Bab 8a

10K 1.1K 51
                                    


Godaan dan sikap kurang ajar si gondrong pada Mayra, makin hari makin meningkat. Laki-laki itu dengan sengaja menunggunya keluar kamar, terutama saat malam hari. Mayra mengalami kesulitan kala ingin ke kamar mandi karena takut.

Si gondrong bukan hanya menganggunya melalui kata-kata tapi juga perbuatan. Saat berpapasan di lorong, laki-laki itu sengaja menghadangnya dan mengedipkan sebelah mata. Tak jarang melontarkan kata-kata cabul yang membuat Mayra bergidik jijik.

"Mayra, makin hari kamu makin montok. Aku jadi haus kalau lihat kamu."

Laki-laki itu tersenyum mesum dan membuat Mayra ingin menghindar sejauh mungkin.

"Mesum! Kamu nggak takut kalau aku ngadu sama istrimu?" ancamnya suatu hari, saat si gondrong menghadangnya di tangga. Tatapan laki-laki itu menyelusuri tubuhnya dengan kurang ajar.

"Mau ngadu apa, Sayang? Tentang kamu yang suka sama aku?"

Mayra mendengkus keras. "Minggir!"

"Oh, galaknya. Tapi, perempuan galak biasanya panas di ranjang. Bagaimana, Mayra? Aku siap diajak bertarung di ranjang."

Mayra yang sudah hilang sabar, dengan sengaja menginjak kaki si gondrong. Saat laki-laki itu kaget dan menjerit sakit, ia berlari menaiki tangga. Malam itu, ia tidak berani keluar sama sekali dari kamar dan berbaring menahan lapar. Untung saja ia sudah mandi sewaktu di binatu, jadi tidak perlu turun untuk membersihkan tubuh. Masalahnya, perutnya tidak bisa diajak kompromi, dengan terpaksa ia makan mi instan mentah, untuk mengganjal lapar.

Samar-samat ia mendengar percakapan si gondrong dengan istrinya. Mereka sepertinya sedang berdebat, dan suaranya makin lama makin terdengar nyaring karena pembatas kamar hanya berupa triplek yang tipis.

"Makanya, jadi laki, tuh, kerja. Jangan cuma ongkang-ongkang kaki!" Suara si perempuan membentak marah.

"Hei, kamu tahu kalau aku sudah cari kerja ke mana-mana, tapi emang nasib sial. Belum dapat sampai sekarang!"

"Bukan sial! Emang kamu yang nggak cukup usaha!"

"Terus, kamu maunya aku bagaimana? Ngemis di jalan?"

"Kalau perlu gitu! Ngemis atau ngamen yang penting dapat uang. Jangan jadi benalu, jijik!"

"Perempuan nggak tahu diri. Nggak ada hormat sama suami!"

Berikutnya terdengar teriakan dan tangisan, sepertinya si gondrong melayangkan pukulan untuk istrinya. Mayra meletakkan mi yang baru dimakan setengah, minum air dengan terburu-buru hingga nyaris tersedak. Ia berbaring di kasur, menutup seluruh tubuh dengan selimut tipis dan menyumbat telinganya dengan kain.

Ia meringkuk dengan gemetar. Berbagai ingatan tentang perlakuan Adam kembali terlintas. Ia mengerti bagaimana sakitnya saat orang yang paling dekat dengan kita, menjadikan kita samsak tinju. Pukulan di perut, tamparan di pipi, serta hantaman yang membuat tubuhnya terbentur lantai atau benda keras lainnya, menyisakan rasa takut yang berakar dalam dirinya. Menghela napas panjang, Mayra berusaha untuk tenang.

Sekarang, ia ada di tempat lain dan jauh dari Adam. Tidak ada yang bisa menyakitinya, tidak juga suaminya atau pun si gondrong. Ia aman di sini, pintunya terkunci rapat. Tidak ada yang harus dikuatirkan. Meski begitu, Mayra tetap terjaga sampai pagi, dan membuat lingkaran hitam di bawah mata.

"May, kamu nggak tidur semalaman?" tanya Nirmala kaget. Mendapati Mayra datang dengan wajah pucat dan lingkaran hitam di bawah mata.

Mayra menggeleng lemah. "Tetangga samping kamar berantem, berisik."

"Kok nggak dipisahin atau ditegur Ibu Kos?"

"Ibu Kos sama suaminya lagi nggak ada. Terpaksa, aku nggak tidur semalaman karena berisik!"

Nirmala menatap Mayra dengan prihatin. "Kasihan. Nanti siang istirahat bentar, biar aku ngomomg sama boss."

Tidak mudah bagi Mayra untuk tetap terjaga dan bekerja, sementar kelelahan menyerangnya. Kepalanya berdentum menyakitkan dan saat pemilik binatu mengijinkannya istirahat, ia meminum obat setelah makan nasi bungkus. Mencoba tidur dan pulas begitu kepalanya menyentuh bantal. Ia tidak peduli meskipun tidur di gudang yang pengap, yang penting bisa memejamkan mata dan istirahat.

**

Dua keluarga berbeda strata sosial bertemu di restoran mewah. Adam duduk berdampingan dengan kedua orang tuanya, begitu pula Dira. Mereka membicarakan tentang pernikahan dan seperti bisa didiga, ayah Dira mengamuk saat tahu anaknya sudah hamil. Tidak peduli meskipun ada kedua orang tuanya, Adam dipukul hingga terjatuh di lantai keras oleh ayahnya Dira.

"Laki-laki kurang ajar! Berani-beraninya kamu menyentuh anakku, hah!"

"Papaa, tahan diri. Jangan marah, Paaa." Dira meraung di samping sang papa.

Hervan mengibaskan tangan anak perempuannya, dan menunjuk Adam dengan wajah merah padam. "Bajingan kamu! Aku tahu kamu sudah menikah!"

"Paa, Mas Adam mau bercerai sama istrinya. Ja-jangan marah, Paa."

Percuma Dira memohon, sang ayah yang sangat marah kali ini menendang Adam dan membuat laki-laki itu terguling. Yuna yang tidak bisa melihat anak laki-lakinya dianiaya, berdiri menghadang Hervan.

"Pak, sekali lagi menendang dan menyakiti anakku, aku akan lapor polisi."

"Apa?" Hervan melotot.

"Maa, jangan ikut campur." Adam menarik tangan sang mama, melupakan rasa sakit di tubuhnya. "Jangan bikin ma-masalah tambah runyam."

Yuna berdiri angkuh, menatap Hervan dan istrinya. "Mama nggak peduli. Nggak ada orang tua yang akan diam aja saat anaknya dianiaya. Dira hamil, atas kemauan kalian berdua. Kalian saling suka, bukan kamu yang maksa. Kenapa hanya kamu yang disalahkan?"

"Maa, duduk. Bicara yang tenang."

Yuna mengabaikan tangan suaminya yang terulur. Ia menatap mata Hervan tak berkedip, menolak untuk mengalah. Jika membandingkan kekayaan, mereka memang kalah. Tapi, bukan berarti mengalah saat anaknya dianiaya. Siapa yang akan bertanggung jawab kalau terjadi sesuatu dengan Adam.

Adam meraih lengan sang mama dan mengusapnya. "Maa, kita di sini demi anakku. Tolong, Ma."

"Paa, jangan emosi. Kalau Papa marah terus, aku akan kawin lari!" Kali ini Dira yang mengancam.

Hervan melotot ke arah Dira. "Kamu mengancam papa?"

Dira mengangguk tegas. "Iya, aku dan Mas Adam saling cinta. Aku sudah hamil, cucu Papa dan Mama. Kalau kalian nggak setuju, aku gugurkan saja."

"Jangan ngomong sembarangan!"

Dira terdiam, saat kali ini mamanya yang bicara. Sedari tadi, mamanya tidak mengatakan apa-apa saat melihat Adam dipukuli. Ia tahu, ucapannya tentang anak menggugah sang mama.

"Pa, duduk dulu. Kita dengarkan mereka bicara."

Hervan yang masih emosi, enggan untuk duduk. Tapi, karena istrinya memohon mau tidak mau, ia turuti. Adam dan kedua orang tuanya pun ikut duduk. Mereka saling menatap dengan kebencian dan cemooh tersirat di wajah Hervan.

"Adam, kamu pegawai teladan. Bekerja dengan baik, dan karirmu juga bagus. Sayangnya, tingkah lakukmu tidak sebanding dengan prestasimu."

Adam menunduk pasrah. "Maafkan saya, Pak."

"Sebaiknya kamu selesaikan masalah pernikahanmu, sebelum menikahi anakku. Kalau tidak, lihat apa yang akan aku lakukan nanti."

Tanggal pernikahan diputuskan setelah Adam memberikan janji untuk untuk menuntaskan pernikahannya dengan Mayra. Meskipun hati kecilnya menolak melepaskan istrinya, tapi terpaksa ia lakukan. Demi untuk jabatan yang akan ia dapatkan, kalau nanti menikah dengan Dira. Ia bahkan rela menyembah orang tua Dira, asalkan bisa menduduki posisi penting di perusahaan.

RetakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang