Dion mengamati Tina yang menunduk. Ia tahu sahabatnya itu sedang menghindari pandangannya. Tina yang selalu ceria, sembrono, dan suka tertawa keras-keras, terlihat gemetar saat merapikan meja.
"Tina ...."
Dion menunggu Tina mendongak. Tapi, perempuan itu menjawab tanpa memandangnya.
"Ada apa? Mau buah atau makanan lain?"
"Nggak, aku hanya ingin kalian jujur. Apa yang sebenarnya terjadi?"
Tina memejam, menahan air mata. Dirinya terselamatkan saat pintu ruang rawat membuka, Mayra datang dengan koper kecil. Tersenyum pada Dion, menunjukkan termos nasi kecil.
"Sayang, aku bawa bubur seafood. Kamu pasti nggak suka masakan rumah sakit."
Dion tersenyum. "Kamu nungguin aku di sini, biar Kakek pulang bareng Tina."
"Memang rencananya begitu."
Mayra membuka lemari, dan memasukkan pakaian yang dibawanya ke dalam. Damar bangkit dari sofa, berdiri di samping ranjang, menatap Dion dengan mata sendu.
"Mayra, kamu ke sini. Sudah waktunya kita bicara dengan Dion. Tina juga, jangan pulang dulu."
Mayra menegakkan tubuh, matanya bersirobok dengan Tina. Menutup pintu lemari, ia mendekati ranjang. Menarik kursi dan duduk di sisi kanan. Sementara Damar dan Tina berada di sisi kiri. Mayra meraih tangan Dion dan meremasnya dengan lembut.
Dion mengedarkan pandangan pada tiga orang yang memandangnya dengan muram. Perasaannya tidak enak, sesuatu yang serius terjadi padanya. Ia batuk batuk, Mayra dengan sigap mengambil tisu dan mengulurkan padanya. Kali ini, Dion tidak dapat menghindar saat ada bercak merah di tisu. Ia berusaha menutupi tapi terlambat. Tina dan sang kakek melihatnya dengan tajam. Ada kesenduan di selaput mata mereka dan ia tidak menyukainya.
"Kenapa selama ini kamu nggak bilang, kalau sering batuk darah?" protes Damar. "Apa susahnya bilang kalau kamu sakit, Dion?"
Dion kembali batuk, mengambil lebih banyak tisu dari istrinya. Tina membuka satu kantong plastik dan memberikan padanya. Ia tidak menolak saat batuk mereda, Mayra memintanya minum air hangat.
"Aku pikir kena paru-paru, Kek. Pas mau periksa, ternyata batuk mereda."
Damar menggeleng. "Paru-paru juga penyakit berbahaya."
"Iya, Kek. Sekarang Kakek pasti lebih tahu apa penyakitku. Kenapa kalian nggak bilang langsung?"
Tina mengambil kantong berisi tisu bekas, menali dan meletannya di lantai. Damar menepuk-nepuk paha Dion sedangkan Mayra, kembali meremas jemari suaminya.
"Yang kami katakan, pasti bikin kamu kaget," ucap Mayra lembut. "Tapi, sebelumnya kami akan bilang, kalau apa pun yang terjadi, kami akan berjuang demi kamu."
Dion tersenyum, membalas remasan jari Mayra. "Aku percaya padamu, istriku. Seperti aku percaya pada Kakek dan Tina. Nggak usah ragu, bilang saja terus terang ada apa."
Mayra menunduk, tubuhnya bergetar. Memejam sesaat, ia kembali berujar dengan suara parau. "Dion, Sayang. Ka-kamu kena penyakit, kanker paru-paru."
Dion terdiam, menatap istrinya yang menunduk. Mengalihkan pandangan pada sang kakek yang juga menunduk, dan Tina yang mulai terisak.
"Stadium berapa?"
"Stadium empat." Tangis Mayra pecah, begitu pula Tina. Tidak ada rasa malu bagi mereka berdua untuk meraung. Mayra mendekap paha suaminya dan berujar sambil berlinang air mata. "Kakek bilang, akan membawamu berobat. Kita akan berusaha semampunya. Kamu, ja-jangn menyerah. Ka-karena kami nggak ada diam saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Retak
RomanceKisah Mayra yang jatuh bangun membangun hidup setelah bercerai dari suaminya yang berselingkuh. Ia kehilangan hak waris anak, menuai cacian, dan juga rasa permusuhan dari mantan mertua dan juga teman-temannya, karena dianggap tidak mampu menjaga rum...