"Aku tahu apa yang kamu pikirkan," ucap Dion sambil menunjuk Grifin. "Kamu pasti menghitung waktu aku mengenal Mayra bukan?"
Grifin tercengang lalu mengangguk. "Benar, itu yang aku pikirkan. Terlalu singkat, Dion."
"Kamu lupa menghitung waktu pertama kali kami bertemu? Dia melarikan diri dari rumah terkutuk yang membelunggunya."
"Tetap saja, aneh."
"Memang, tapi aku juga ingin secepatnya menikah karena sudah pusing menghadapi kakek. Setiap kali pulang ke rumah, selalu bicara soal Andini. Kamu tahu, Minggu lalu perempuan itu sengaja datang ke rumah, membawa setumpuk hadiah dan Kakek, senang bukan kepalang. Katanya, pernikahan kami akan dipercepat. Aku merasa tercekik seketika. Membayangkan akan menikahi perempuan culas yang hanya menginginkan restoranku!"
Dion mengusap wajah, menghela napas panjang dan menyingkirkan keinginan untuk kembali merokok. Pikirannya sedang kusut, ada banyak beban di hati yang ingin diungkapkan.
"Kenapa Mayra? Dia perempuan tulus. Aku yakin, saat menikah dengannya, bukan hanya aku saja yang akan diurusnya tapi Kakek juga. Rumah kami sepi tanpa Nenek. Andini bukan perempuan tepat untuk mengurus rumah sekaligus restoran. Mayra bisa, aku yakin itu. Bahkan kalau aku nggak ada sekalipun, dia mampu menangani restoran dengan baik. Kurang apa lagi coba?"
Grifin mengangguk, mencoba mengerti kegundahan dan keinginan hati sahabatnya. Tidak ada yang salah dengan keingianannya, kecuali satu yaitu terlalu terburu-buru.
"Kalau memang itu sudah jadi niat, kamu harus mengejar dan meyakinkan Mayra untuk menikahimu. Itu pasti nggak mudah."
"Memang, aku sudah ditolak."
"Kalau begitu, usaha lagi!"
Dion menatap Grifin lalu tertawa. "Apa kamu mendukungku kali ini?"
Grifin mengangkat bahu. "Entahlah, mungkin karena aku tahu kamu nggak ada niat buruk dengan Mayra. Aku hanya ingin kamu bahagia, dengan siapa pun kamu menikah. Kalau memang Mayra pilihan terbaik, kenapa nggak?"
Dion mengepalkan tangan dan mengacungkannya ke udara. "Yes! Aku mendapat satu dukungan. Nanti malam aku akan mengajak Tina minum dan mengatakan hal yang sama. Selama kalian berdua mendukungku, Kakek pasti tidak akan menolak!"
Membujuk Tina jauh lebih sulit dari pada Grifin. Sahabatnya itu menjabarkan banyak hal yang membuat Dion kesal, bahkan berani mengacam nyawanya kalau sampai menyakiti Mayra. Perlu satu botol sampanye, dan obrolan tiga jam lamanya sampai akhirnya Tina setuju.
Setelah itu, Dion terus menerus berusaha membujuk Mayra. Setiap hari ia bertanya pada perempuan itu, apakah sudah memikirkan lamarannya dan jawaban Mayra selalu sama.
"Nggak terpikir, maaf."
Dion tidak putus asa. Ia akan tetap mendekati Mayra sampai perempuan itu setuju untuk menikahinya.
**
Mayra menyusuri jalanan komplek yang pernah akrab dengannya. Penjaga gerbang sudah ganti. Mereka tidak ada yang mengenalinya. Ia menganggukkan kepala pada satu, dua orang yang ditemui di jalan. Napasnya sedikit tersengal, bukan karena berjalan kaki agak jauh dari jalan raya ke komplek tapi karena gugup.
Ia ingin menemui Cantika setelah sekian lama. Keputusan hakim mengatakan ia bebas menemui anaknya kapan saja, asalkan ada ijin. Ia tidak yakin apakah Dira mengijinkannya tapi, sudah selayaknya dicoba.
Berdiri di depan pagar pendek depan rumah yang asri, Mayra merasa waktu kedatangannya sangat tepat. Jam siang begini, banyak penghuni komplek sedang bekerja. Biasanya, saat sore jalanan ramai oleh para penghuni, terutama anak-anak yang bermain. Ia menunggu jam Cantika sudah di rumah sebelum memutuskan datang. Ragu-ragu ia membuka pagar, mengedarkan pandangan ke sekitar yang masih sama dari terakhir ia tinggal di sini. Memencet bel dan menunggu pintu dibuka.
Seorang perempuan berseragam, muncul dari balik pintu dan membentaknya. "Mau apa kamu kemari?"
Mayra terperangah. "Melihat anakku. Di mana dia?"
"Nggak ada!" Pelayan itu berusaha menutup pintu tapi Mayra menghalangi dengan kaki.
"Kamu hanya pelayan. Nggak ada hak kamu melarangku bertemu, Cantika!"
Pelayan itu melotot lalu berteriak. "Nyonya Diraaa! Ada orang gila!"
Dari dalam muncul dua pelayan lagi diikuti Dira. Perempuan yang sedang hamil besar itu berkacak pinggang dan menatap tak percaya pada Mayra yang berdiri di depan pintu rumahnya.,
"Mau apa kamu, perempuan sinting! Berani kamu masuk ke rumahku?"
Mayra mendorong pelayan yang menghangi langkahnya dan berdiri di depan Dira. "Di mana anakku? Aku ingin melihatnya."
Dira mengusap perutnya yang besar. "Anakmu? Cantika? Dia nggak mau ketemu kamu."
"Kamu bohong!" ucap Mayra lantang. "Hakim sudah memutuskan kalau aku bisa datang berkunjung kapan pun aku mau. Kamu nggak bisa melarangku. Cantikaa! Kamu di mana, Nak. Mama datang!"
Dira mengepalkan tangan, dan meminta dua pelayan untuk mendorong Mayra keluar. "Perempuan kurang ajar. Berani beraninya kamu masuk rumah orang tanpa ijin. Buang dia keluar!"
Mayra meronta, dari tangan-tangan yang meraih dan mendorongnya keluar. "Aku mau ketemu anakku. Di mana, Cantika! Sayang, ini mama!" Ia berteriak keras, meyakini kalau anaknya pasti mendengar.
"Sebaiknya kamu pergi kalau nggak mau akum laporin polisi," ancam Dira.
Mayra bersikukuh. "Laporin aja. Aku nggak takut. Aku nggak ada niat jahat, hanya mau ketemu anakku!"
Mayra menjerit saat tubuhnya ditarik dari belakang dan dihempaskan ke lantai teras dengan keras. Tiga pelayan berseragam bekerja sama untuk menghalangi langkahnya menemui Cantika. Ia menatap penuh kebencian pada Dira yang berdiri berkacak pinggang.
"Sebentar lagi kamu akan jadi ibu, tapi tingkahmu sama sekali nggak mencerminkan itu. Apa kamu nggak takut terkena karma, Dira!"
"Halah, banyak omong. Pergi sana, jangan pernah menginjak rumah ini lagi!"
Tepat sebelum pintu hendak menutup, muncul sosok kecil dari dalam. Cantika berlari ke arahnya dan berteriak keras. "Mamaaa!"
"Tutup pintunya. Seret bocah itu masuk. Pukul kalau nggak nurut!" teriak Dira.
"Cantikaa! Sini, Nak. Cantikaa!"
Pintu ditutup dengan keras, dan jari Mayra hampir terjepit. Bayangan terakhir yang dilihat Mayra sebelum pintu itu menutup adalah dua pelayan yang menyeret anaknya. Ia menggedor pintu, memencet bel tak berhenti hingga dua penjaga keamanan datang untuk menghentikannya dan mengusirnya keluar komplek.
Melangkah tersaruk, Mayra tidak hentinya mengutuk Dira. Ia begitu benci dengan perempuan itu hingga ke tulang sunsum. Tiba di gerbang komplek, Mayra mengusap air matanya yang mengucur deras. Ia memanggil ojek online dan kembali ke restoran. Sepanjang jalan, air mata jatuh tak berhenti, memikirkan jerit kesakitan Cantika.
Tiba di restoran, orang yang pertama ditemuinya adalah Dion. Ia masuk ke kantor laki-laki itu, berdiri di depan meja di mana Dion menatapnya tercengang.
"May, ada apa?"
Menghela napas panjang, Mayra berucap gemetar.
"Aku se-setuju menikah denganmu. Asalkan, kamu kembalikan Cantika ke pelukanku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Retak
RomanceKisah Mayra yang jatuh bangun membangun hidup setelah bercerai dari suaminya yang berselingkuh. Ia kehilangan hak waris anak, menuai cacian, dan juga rasa permusuhan dari mantan mertua dan juga teman-temannya, karena dianggap tidak mampu menjaga rum...