Bab 16a

8.2K 888 35
                                    

Agenda pertama adalah mediasi. Di depan ruangan, Mayra bertemu Adam. Laki-laki itu terlihat kaget saat bertemu dengannya. Mungkin tidak menyangka kalau Mayra mampu menyewa pengcara dan terlihat baik-baik saja setelah kecelakaan. Mulut Adam membuka, ingin menyapa tapi Mayra hanya mengangguk kecil dan masuk ke ruangan tanpa menegurnya.

Adam mengikuti dari belakang. Mereka berhadapan dengan seorang konselor pernikahan, didampingi pengacara masing-masing. Pihak konselor menanyakan kemungkinan untuk kembali rujuk dan Mayra menolak dengan tegas.

"Nggak ada perempuan yang ingin tinggal bersama laki-laki yang sudah mendua dan menganiaya. Keputusan bercerai saya sudah final."

Adam tidak mengatakan apa pun, tapi mendukung keputusan Mayra untuk bercerai. Mereka keluar setelah mediasi tidak menemukan titik temu. Sidang lanjutan akan dilakukan minggu depan.

"Pak, apa sidang akan berlarut-larut?" tanya Mayra pada pengacaranya saat mereka melangkah beriringan di lorong.

Sang pengacara menggeleng. "Harusnya nggak, ini murni perceraian bukan menyangkut harta gono gini, akan jauh lebih cepat."

Mayra senang mendengarnya. Salah satu alasan ia tidak suka datang ke pengadilan adalah karena harus bertemu dengan Adam. Ia lebih suka kalau sidang dilakukan terpisah. Meskipun tahu keinginannya mustahil terjadi.

Di kelokan menuju tempat parkir, Mayra mendengar Adam memanggilnya. Ia ingin berpura-pura tidak mendengarnya, tapi sepertinya tidak mudah dilakukan. Dengan terpaksa ia menghentikan langkah dan membalikkan tubuh.

"Ada apa?" tanyanya acuh.

Adam menatapnya lekat-lekat. "Bisa kita bicara? Sebentar saja."

"Bicara tentang apa?"

"Kita, May dan juga Cantika."

Mendengar nama anaknya disebut, mau tidak mau Mayra menurut. Ia meminta ijin pada pengacara untuk menepi ke bawah pohon rindang dan bicara dengan Adam. Mereka berdua, mantan pasangan yang harmonis dalam pernikahan yang penuh kebahagiaan, hari ini berdiri berhadapan dengan sikap asing satu sama lain.

Mayra memalingkan wajah, tidak ingin menatap wajah Dion. Jujur saja ia tidak ingin mendengar apa pun yang ingin dikatakan laki-laki itu, karena semua perkataan Adam baginya sama saja seperti kebohongan.

"May, kamu kelihatan baik-baik saja, dan sehat," ucap Adam, membuka percakapan. Mengamati wajah cantik Mayra yang terbias sinar matahari. Dari dulu Mayra memang cantik, hanya saja hari ini melihatnya jauh lebih cantik. Apakah semua perasaan ini karena mereka sudah lama tidak saling bertemu? "Kamu tinggal di mana sekarang, May?"

Mayra mendesah, merasa jengkel. Masih dengan mata menatap tanah kering yang panas, ia menjawab ketus. "Sudahi basa-basinya, sebaiknya kita bicara yang penting saja. Ada apa dengan Cantika? Apa istrimu memukulnya lagi?"

Mata Adam terbeliak kaget. "Kamu ngomong apa? Mana mungkin Dira memukul Cantika. Hubungan mereka dekat lebih dari pada kamu sama anak kita."

Mayra memutar bola mata, menatap Adam tajam. "Oh, jadi kamu nggak tahu kalau Cantika dipukul? Nggak tahu atau nggak perhatiin? Makanya, kalau di rumah itu tengok anakmu. Apa dia baik-baik saja, sudah makan atau belum? Masa hal remeh begitu kamu nggak bisa?"

Adam berkacak pinggang, merasa geram. "Jangan mengajariku! Kamu hanya istri durhaka yang kabur dari rumah. Mana ada hak kamu mengkritikku!"

"Oh gitu, kamu nggak mau dikritik? Ingat, Cantika juga darah dagingku!" Mayra berteriak, hilang sabar. "Kalau buka karena ulah kamu, sekarang aku pasti sedang memeluk Cantika dan membelainya. Kalau bukan karena kamu, anakku nggak akan jadi gadis kecil yang ketakutan!"

Adam memijat pelipis, nyaris kehilangan rasa sabar karena Mayra. Omongan Mayra makin lama makin dirasa tidak masuk akal. Mana mungkin Cantikan ketakutan? Dan juga, sangat tidak mungkin Dira memukul anaknya. Ia merasa kalau Mayra yang tertekan, membuat otaknya terganggu.

"Mayra, kamu terlalu mengada-ada. Kenapa? Kamu iris ama Dira karena dia jadi istri yang baik? Dira, anak orang kaya yang selalu makan dari sendok perak, rela tinggal di tempat yang kecil demi aku. Sedangkan kamu? Apa yang sudah pernah kamu lakukan demi pernikahan kita? Nggak ada!"

Mayra memejam, membiarkan hawa panas menerpa wajah dan tubuhnya. Perkataan Adam membuatnya geram dan ingin memukul laki-laki itu. Tapi, ia harus menahan emosi demi dirinya sendiri. Adam sudah banyak membuatnya menderita dan tinggal selangkah lagi, ia terbebas dari laki-laki itu. Untuk sekarang, yang bisa dilakukannya hanya bersabar.

Membuka mata, Mayra menatap Adam lekat-lekat. Mencoba mencari bayangan tentang seorang laki-laki tampan, romantis, dan baik hati yang pernah menikah dengannya. Nyatanya, ia tidak menemukan itu. Tersisa hanya sosok buram yang membuatnya ingin menghilangkan jejak kebersamaan mereka.

"Aku akan mengatakan ini untuk terakhir kali, Adam. Dulu, saat kita menjalin hubungan dan memutuskan akan menikah, aku menaburkan benih-benih bunga yang aku harapkan, kelak bisa mekar di pekarangan hati. Bunga yang akan membuat hidup kita menjadi lebih indah dan berwarna. Aku memupuknya dengan cinta, menyiramnya dengan pengabdian seorang istri, merawatnya seperti bagian dari jiwaku sendiri. Kamu tahu apa yang terjadi? Belakang aku tahu kalau tanah tempatku menanam benih, ternyata gersang dan penuh dengan kerikil. Tanah itu, tertutupi oleh daun-daun kering, yang aku kira adalah pupuk!" Menghela napas panjang, Mayra menepuk dadanya perlahan. "Sudah cukup aku menunggu benihku tumbuh dalam harapan palsu. Kita sudahi semua dan jalani hidup masing-masing. Aku menunggu Cantika di pelukanku."

Adam berdiri di tempatnya, menatap Mayra yang beranjak pergi dan sama sekali tidak menoleh ke arahnya. Perasaannya campur aduk, dan ia terguncang. Nasi sudah menjadi bubur, ia tidak munkin mundur dan memberikan kepuasan pada Mayra karena sudah berhasil mengalahkannya. Ada Dira dan calon anak mereka, lalu Cantika yang selalu bersamanya. Tanpa Mayra, hidupnya akan baik-baik saja.

**

"Kenapa kamu pulang nggak bilang-bilang dulu? Aku jadi nggak jemput."

"Memangnya aku nggak punya mobil apa?"

"Paling nggak, aku ingin menunjukkan diriku sebagai teman yang baik."

Grifin mendengkus dan tertawa keras. "Tanpa harus menjemputku, aku tahu kalau kamu teman yang baik. Ngomong-ngomong kemana, Tina? Kenapa belum muncul?"

Grifin baru saja pulang dari luar negeri, membuat janji pertemuan dengan dua sahabatnya. Dion sudah ada di bar dan menunggunya, tapi Tina belum muncul batang hidungnya. Mereka bertiga dulunya adalah teman satu alumni kampus, tidak berada di tingkatan yang sama. Grifin lebih tua dari ketiganya, disusul Tina, dan yang paling bontot adalah Dion. Dari pertama mereka bertemu dan mengobrol di acara reuni kampus beberapa tahun lalu, ketiganya cocok satu sama lain. Semenjak itu, mereka sering berhubungan dan bertemu, hingga sekarang.

Grifin dan Dion yang menjadi pengantar pengantin saat Tina menikah. Suami Tina adalah seorang makelar barang barang seni. Orang kaya yang kaku dan jarang bisa diajak berinteraksi. Mereka agak aneh saat Tina merasa cocok dan ingin menikah. Ternyata, laki-laki itu punya istri yang disembunyikan dan kini Tina sedang menggugat cerai.

"Dia sepertinya tertekan, Tina itu. Keluarga suaminya mengatakan kalau dia pelakor dan suaminya tidak terima dikatakan pembohong," ucap Dion. "Kemarin dia menelepon panjang lebar dan menangis."

Grifin menghela napas panjang, memutar gelas di tangannya."Hidupnya semenjak menikah sangat nggak mudah. Laki-laki brengsek! Kalau Tina ngasih ijin, udah aku patahin batang lehernya!"

.

.

.

.

Hari ini di Karyakarsa sudah extra part, saya akan publish di Wattpad dan Grup hanya sampai bab 28 mungkin. Setelahnya, kalian bisa beli secara lengkap di Karyakarsa atau playbook.

RetakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang