Bab 2a

13.2K 1.1K 25
                                    

Mereka menikah atas nama cinta. Adam laki-laki yang baik, meskipun sedikit pemaksa. Mayra bisa menerima semua sikap Adam karena baginya, itu seperti bukti cinta. Mereka bertemu pertama kali saat Mayra sedang bekerja di sebuah restoran cepat saji. Cinta pada pandangan pertama, itu yang dirasakan mereka berdua.

Adam tanpa sengaja menumpahkan minuman bersoda di atas meja, Mayra bergegas datang untuk mengelap. Adam meminta maaf dan Mayra hanya mengangguk sambil tersenyum. Bagaimana pun, itu sudah menjadi bagian dari pekerjaannya.

Saat pulang kerja, Mayra kaget mendapati Adam menunggunya di halaman restoran. "Aku ingin meminta maaf, karena sudah membuatmu repot. Mau aku traktir sesuatu?"

Mayra menggeleng. "Nggak, terima kasih. Sudah kenyang."

"Bagaimana kalau aku antar pulang?"

Awalnya Mayra ragu-ragu tapi Adam mendesak. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya setuju diantar pulang. Menggunakan motor, mereka berbincang sambil melewati jalanan yang cukup padat. Adam cukup terkesan saat tahu Mayra hidup sendiri di kos yang kecil.

"Orang tuaku meninggal, kecelakaan saat aku SMP. Akhirnya aku diasuh Bibi. Sekarang sudah dewasa, mandiri, cari uang sendiri."

"Hebat kamu, rajin," puji Adam.

"Kalau ggak rajin, gimana mau makan?"

Yang makin membuat salut Adam adalah, Mayra tidak berhenti untuk belajar. Setiap hari gadis itu bekerja hingga malam. Saat libur, digunakan untuk kursus memasak. Cita-citanya ingin menjadi koki di restoran terkenal. Setahun menjalin kasih, Mayra bekerja di restoran yang diidamkan, dengan gaji lumayan. Adam karirnya pun mulai naik perlahan. Tepat dua tahun bersama, Adam melamar dan mereka menikah dirasa cukup matang.

Orang tua Adam sangat baik, menerima Mayra apa adanya. Meskipun awalnya sang mama kurang setuju dengan hubungan mereka. Seiring berjalannya waktu, akhirnya mereka setuju.

Pernikahan digelar dengan sederhana, hanya mengundang sahabat dekat dan keluarga. Setelah menikah Mayra masih tetap bekerja hingga hamil dan akhirnya melahirkan. Menggunakan pengasuh untuk sang anak, Mayra masih bekerja seperti biasa. Hingga akhirnya, satu kejadian memaksanya untuk meninggalkan karir demi sang anak.

Cantika sakit keras, Mayra yang menunggu siang malam di rumah sakit. Sang mertua mengatakan, akan lebih baik kalau Mayra sendiri yang mengasuh. Lagi pula, karir Adam sedang menanjak, tidak akan rugi meninggalkan pekerjaan demi anak dan keluarga. Mayra menurut, mengubur mimpi dan cita-cita, dan di rumah menjadi ibu serta istri sepenuhnya. Ternyata, pengorbanannya dibalas pengkhianatan, sebuah jalan nasib yang tidak pernah disangka.

"Apaa katamu? Ha-hamil?"

Suara Myara yang tergetar membuat Adam memejam. Kembali duduk di sofa, menyugar rambut dengan tangan gemetar.

"Iya, Dira hamil. Sudah tiga bulan ini. Ka-kami khilaf."

Mayra mengerang, menyupahi dunia dan seisinya. Ia menatap Adam dengan mata buram. Ketenangan yang dipaksanya, menguap saat kata hamil tercetus dari Adam. Mayra tidak tahu, apa yang salah dengan pernikahannya.

"Khilaf katamu? Kalian melakukannya berkali-kali sampai perempuan itu hamil dan kamu mengaku khilaaf!" Mayra berdiri di ujung sofa, meremas pinggirannya dan berharap kukunya merobek permukaannya yang terbuat dari kulit. "Kamu bajingan, Mas. Bajingan!"

"YA, AKU MEMANG BAJINGAN. PUAS KAMU!"

Adam membentak keras, membuat Mayra berjengit kaget. Menghapur air mata dengan punggung tangan, ia ingin melampiaskan rasa marah. Mayra tidak rela dirinya diinjak-injak seenaknya oleh laki-laki yang ia anggap paling baik. Laki-laki yang seharusnya bisa memberi cinta.

"Kenapa begini, Mas. Kenapa jadi gini?"

"Maaf, semua aku lakukan demi karir dan juga hidup kita, Mayra."

"Karir katamu? Kita sedang ngomong soal hubungan kamu sama wanita lain, bukan karir!"

"Aku sedang berusaha menjelaskan padamu, May. Kalau semua yang aku lakukan untuk kamu dan Cantika."

"Jangan-jangan bawa Cantika! Kamu nggak berhak menutupi perbuatan busukmu dengan menyebut nama anakku!"

Adam menatap istrinya lekat-lekat, meneguk ludah untuk membasahi tenggorokannya yang kering. "May, tenanglah. Terus terang, nggak mudah bagiku untuk bicara begini di depannmu, sementara Dira sedang kesakitan karena hamil."

Mayra melotot, kemarahannya dan sakit hatinya tidak terbendung. Ia menatap Adam bagaikan memandang orang yang tidak dikenalnya. Dadanya sesak, dan jantungnuya seolah memompa lebih cepat dari biasanya. Meraih pigura berisi foto pernikahan mereka dari atas meja, Mayra melemparkannya ke dinding. Tidak hanya itu, ia juga meraih foto-foto yang lain dan menghancurkannya.

"Suami sialan!"

"Suami nggak tahu diri!"

"Aaargh!"

"Mayra, tenangkan dirimu. Malu sama tetangga!"

"Biarkan saja tetangga tahu. Kita malu sekalian!"

Adam berusaha menghalangi Myara tapi tidak bisa. Karena istrinya berbalik ke arah lain, dan mulai menghancurkan benda-benda di dalam buffet. Guci, pajangan, foto-foto, semua menjadi serpihan di lantai. Adam tertegun di tempatnya berdiri, tidak menyangka kalau Mayra yang biasanya selalu lemah lembut, kini menjadi sangat kasar dan pemarah.

"Mayra, kamu seperti orang gila!"

Mayra menegakkan tubuh, menuding Adam dengan air mata berlinang. "Iya, aku memang gila. Istri mana yang tidak gila setelah tahu suaminya menggauli orang lain sampai hamil? Istri mana yang bisa tetap tenang sementara suaminya berselingkuh di belakangnya. Aku manusia, bukan patung!"

Mayra kembali meraung dan kini duduk bersimpuh di lantai dengan serpihan kaca di sekelilingnya. Ia ingin mencoba mengendalikan amarah tapi susah. Rasa kecewanya membuatnya melupakan logika. Ia ingin tetap tenang, seperti layaknya wanita terhormat, tapi pengkhianatan suaminya membuatnya melupakan apa itu etika.

"Mamaa ...."

Panggilan lirih dari dekat pintu membuat Mayra mendongak kaget. Ia mengusap air mata di pipi, bangkit dengan tubuh gemetar, bergegas memeluk anaknya.

"Kenapa bangun, Sayang? Mama berisik, ya?"

Cantika melingkarkan lengannya di leher sang mama. "Mama, Cantika mimpi buruk."

Mayra mengusap pundak anaknya. "Ssst, tenang, Sayang. Ada mama di sini. Ayo, kita ke kamar."

Tanpa menoleh pada suaminya, Mayra menggendong sang anak masuk ke kamar. Sakit hatinya bisa ditahan untuk malam ini, saat anaknya sedang membutuhkannya. Ia tidak akan membiarkan air mata jatuh dan membasahi tubuh Cantika. Cukup ia yang terluka, tidak perlu anaknya turut serta.

Malam itu, Adam tidak menginap di rumah. Saat anaknya kembali tidur, Mayra melangkah tersaruk ke ruang tamu, mencari sosok suaminya yang ternyata sudah menghilang. Tidak ada kata-kata manis, atau penyesalan terdalam. Yang ada hanya pembelaan dari sikap yang sungguh egois dan merusak pernikahan mereka. Mengambil sapu dan pengki, Mayra membersihkan ruang tamunya yang berantak dengan air mata berlinang. Sama sekali tidak menjerit, saat tanpa sengaja kakinya mengenai pecahan kaca dan berdarah.

**

Di Karyakarsa sudah bab 8

RetakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang