Bab 19b

7.9K 969 35
                                    

Sekarang, ia melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana Dion begitu perhatian pada seorang perempuan. Bersikap lembut dan penuh perhatian. Bukankah ini yang ia inginkan dari dulu? Kenapa harus menentang hanya demi egonya? Dion yang akan menjalani pernikahan, bukan dirinya. Lantas, untuk apa ia memaksa?

Ia tidak setuju dengan status Mayra sebagai janda. Tapi, bukan keinginan perempuan itu untuk bercerai. Perempuan mana pun akan melakukan hal yang sama dengan Mayra, memilih untuk melarikan diri dari pada terjebak bersama suami yang suka menganiaya. Kalau Mayra itu cucunya, ia akan membunuh laki-laki yang menjadi suaminya.

Cucu tersayang, yang penyendiri dan pendiam, melabuhkan hati pada perempuan berhati lembut yang tersakiti, tidak ada yang salah dengan itu. Justru setelah ada Mayra, Dion jadi lebih bersemanhgat mengelola restoran.

"Mayra, kamu kesakitan? Maafkan, Kakek memang kejam."

"Nggak ada yang sakit."

"Kakek memang emosian. Dari dulu sudah begitu."

"Dion ...."

"Kakek sebenarnya baik, cuma suka memaksa!"

Damar menggebrak meja dengan keras, menuding pada Dion dan Mayra bergantian. "Iya, iya, aku setuju kalian kawin. Ingat, setelah menikah harus tinggal di rumah ini!"

Dion dan Mayra terdiam, keduanya menatap Damar dengan tercengang.

"Be-beneran, Kek?" tanya Dion terbata.

"Apa perlu aku ulangi?" tanya Damar keras.

Dion menggeleng. "Nggak, Kek. Cukup sekali saja dan aku ngerti. Mayra, kita menikah. Akhirnya, kita bisa menikah!"

Tanpa ragu, Dion meraih tubuh Mayra dan memeluknya. Ia lepaskan segera saat merasakan Mayra berjengit. Tentu saja, Mayra masih trauma disentuh laki-laki dan ia tidak memaksa. Yang terpenting adalah, mereka direstui dan itu adalah momen membahagiakan.

Segera setelah mendapatkan restu dari sang kakek, Dion merencanakan ulang pernikahannya. Tapi, sebelum itu ia diharuskan menemui Andini dan memutuskan hubungan dengan baik-baik. Untuk kali ini Dion setuju, tidak keberatakan kalau harus bertemu Andini. Di luar dugaan, Grifin mengatakan akan menemaninya. Bagi Dion, ini kesempatan baik. Dengan adanya Grifin, Andini tidak akan persikap macam-macam.

Pada Sabtu malam, sesuai dengan kesepakatan, Grifin menjemput Dion dari restoran. Sepanjang jalan mereka berdiskusi bagaimana caranya menghadapi Andini, kalau seandinya ada penolakan.

"Yakin seratus persen, ada kamu pasti Andini akan terima keputusan untuk putus hubungan dengan gembira."

Dugaan Dion ternyata benar. Mereka bertiga bertemu di sebuah bar yang menyajikan musik jazz sebagai hiburan. Alih-alih duduk dengan Dion, perempuan itu memilih untuk berada di samping Grifin. Terus menerus berusaha menarik perhatian Grifin dengan cara mengobrol tak berhenti dan mengabaikan Dion.

"Aku senang malam ini bisa ketemu kamu, Grifin. Gimana kalau lain kali, kita jalan berdua. Aku tahu tempat yang enak."

Grifin menggeleng, dengan lembut berusaha melepaskan cengkeraman Andini dari lengannya. "Sorry, lain kali aku akan susah cari waktu untuk keluar dan bersenang-senang."

"Kenapa? Masa mau kerja terus? Hidup perlu hiburan. Mau, ya?" desak Andini.

"Eh, nanti aku pikirkan lagi. Sekarang yang terpenting adalah kamu bicara sama Dion."

Andini melirik Dion sekilas lalu bertanya dengan nada kaku. "Emangnya ada apa, Dion? Tumben kamu ke tempat kayak gini? Biasanya kamu suka ke kafe kafe gitu. Awas aja masuk angin!"

Sindiran Andini membuat Dion berdecak kesal. Ia tidak marah, hanya merasa bingung dengan keputusan awal sang kakek yang ingin menjodohkannya dengan Andini. Dilihat dari berbagai sudut, Andini tidak ada sepersepuluhnya dari kelembutan dan kebaikan hati Mayra.

"Aku datang untuk meluruskan sesuatu. Nggak usah sinis begitu. Kalau boleh memilih, aku juga enggan ketemu kamu!" tegas Dion.

Andini mengibaskan rambut ke belakang. "Bagus kalau gitu, kita sama-sama saling tahu." Ia mengalihkan tatapannya kembali pada Grifin. "Ada klub baru buka, punya temanku. Suasana beach gitu. Pasti dijamin kamu suka."

Grifin tersenyum kecil, mengangkat gelasnya. "Dion ingin bicara sama kamu. Sebaiknya, selesaikan masalah kalian berdua dulu baru bahas hal lain."

"Tapi, kamu janji dulu, Grifin."

Grifin menggeleng. "Aku nggak akan janjikan apa pun sama kamu Andini. Aku kemari untuk menemani Dion."

Andini menghela napas kesal. Meraih gelas dan menandaskan minuman, ia menatap Dion dengan galak. "Ada apaan, sih? Mau ngomong soal pernikahan? Aku sama sekali nggak minat—"

"Aku nggak mau nikah sama kamu. Ayo, sudahi saja perjodohan omong kosong ini!" sahut Dion cepat, memotong perkataan Andini. "Aku akan menikah dengan perempuan lain dan datang kemari untuk memperjelas kalau di antara kita tidak ada masalah."

Andini tertegun sesaat, lalu tersenyum. "Wah, bagus kalau gitu. Aku akan bicara sama kakekku."

Dion menghela napas lega, bertukar pandang dengan Grifin. "Berarti kita clear, jangan ada drama-drama di belakang."

Andini mengangguk. "Tentu saja, masalah kita selesai. Aku bukan drama queen, lagi pula hidup ini terlalu indah untuk dinikmati. Buat apa buru-buru nikah?"

Dion meraih ponsel, menyalakan alat perekam. "Andini, kita nggak ada hubungan apa-apa lagi."

"Oke, dengan senang hati putus hubungan!"

Dion mematikan alat perekam, mendengarkan sekali lagi di antara kebisingan dan mengirimnya pada sang kakek. Segala sesuatu harus ada bukti dan ia tidak ingin ada sanggahan dari sang kakek. Malam ini berlalu dengan cukup memuaskan. Ia mengambil gelas, menyesap cocktail buah dan menikmati pemandangan di mana Grifin mati-matian menolak Andini, sedangkan perempuan itu memaksa hingga sedikit tidak tahu malu.

Dion makan kacang telur sambil tersenyum, mengamati Grifin yang duduk tenang tapi wajahnya menyiratkan kekesalan. Bukan sekali ini saja, sahabatnya itu menjadi incarana para perempuan. Tinggi, tampan, dan kaya raya, terumata karena masih sendiri, Grifin adalah wujud nyata dari pangeran di dunia nyata. Sayangnya, sahabatnya itu tidak pernah tertarik dengan pernikahan, untuk alasan yang tidak diketahui.

RetakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang