Bab 25b

9.4K 1K 42
                                    

Dari awal menikah, Dion memang sering sakit. Selain pusing juga batuk tak berhenti. Tadinya ia pikir karena merokok. Karena itu ia melarang Dion merokok. Saat kegiatan itu dihentikan, ternyata batuk masih berkelanjutan. Ia tidak mengijinkan Dion minum es. Hanya memberikan minuman dan makanan hangat. Mengukur suhu air hangat sebelum digunakan untuk mandi, dan memastikan suaminya nyaman. Sayangnya, itu tidak banyak membantu. Hingga cecerah darah di kamar mandi membuatnya waspada.

Peter sudah menunggu di kantor saat mereka tiba di sana. Yang mengejutkan, pemuda itu datang bersama seorang perempuan cantik. Mayra tidak kenal siapa perempuan itu, sampai akhirnya Dion menyebut namanya.

"Sayang, ini Andini."

Mayra sadar siapa perempuan cantik itu. Andini adalah mantan tunangan Dion. Perempuan itu menatapnya angkuh dan menolak tangannya yang terulur untuk berjabat tangan.

"Oh, jadi ini istrimu, Dion?" Andini tersenyum dengan meremehkan. "Cantik, sih. Sayangnya janda."

Dion menghela napas kesal. "Kamu ngapain ke sini? Kalau nggak ada urusan sebaiknya pergi!"

"Kak! Kasar sekali!" sela Peter marah. "Aku yang mengajak Andini datang!"

Dion menatap Peter dengan jengkel. Tidak habis pikir dengan sikap adiknya. Untuk apa membawa Andini yang jelas-jelas punya masalah dengannya. Apakah Peter memang berniat untuk membuatnya marah?

Ia tidak tahu seberapa dekat hubungan antara Peter dan Andini. Mereka saling kenal karena berada di lingkungan bisnis yang sama. Berbeda dengannya yang tidak buta oleh kecantikan Andini, Peter terlihat sangat menyukai perempuan itu.

Andini mendengkus, menjentikkan kukunya yang dicat merah muda. Menatap Dion dan Mayra yang terdiam bergantian.

"Kamu lihat sendiri'kan Peter? Mereka sama sekali nggak ramah sama aku. Padahal, aku datang untuk memberikan selamat atas pernikahan mereka."

"Nggak perlu!" Dion menyambar ketus. "Sebaiknya kalian pulang!"

"Kak!"

Teriakan Peter membuat Mayra bertindak. Ia memegang lengan suaminya dan mengusap lembut. "Sayang, jangan marah. Mereka sudah di sini, duduk dan bicara. Biar aku buatkan minum."

Dion menggeleng. "Suruh orang yang lain yang bikin. Kamu tetap di sini."

Peter menyipit ke arah Mayra. "Kenapa harus orang lain. Istrimu koki di restoran ini, sudah seharusnya dia yang membuatkan untuk kami."

Dion mengepalkan tangan dengan gemetar, menahan marah. Ia ingin melempar Peter keluar dari restorannya tapi ditahan. Jemari Mayra mengusap lembut telapaknya dan membuatnya tersadar untuk tetap tenang.

Mayra tersenyum ke arah Peter. Suaminya sedang dalam keadaan marah, dan ia tidak akan memperburuk keadaan.

"Peter, kamu adik suamiku. Bukan majikanku. Kalau suamiku melarang, aku nggak akan melakukannya."

Peter melotot. "Apa?"

Mayra mengibaskan rambut ke belakang. "Lagi pula, masakanku itu mahal. Tidak semua orang bisa mencicipinya. Kalian berdua, bukan orang yang cocok untuk makan masakanku."

"Sombong!" desis Andini.

Mayra mengangkat bahu. "Terserah. Ini restoran kami. Kalau kalian nggak suka, silakan pergi!"

Dion tidak dapat menahan senyum, melihat istrinya bersikap tegas. Memang sudah seharusnya, kalau kedua orang yang tidak tahu sopan santun ini diperlakukan dengan keras. Ia mengeyakkan diri di sofa, dengan Mayra berada di sampingnya.

"Sebaiknya kalian bicara cepat. Mau apa datang kemari?"

Peter menghela napas kesal, mau tidak mau duduk di depan Dion. Sebenarnya ia ingin mengatakan semuanya hanya berdua dengan kakaknya, tapi sepertinya Dion tidak akan membiarkan Mayra pergi. Ia melirik Andini. Perempuan cantik itu duduk di sebelahnya sambil menyilangkan kaki. Roknya tersingkap hingga ke tengah paha dan memperlihatkan kulitnya yang putih, tanpa sadar Peter meneguk ludah. Ia sangat tergila-gila dengan Andini yang cantik sexy, bisa berada dekat dengan perempuan itu sangat membuatnya senang. Tapi, sekarang ini ada yang lebih penting dari pada nafsu birahinya.

"Kak, aku membawa penawaran dari papa."

Dion mendesah lelah. "Apa lagi?"

"Kalau memang kamu nggak mau bantu perusahaan kayu kita, nggak apa-apa. Papa minta biarkan aku kerja di sini, membantumu mengelola restoran."

"Tidak akan!" sentak Dion marah. "Jangan coba-coba kamu mengangguku!"

"Aku nggak ganggu. Aku bisa kerja!"

Andini mengangkat tangan, menghentikan Dion yang ingin mendebat adiknya. "Dion, kenapa kamu sangat keras kepala. Aku bicara sebagai teman Peter. Dia bermaksud baik ingin membantumu, kenapa kamu menolaknya?"

Dion menatap Andini tajam. "Sebaiknya kamu diam. Ini nggak ada hubungannya sama kamu."

"Tapi—"

"Andini, kamu dan aku sebaiknya sama-sama diam!" Mayra memotong perkataan Andini dengan tegas. Perempuan itu melotot tidak senang padanya, dan Mayra hanya mengangkat bahu tidak peduli. Untuk apa mencoba bersikap sopan pada perempuan yang jelas-jelas kurang ajar.

"Peter, aku tegaskan sekali lagi. Restoran ini adalah wilayahku. Nenek mewariskan ini khusus untukku. Tidak ada yang boleh ikut campur, siapapun itu."

Peter berdecak, merasa frustasi dan emosinya meninggi. "Padahal, aku hanya ingin membantu!"

"Oh, membantuku agar cepat bangkrut? Sebaiknya kamu urungkan niatmu. Bukan aku tidak menghargainya, tapi memang tidak ingin kamu dekat-dekat denganku."

Suasana menjadi panas dan menegangkan. Peter melirik Andini, seakan meminta petunjuk. Tapi perempuan itu justru sedang sibuk memperhatikan Mayra. Dari awal Peter sudah tahu kalau Dion akan menolak usulnya. Ia hanya ingin menguji, sejauh mana kakaknya tahan dengan sikapnya. Ternyata, Dion jauh lebih pemarah dari yang dipikirkannya.

"Ini hanya restoran. Untuk apa kamu begitu mempertahankannya," gumam Peter.

"Restoran ini, sekarang bukan hanya milikku tapi juga milik Grifin."

Mata Andini berbinar saat nama Grifin disebut. "Benarkah? Restoran ini juga milik Grifin?" Ia tidak dapat menahan rasa ingin tahunya.

Dion tidak menjawab pertanyaan Andini, tetap memandang adiknya tak berkedip. "Waktu restoran masih sepi, tidak ada satu pun di antara kamu dan Papa yang berniat mengambil alih. Kalian lebih suka mengurus perusahaan kayu. Setelah tempat ini menjadi ramai karena aku dan Mayra, seenaknya saja kamu ingin mengambil alih. Mimpi saja kamu!"

Peter tidak tahan lagi. Menggebark meja dan berkata marah. "Dari dulu memang kamu nggak pernah sayang sama kami. Nggak apa-apa, aku akan pastikan restoran ini akan menjadi milikku. Lihat saja nanti!"

Bangkit dari sofa, Peter bergegas ke ruang depan, diikuti oleh Andini. Mereka melewati lorong yang ramai, di mana banyak pengunjung berlalu lalang.

Dion terpaku setelah kepergian adiknya. Ia merasa dadanya yang terasa sakit. Kemudian mulai batuk dengan tak terkendali.

"Sayang, kamu kenapa? Dion?"

Mayra bertanya kuatir. Dion mengangkat tangan, memintanya untuk tenang. Namun, saat melihat suaminya batuk darah, Mayra tidak menahan diri lagi. Ia menelepon ambulan dan membawa suaminya ke rumah sakit, tidak peduli kalau Dion menolak.

RetakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang