Mayra bergetar, saat jemari suaminya menyusuri wajahnya yang bengkak dan berdarah. Ia menolak untuk menangis, dan memberikan kepuasan pada laki-laki itu.
"Akun memberimu satu kesempatan untuk berpikir dan menandatangi surat persetujuan atas pernikahanku."
Adam melepaskan cengkeramnya, mengibaskan kemeja yang dipakai. Menatap sekilas pada Mayra yang bersimpuh penuh darah di lantai. Tanpa mengatakan apa pun, berderap pergi.
Mayra menyentuh ujung bibirnya yang luka. Darah terasa asin di bibirnya. Ia merangkak menuju meja, mengabaikan rasa sakit yang mendera tubuhnya. Perutnya sakit, begitu pula wajah dan tubuhnya yang lain, ia meraih ponsel dan membuka dengan jemari gemetar. Mengambil foto-foto dirinya, setelah itu menunduk dan mulai tersedu. Yang ia inginkan hanya satu, keluar dari rumah ini dengan membawa anaknya.
**
Di rumah besar berlantai tiga, seorang laki-laki tua sedang mengisap cerutu. Melamun menatap halaman luas di mana ada banyak bunga tumbuh. Bagi orang awam, mungkin terlihat indah, tapi baginya tumbuhan itu terlihat layu dan tidak segar. Di rumah ini, tidak ada orang yang bisa merawat bunga dengan baik selain almarhumah istrinya. Ia sudah menyewa tukang kebun, dan menurutnya cara tidak begitu bagus hasil kerjanya.
Tua, lelah, dan sendirian, ia sering mengeluh dan akibatnya, banyak pekerja yang tidak betah bekerja di rumah ini. Semua karena sikap dan sifatnya yang dianggap temperamental. Bukan hanya para pekerja, bahkan kerabat dan keponakannya pun enggan berdekatan dengannya.
"Kek, melamun aja. Lagi mikirin nenek, ya?"
Dion datang, mengenyakkan diri di depan sang kakek, terbatuk karena asap cerutu. Meraih tisu, ia bangkit menuju wetafel dan membuang ludah. Sedikit mengernyit saat merasa hidung dan tenggorokannya sakit. Membuang tisu kotor ke tempat sampah, ia kembali ke ruang tengah dan melihat sang kakek sudah mematikan cerutu.
"Batukmu makin hari makin parah, kenapa nggak periksa ke rumah sakit?"
Dion melambaikan tangan. "Batuk biasa, karena cuaca kering. Bukan hal besar."
Damar menatap cucunya, meskipun berwajah tampan tapi tubuh Dion terlalu kurus. Akan lebih baik kalau lebih gemuk lagi. Mungkin tambah lima sampai sepuluh kilo. Dengan penampilannya yang sekarang, Dion seperti orang yang tidak terurus dan kekurangan makan.
"Kamu sudah ke restoran?"
Dion mengangguk. "Sudah, aku juga mengajak Grifin ke sana."
"Lalu? Bagaimana pendapat kalian?"
"Entahlah, Kek. Sedang aku rencanakan."
"Rencana saja terus. Ingat dengan perjanjian kita. Kalau kamu nggak bisa mengelola restoran itu, dalam waktu satu tahun, kamu harus menikahi Andini."
Dion mendengkus jengkel, menatap sang kakek dengan pandangan tidak percaya. Ia tidak mengerti, kenapa sang kakek terobsesi dengan pernikahannya.
"Kek, jaman sekarang sudah biasa kalau nggak nikah."
Damar menggebrak meja, membuat Dion terlonjak. "Bicara apa kamu, hah! Anak kurang ajar! Memangnya kamu mau hidup sendirian di dunia? Kalau kakek mati, siapa yang akn mengurusmuu!"
Dion menunduk, menekuri lantai. Ia bisa mengerti kekuatiran sang kakek padanya. Tapi, pernikahan bukan jalan keluar dari masalah hidupnya. Ia sedang ingin membangun karir, masalah percintaan tidak masuk dalam hitungan.
"Kek, aku mengenal Andini dari dulu. Aku tahu kalau dia itu suka sama Grifin, bukan aku."
Sang kakek mendengkus. "Siapa bilang? Andini jelas-jelas bilang kalau mau menikah denganmu. Dia setuju menjadi menantu di rumah ini. Jangan bawa-bawa Grifin dalam urusan ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Retak
RomanceKisah Mayra yang jatuh bangun membangun hidup setelah bercerai dari suaminya yang berselingkuh. Ia kehilangan hak waris anak, menuai cacian, dan juga rasa permusuhan dari mantan mertua dan juga teman-temannya, karena dianggap tidak mampu menjaga rum...