaf, nggak tahu ada tambahan orang. Bikin kopinya hanya dua, nanti saya buatkan lagi."

Tina mencomot satu pastel dan mengunyahnya. "Enaaak, kamu hebat, May. Kopinya, boleh nggak aku pakai es. Lagi suntuk, pingin makan yang pedaaas dan minum es." Tak lupa mengambil cabai ijo buat lalap pastel.

"Mau makan mie apa nasi?" tanya Mayra.

Tina menggeleng. "Enaknya gimana, May? Kamu juga lagi sedih bukan? Kita makan berdua yang pedas di kantor ini sambil memaki laki-laki, bagaimana?"

Grifin berdehem. "Memaki laki-laki?"

"Kalian anggap kami ini apa?" Dion berujar masam.

Tina mengerling pada dua sahabatnya lalu melambai. "Kalian laki-laki tapi, maksudku dan Mayra bukan kalian!"

Mayra menatap Tina dengan wajah berseri-seri, sangat menyukai sifat perempuan itu yang ramah dan blak-blakan. "Aku menyarankan mie daging dengan kuah kental. Semacam ramen tapi dengan kearifan lokal. Bagaimana?"

Tina bersorak. "Mau, May. Jangan lupa bikin bagianmu juga, kita makan di sini." Ia menoleh pada Grifin dan Dion. "Kalian nggak mau? Jangan ngiler nanti."

Mayra menatap Dion dan Grifin bergantian. "Kalau kalian nggak suka pedas, aku ad amie kaldu yang gurih dan lembut."

Tidak bisa menahan godaan, kedua laki-laki itu mengangguk. Mayra melesat kembali ke dapur. Membuat empat porsi mie. Untuk ramen kental ia menggunakan susu evaporasi dan bubuk cabai, dengan tambahan rempah-rempah. Alih-alih menggunakan daging seperti rencananya, ia membuat dengan rebusan udang dan cumi. Sedangkan untuk mie kaldu, ia menambahkan daging sapi yang diiris tipis dan ditumis dengan bawang putih.

Selesai semua, ia meminta bantuan satu pelayan dan membawanya ke kantor Dion. Sampai di sana, sambutan Tina yang heboh, membuatnya tersenyum gembira.

"Bravo. Mayra! Akhirnya, aku ada alasan untuk sering-sering datang kemari."

Mereka berempat duduk di lantai, mengelilingi meja. Dion mengendus kuah mie kaldu dan mencicipinya. "Enak, May."

"Ada dalam daftar menu spesial khusus weekend," jawab Mayra.

"Kamu ajari Johan dan Gusti juga, jangan sampai kamu keteter sendirian," saran Dion.

"Iya, tentu saja."

Grifin berdecak, sepakat dengan perkataan Dion. Mie daging sapi buatan Mayra memang luar biasa enak. Ia menandaskan satu mangkok penuh dengan cepat dan berujar dengan mata berbinar.

"Mayra, kamu hebat! Ini enak banget!"

Mayra membalas pujian Grifin dengan senyum malu-malu. Menandaskan mie di mangkoknya dan merasa kalau hari ini berlalu tidak terlalu buruk.

**
Kalian tim siapa? Dion atau Grifin?

Yang sudah baca tuntas di Karyakarsa, tolong jangan spoiler.

RetakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang