"To-tolong, jangan ambil duitku. Itu untuk anakku bayar se-sekolah."Perempuan tua itu berusaha mempertahankan dompetnya dan si penodong, memaksa marah. "Eh. Nenek Tua. Cari mati lo!"
Angkot melambat dan satu laki-laki menggedor atap. "Eh, sopir. Lo berani berhentiin mobil, gue gorok leher mereka!"
Nirmala duduk gemetar, bertukar pandangan dengan Mayra. Mereka dilanda ketakutan yang sama, ingin menolong perempuan itu tapi tidak berdaya dengan ancamannya. Perempuan itu menangis sekarang, terjadi tarik menarik tas antara dirinya dan penodong.
"Nenek Peyot! Emang cari mati lo!"
Perempuan itu menjerik saat si penodong memukul sisi kepalanya. Mayra dan Nirmala bergerak bersamaan. Mereka mengayunkan tas, dan mendorong satu laki-laki di depan mereka. Nirmala memgayunkan platik berisi makanan ke atas kepala mereka dan seketika, palstik pecah. Kedua laki-laki itu berteriak saat sop pedas mengguyur mereka. Mayra melihat bungkus sambel dan mengambilnya. Merobek bungkus dan melemparkan ke arah mata penodong.
"Perempuan-perempuan brengsek! Mati aja kalian!"
Dalam kepanikan, mereka tidak sadar angkot melambat dan berhenti di depan minimarket yang ramai. Sopir berteriak minta tolong dan orang-orang berdatangan. Dua laki-laki penodong dibekuk keluar dalam keadaan mengenaskan karena tumpahan sop pedas dan juga sambal.
Penampilan Mayra dan Nirmala pun tak kalah kacaunya. Tubuh mereka terciprat sop dan mata sedikit pedih karena sambel, tapi selebihnya baik-baik saja. Setelah ditanya para pihak berwajib, keduanya diantar pulang oleh sopir angkot yang lain.
"Punggung tanganmu luka," ucap Nirmala kuatir. Ia melihat goresan cukup panjang di tangan Mayra.
"Ehm, bukan luka serius. Beberapa hari juga sembuh."
Nyatanya, Dion tidak beranggapan demikian. Saat melihat Mayra luka-luka, ia bertanya apa yang terjadi dan terbelalak saat mendengar cerita sesungguhnya.
"Rumah kalian cukup jauh, pulang juga larut. Kenapa nggak pindah besok, kalau perlu aku pinjamkan uang untuk kalian. Nanti potong gaji perlahan, bagaimana?"
Usul Dion disambut gembira Mayra dan Nirmala. Mereka membuat surat perjanjian utang piutang dengan Dion, yang setuju meminjamkan sejumlah uang dan membayar dengan potong gaji. Sebagai jaminan, Nirmala dan Mayra menyerahkan KTP mereka. Sebuah perjanjian yang cukup adil untuk kedua belah pihak.
Di saat libur, Mayra dan Nirmala mencari kontrakan kosong di sekitar restoran. Mereka meminta bantuan pada teman-teman lain yang bekerja di restoran, barangkali ada yang tahu tentang kontrakan dan beruntung, salah satu pegawai kebetulan punya tetangga yang punya rumah untuk disewa.
"Nggak besar, rumahnya juga biasa aja, nggak bagus-bagus amat, tapi lingkungannya tenang dan bersih. Kalian pasti suka."
Mereka melihat rumah itu dan langsung suka dari pandangan pertama. Ada tiga ruangan yang disekat menggunakan triplek. Tidak masalah kalau rumah itu sederhana, yang terpenting lokasinya tidak jauh dari restoran dan murah. Mereka mengambil cuti setengah hari untuk pindahan. Karena tidak punya banyak barang, dalam sekali angkut, mereka pindah ke rumah baru.
**
Aroma kopi menyengat penciuman. Orang-orang bercakap cakap di meja-meja kayu bundar. Beberapa dengan buku catatan atau laptop yang terbuka. Suasana cenderung santai tapi tidak bising.
"Tumben Kakek ngajak aku ke kafe kopi. Ada apa?"
Damar mengaduk kopi susu panas di depannya. Mengambaikan Dion yang bertanya.
"Kita punya mesin ekpreso di rumah. Biasanya bikin dan minum langsung. Bukannya lebih nikmat?"
Damar mengibaskan tangan. "Sesekali kita keluar jalan-jalan. Lagi pula, beberapa waktu ini kamu sibuk sekali di restoran. Pulang juga selalu malam. Apa restoran berjalan baik dengan koki baru?"
Dion meneguk americano-nya dan mencondongkan tubuh ke arah sang kakek. "Restoran mulai rame, Kek. Terutama saat weekend. Aku mengubah dekorasi bagian depan, menambahkan kolam dan bangku kayu, jadi lebih isntagramable."
"Gunanya untuk apa?"
"Gini, Kek. Orang-orang sekarang, aktif banget di jejaring sosial. Mereka suka banget foto-foto saat makan. Kalau interor dan exteriornya keren, para pengunjung yang kebanyakan adalah kaum muda, bisa mengambil foto dan mengunggahnya ke jejarin mereka. Ibaratnya, promosi gratis."
"Ide bagus." Damar menyetujui.
"Satu lagi, masakan Mayra benar-benar enak. Perempuan itu seakan punya tangan yang memang ditakdirkan untuk membuah bahan masakan biasa menjadi menu istimewa."
"Mayra? Koki baru?"
"Benar, dia. Mayra mengubah sedikit resep di menu, membuatnya makin lezat dan orang-orang datang bukan hanya untuk berfoto tapi benar-benar menikmati makanan."
Damar menyimpan senyum dalam hati, melihat cucunya menggebu-gebu saat bicara soal restoran. Ia tidak salah pilih saat memutuskan menyerahkan restoran pada Dion. Kini, setelah menemukan pekerja yang tepat, bisa membantu Dion berkembang.
"Selamat siang, Kakek, Dion. Apa kabar?"
Dion mendongak, saat perempuan cantik dengan rambut hitam tebal menyapa mereka. Ia mengenali perempuan itu dan menyapa bingung.
"Andini, sedang apa di sini?"
Damar berdehem. "Aku yang meminta Andini datang. Sudah waktunya kalian saling mengenal satu sama lain. Andini, kamu kenal cucuku bukan?"
Andini duduk di sebelah Damar dan menyunggingkan senyum manis. "Kenal sudah lama, Kek."
"Bagus, kalian bisa lebih akrab kalau sudah saling mengenal."
"Iya, Kek."
Dion menatap sang kakek yang kini mengobrol dengan Andini. Rupanya, rencana perjodohan memang serius dilakukan oleh sang kakek dan orang tua Andini. Dion mengamati perempuan yang sedang tertawa lirih, mau tidak mau ia sepakat dengan Tina kalau Andini selalu bersikap palsu di depan orang lain. Dari awal ia memang tidak menyukai Andini untuk menjadi teman, apalagi istri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Retak
RomanceKisah Mayra yang jatuh bangun membangun hidup setelah bercerai dari suaminya yang berselingkuh. Ia kehilangan hak waris anak, menuai cacian, dan juga rasa permusuhan dari mantan mertua dan juga teman-temannya, karena dianggap tidak mampu menjaga rum...