Bab 21a

8.9K 969 26
                                    

Setelah menikah, Mayra tinggal di rumah besar bersama si kakek. Mereka menempati kamar besar yang sebelumnya adalah kamar Dion. Saat memasuki kamar pertama kali, Dion sudah wanti-wanti pada istrinya.

"Jangan takut saat bersamaku, May. Aku tahu kamu masih trauma dengan sentuhan laki-laki. Aku tidak akan memaksamu melakukan sesuatu yang nggak kamu suka."

"Terima kasih, tapi aku akan menjadikan pernikahan ini berkah untuk kita berdua."

"Jangan buru-buru, May. Nikmati semuanya, sampai kamu lepas dari trauma."

Perkataan Dion menyentuh hati Mayra. Ragu-ragu ia meraih tangan Dion, menggenggam jemarinya lembut lalu memeluknya. Ia menghirup aroma parfum maskulin dari suaminya.

Mayra menghargai perhatian Dion. Harus diakui, ia agak takut-takut tentang pernikahan ini. Bukan karena ia tidak menyukai Dion. Mayra bahkan berharap bisa menjadi istri yang sesungguhnya bagi suaminya itu, menyayangi dan melayani sepenuh hati. Namun, yang dikatakan Dion ada benarnya. Ia akan menjalani semuanya secara perlahan, memupuk cinta bertahap dan menjadikan pernikahan mereka sempurna.

Mereka tidur sekamar, di atas ranjang yang sama tapi sama sekali tidak bersentuhan. Dion tidur meringkuk ke arah dinding, dan Mayra berbaring menatap langit-langit. Malam pertamanya di rumah ini, ia tidak dapat memicingkan mata.

Rumah besar bertingkat, kamar tidur mewah dengan perabot bagus, yang ada di ingatan Mayra justru anaknya. Apa kabar Cantika hari ini? Apakah anaknya makan dengan lahap? Semoga saj tidak sakit. Ia takut kalau Dira akan melakukan sesuatu yang buruk pada anaknya.

Tadi siang Dion mengatakan, akan menemani Mayra mengunjungi Cantika hari Minggu nanti. Perasaan Mayra membuncah dalam bahagia. Akhirnya, ia bisa menemui anaknya tanpa rasa takut, karena Dion pasti membantunya. Memejamkan mata, Mayra berharap bisa terlelap dan beristirahat.

Pagi-pagi buta, Mayra sudah terbangun. Ia menoleh pada suaminya yang masih tergolek di ranjang. Bangun untuk cuci muka dan berganti pakaian, ia menuju dapur. Para pelayan terperangah saat melihatnya.

"Nyonya Muda, biar kami saja yang memasak," ucap mereka.

Mayra menggeleng. "Nggak apa-apa, khusu hari ini biarkan aku menjalankan tugas jadi menantu di rumah ini."

"Tapi, Nyonya, kami—"

"Kalian bantu aku saja. Tolong siapkan buah buahan, jahe, dan juga susu."

Di dapur idak ada yang berani membantah. Dengan cekatan Mayra mengolah buah-buahan menjadi salad, lalu menyeduh susu dan jahe. Tidak lupa, membuat french toast with coffe custard atau biasa disebut roti panggang dengan saus kopi. Selesai semua, ia meminta pelayan membawanya ke meja makan.

"Mayra, kenapa kamu repot-repot bini sarapan?"

Damar yang baru saja bangun, tertegun saat melihat sarapan yang melimpah ruah tersaji di atas meja.

"Nggak apa-apa, Kek. Silakan duduk, coba susu jahenya."

Mayra menuang segelas susu panas dan menghidangkannya ke depan si kakek. Mengambil mangkok, lalu menyajikan salad.

Damar menyesap minuman dengan perlahan dan berdecak gembira. "Enak, dan bikin hangat badan. Suamimu belum bangun?"

Mayra menggeleng. "Belum, sepertinya kelelahan. Semalam batuk-batuk terus. Udah aku pijit-pijit sama kasih minyak angin."

Damar menghela napas, menusuk buah di dalam mangkok. "Anak itu, semenjak pulang dari luar negeri memang sering sakit-sakitan. Sepertinya, cuaca di luar negeri kurang cocok dengannya."

"Setelah sarapan, saya akan temani dia jalan-jalan, Kek. Biar keluar keringat."

"Bagus, memang harus dipaksa bergerak. Itun roti apa?"

RetakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang