Bab 12a

8.7K 944 38
                                    

Penawaran yang menggoda, hanya saja cukup gila untuk diwujudkan. Apa kata pegawai lain kalau ia tinggal di restoran ini? Bukankah sama artinya ia mendapat perlakuan istimewa, lebih dari yang lainnya? Mayra justru menghindari gosip seperti itu. Terlebih, ia baru kerja sebulan di sini.

"Kenapa diam, May? Nggak mau?"

Mayra menggeleng, meluruskan kaki dan tersenyum. "Bukan nggak mau, tapi nggak pantas. Demi keseimbangan restoran, aku memilih untuk menolaknya."

"Kenapa? Kamu bukannya pingin nyimpan uang?"

"Memang, tapi nggak akan bagus buat kita berdua, kalau aku terima tawaranmu. Gini, kalau yang tinggal di sini itu Johan atau Risty, itu pantas. Mereka senior. Sedangkan aku, siapaaa? Hanya koki baru."

"Tapi mereka mengakui kalau masakanmu enak, dan bikin rame restoran."

"So what? Sudah seharusnya seorang koki memberikan yang terbaik. Bukan hal istimewa itu."

Dion mendesah, meraih gelas Mayra dan mengendusnya. "Lemon?"

"Iya, madu lemon. Kamu mau?"

"Nggak, perutku nggak tahan sama lemon. Ngomong-ngomong, kapan kamu mau masukin berkas perceraian? Kalau butuh pengacara, aku bisa rekomendasikan."

"Mana mampu aku bayar pengacara. Tunggu libur, aku akan cari tahu caranya. Kalau memang nggak butuh banyak uang, aku akan urus berkas secepatnya."

Dion menepuk pelan pundak Mayra. "Siapa bilang bayar pengacara harus mahal. Kamu bisa konsultasi soal proses dan juga berkas. Jangan kuatir masalah biaya, itu pengacara perusahaan, termasuk restoran ini. Kamu, bagian dari restoran ini, sudah semestinya dibantu."

Mayra memejam, merenungi perkataan Dion. Dua tawaran Dion sangat menarik dan dua-duanya menggoda. Sayangnya, ia tidak terbiasa menerima kebaikan orang.

"Untuk pengacara, aku mau. Tapi, tinggal di rumah ini, sepertinya harus aku tolak."

"Kenapa?"

"Yah, nggak enak aja."

Dion mengangguk. "Terserah kamu, May. Yang penting kamu senang. Aku tinggal dulu, harus pulang cepat. Kakek nungguin."

"Okee, see you."

Dion bergegas ke parkir, menstrater kendaraan dan melaju meninggalkan restoran. Mayra bangkit dengan enggan. Merasa sangat lelah dengan kaki dan tangan yang seakan tidak ada tenaga. Sepertinya ia pulang naik ojek online. Meskipun harus bayar, setidaknya menghemat waktu dan tenaga. Ia sudah berganti pakaian, mengambil tas di loker dan bersiap pulang saat Risty menghadang langkahnya.'

"Ada apa, Mbak?" tanya Mayra.

Risty bersedekap, dengan tubuh bersandar pada loker. Menatap Mayra lekat-lekat.

"Apa kamy tahu gosip-gosip di antara para pegawai, May?"

Mayra menggeleng. "Tentang apa?"

"Masih tanya lagi. Tentu saja tentang kamu dan Pak Dion. Para pegawai bertanya-tanya, apa yang sudah kamu lakukan sampai bisa bikin Pak Dion baik banget sama kamu."

Mayra mengulum senyum. "Nggak ada apa-apa, Mbak. Hanya hubungan antara pegawai dan bossnya."

"Oh, bagus kalau kamu sadar." Risty mengusap bahu Mayra dan berbisik perlahan. "Ingat statusmu, kalau ingin macam-macam di sini. Pak Dion itu bukan Johan atau Gusti yang bisa kamu goda. Sebaiknya kamu mikir lagi, kalau mau dekat-dekat sama orang yang tidak selevel sama kamu. Sadar diri, May!"

Risty membalikkan tubuh, melangkah cepat meninggalkan Mayra yang tercenung di dekat loker. Peringatan yang tajam dan tanpa basa basi yang dilontarkan Risty membuat Mayra terdiam. Menyugar rambut, ia melangkah perlahan. Orang-orang berprasangka padahal, ia sama sekali tidak ada niat apa pun dengan Dion. Hatinya belum siap untuk jatuh cinta lagi, setelah disakiti oleh Adam. Ia masih merasa kalau di dunia ini, tidak pernah ada cinta sejati. Setiap hubungan, terlebih pernikahan, pasti ada timbal baliknya. Ia tidak mungkin jatuh cinta dengan laki-laki sebaik Dion, satu memang mengakui kalau mereka tidak selevel. Dua karena dalam agenda hidupnya, jatuh cinta dan menikah adalah urutan terakhir dalam daftar. Merebut kembali anaknya, itu paling penting.

RetakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang