Bab 22a

9.2K 1K 63
                                    

Keadaan restoran tidak berubah meskipun Mayra kini menjadi nyonya pemilik. Ia masih memasak seperti biasa, bekerja di dapur bersama Johan dan Gusti, yang sedikit berbeda hanya jam kerja. Berangkat dan pulang bersama Dion, jam kerja Mayra lebih pendek dan banyak mengalihkan tugas pada dua temannya.

Suatu hari Dion memanggil dua kokinya. Mengatakan pada mereka kalau Mayra tidak bisa bekerja full time. Kalau Gusti dan Johan merasa keberatan atau keteter, mereka akan mencari satu koki lagi.

"Untuk sementara ini, kami masih bisa tangani, Pak." Johan memberi alasan. "Mungkin nanti kalau sudah keteter."

Gusti membenarkan ucapan temannya. "Iya, Pak. Sementara ini kami masih bisa."

Meskipun statusnya bukan lagi pegawai biasa, Mayra tetap memperlakukan kedua koki itu sama seperti sebelumnya. Ia membantu mereka membuat bumbu, memasak, dan menyiapkan hidangan seperti biasa. Yang berbeda justru sikap para pegawai lainnya. Semua kini memperlakukannya sangat sopan diiringi rasa enggan, tidak terkecuali Risty dan Nirmala.

Pada Nirmala, Mayra tetap ramah dan bersikap seperti dulu. Meskipun sahabatnya itu terlihat sangat segan, ia tidak peduli. Setiap pada kesempatan, akan bertanya soal anak dan ibunya. Nirmala akan menjawab seadanya dengan wajah menunduk, membuat Mayra yang melihatnya sangat sedih.

"Nirmala, semoga kamu nggak marah lagi sama aku soal Toro. Kalau memang kamu menyukainya, nggak apa-apa. Semoga dia bisa membahagiakan kamu." Mayra berdoa dengan tulus.

Nirmala mengangguk, menyimpan rasa sedih di dada. Ingin mencurahkan banyak hal pada Mayra tapi sadar diri kalau kedudukan mereka tidak lagi sama.

"May, kamu baik sekali. Semoga bisa cepat ambil Cantika," ucap Nirmala.

Mayra tersenyum. "Kalau Cantika sudah di rumahku, nanti kamu dan anakmu main, ya? Biar mereka kenalan."

Nirmala mengangguk dengan wajah berseri-seri. "Iya, tentu saja."

Perlahan, Mayra ingin membangun kembali persahabatannya dengan Nirmala. Ia tidak ingin melupakan sahabat yang sudah membantu di saat tersulitnya. Mereka pernah mengalami kegembiraan dan penderitaan bersama. Sudah semestinya saling mendukung.

Risty pun sama. Sikapnya berubah drastis setelah Mayra menjadi nyonya. Tidak lagi berani bersikap sinis dan ketus seperti dulu. Menjadi sangat ramah dan sopan. Tingkat keramahannya membuat Mayra takut hingga nyaris bergidik. Namun, ia tidak mempermasalahkan itu. Selama Risty bekerja dengan baik, ia akan menerima apa pun sikapnya.

Minggu siang, Mayra ijin pada Gusti dan Johan untuk tidak kerja. Sehari sebelumnya ia sudah menyiapkan bumbu, bahan masakan, dan bebek yang sudah diukep, agar kedua koki tidak kelabakan selama ia tidak ada. Hari Minggu biasanya pengunjung restoran membludak. Bersama Dion, ia mendatangi rumah Adam. Sepanjang jalan, dadanya berdebar tak menentu. Kerinduan akan Cantika, mendekam di dadanya. Beberapa bulan tidak bertemu, ia berharap anaknya baik-baik saja dan sehat.

"Kita parkir di mana?" tanya Dion saat kendaraan memasuki komplek. "Kalau bisa semakin dekat rumah semakin bagus."

Mayra menunjuk jalanan depannya. "Di ujung gang belok kanan, rumah nomor dua belas. Di depan pagar biasanya kosong, bisa untuk parkir."

Adam melirik istrinya yang sedari tadi menggigit bibir demi menahan gugup. Mayra nyaris tidak mengobrol. Dion tahu, kalau istrinya menyimpan rasa takut. Ia bahkan menawarkan untuk membawa pengacara sebelum datang, tapi Mayra menolak.

"Aku nggak mau ada keributan, kasihan nanti Cantika. Kita coba dulu secara baik-baik, kalau nggak bisa terpaksa pakai pengacara."

Dion menyetujui usul istrinya. Sebelumnya, ia sudah menelepon pengacara keluarga dan memastikan untuk standby, kalau ada masalah harus siap dipanggil datang.

Mereka memarkir mobil di depan pagar, melihat beberapa tetangga mengobrol di ujung gang. Ia mengenali mereka, dan saat turun melambaikan tangan untuk menyapa. Para tetangga yang kebanyakan adalah para ibu rumah tangga, membalas lambaiannya dengan heboh.

"Sudah siap?" tanya Dion saat membuka pintu pagar.

Mayra mengangguk. "Siap."

Mayra menatap mobil Adam yang terparkir di garasi. Berpikir kalau mengambil Cantika tidak akan semudah bayangannya. Hanya Dira di rumah sudah cukup merepotkan, apalagi ada Adam. Ia berjengit kaget saat Dion mengencangkan genggamannya.

"Ada mantan suamimu?"

Mayra mengangguk. "Ada."

"Nggak usah takut, ada aku. Kita akan hadapi bersama."

"Iya, tapi ingat kondisi kesehatanmu. Jangan terlibat baku hantam dengan Adam."

"Nggak, aku akan menahan emosi demi kamu dan Cantika."

Tiba di teras, Mayra memencet bel. Di luar perkiraan, yang membuka pintu adalah Adam. Tadinya ia pikir seorang pelayan seperti sebelumnya. Mata Adam melebar saat melihatnya dan Mayra menyapa ringan. "Adam, apa kabar?"

Adam menatap Mayra dengan kekagetan terlintas di mata, lalu berpindah untuk memandang Dion. "Mau apa kamu, May?" tanyanya ketus.

"Menengok anakku," jawab Mayra tak kalah ketus.

"Cantika sedang tidur!"

"Bagus kalau begitu, aku bisa memeluknya." Mayra mendorong kaki Adam dengan kakinya. "Di kamar mana dia?"

Adam bergerak cepat, menghalangi langkah Mayra. "Apa-apaan kamu, May. Jangan bersikap sembarangan di rumahku!"

Mayra mengangkat wajah. "Siapa yang bersikap sembarangan? Aku hanya ingin bertemu anakku, memangnya nggak boleh? Ingat, Adam! Aku punya hak untuk mengunjungi anakku!"

"Hak, jangan bicara tentang hak setelah kamu meninggalkan Cantika sendirian!"

Mayra menunjuk dada Adam dengan telunjuk, dan membentak. "Aku pergi karena siapa? Harusnya otakmu yang kecil itu bisa berpikir Adam."

"Brengsek!" Adam memaki lalu terdiam saat Dion mengeluarkan surat dari dalam tas hitam.

"Kamu lihat sendiri, ini adalah keputusan sah dari hakim yang memperbolehkan Mayra bertemu anaknya. Kalau kamu menghalangi, berarti menentang hukum!"

Adama memandang Dion sambil menantang. Sedari tadi ia ingin bertanya, siapa laki-laki tinggi dan tampan yang dibawa Mayra ke rumahnya. Apa hubungan mereka? Namun, saat melihat Dion mengeluarkan surat, ia berkeyakinan kalau laki-laki itu adalah pengacara. Tersenyum kecil, Adam berkacak pinggang.

"Kamu pengacara Mayra? Apa kamu tidak tahu kalau dia dianggap tidak mampu mengasih Cantikan? Ibu miskin yang tidak berguna!"

Mayra yang tidak tahan lagi dengan segala perkataan Adam yang ingin menghalanginya mengambil Cantik, maju selangkah dan menginjak keras kaki laki-laki itu. Menggunakan kesempatan saat Adam sedang membungkuk kesakitan, ia berlari ke arah kamar depan dan membukanya. Dugaannya benar, kamar itu digunakan Cantika untuk tidur. Ia menatap tergetar pada anaknya yang tergolek di ranjang dan menghampiri sambil terisak.

"Sayang, ini Mama."

Mayra mengangkat tubuhnya ke atas ranjang, meraih kepala Cantika dan mengusapnya. Ia mendekap anaknya dalam dada dan menangis.

"Cantika, Sayang. Bangun, Nak. Ini mama."

Tidak ada reaksi, Cantika bahkan tidak menggerakan kelopak matanya. Mayra menepuk-nepuk lembut pipi anaknya dan sama sekali tidak bergerak.

**

Cerita lengkapnya di Karyakarsa dan google play book

RetakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang