Mayra tidak tahu, bagaimana harus mengatakan pada Dion tentang penyakit itu. Belum lagi harus memberitahu sang kakek. Setelah bertangisan dengan Tina selama hampir dua jam, saling memeluk, dengan bercucuran air mata, ia tidak dapat memicingkan mata. Dion sempat terbangun, minum air dan mengeluh lapar. Ia menyuapi dengan bubur yang dibeli Tina. Tidak banyak yang dimakan suaminya, hanya beberapa sendok. Dion kembali terbatuk hebat, suster memberinya obat dan setelah itu suaminya kembali tertidur.
Duduk di kursi samping ranjang, Mayra tidak ingin melepaskan genggaman tangannya pada Dion. Dokter mengatakan banyak hal padanya, tentang umur suaminya yang tidak lagi lama, tentang kangker yang ganas, dan kondisi Dion yang bisa drop setiap saat. Mayra hanya mendengarkan, tidak ingin terlalu pesimis pada keadaan. Dion masih muda, seharusnya Tuhan tidak sekejam itu mengambil nyawanya.
Mengusap punggung tangan Dion, ia berusaha menahan tangis. Dalam keadaan begini, ia harus tegar. Ada kakek, Cantika, dan restoran yang harus diurus. Tidak boleh berpangku tangan, harus berusaha untuk pengobatan suaminya. Berbagai rencana tertanam di otaknya. Ia akan mencari tahu tentang kangker. Akan mencari jurnal medis, dan kalau perlu akan bertanya pada ahlinya. Restoran cukup ramai dan menghasilkan banyak uang, harusnya biaya tidak jadi masalah.
Dion bergerak, tak lama kelopak matanya bergetar terbuka. "May."
Mayra tersenyum. "Aku di sini."
"Kenapa belum tidur?" Suara Dion terdengar sangat lirih.
"Belum ngantuk. Aku lagi mikir juga."
"Mikir apa?"
"Bulan madu kita. Bukannya kamu janji mau bawa aku jalan-jalan sambil bulan madu?"
Dion tersenyum, menatap istrinya yang terlihat kelelahan. Mata Mayra bengkak dan merah. Ia tidak tahu apakah itu karena tangisan atau karena kurang tidur. Membalas remasan jemari Mayra, Dion berucap lirih.
"Kalau nanti aku sembuh, janji akan membawamu bulan madu. Ke tempat mana pun yang kamu inginkan."
Mayra tersenyum kecil. "Kamu janji? Kemanapun?"
"Iya, kemanapun. Kita bisa pergi bertiga dengan Cantika. Dia pasti senang sekali."
Mayra mengangguk, berusaha untuk tidak menangis. Membayangkan bisa berlibur bertiga, tentu akan sangat menyenangkan. Sedari awal, Dion selalu menganggap Cantika seperti anak sendiri. Menyayangi, memenuhi kebutuhannya, bahkan memilihkan sekolah yang bagus dan tidak peduli biayanya. Cantika pun tidak lagi memanggil 'om', berganti 'papa'. Sebuah panggilan yang membuat Dion senang bukan kepalang.
"Cantika, anak papa. Minggu nanti mau jalan-jalan nggak?"
Cantika dengan wajah imut dan menggemaskan, akan mengangguk dan menyambar tangan Dion lalu mengguncangnya. "Mau, Papa."
"Mau main ke mana? Mall atau kebun binatang?"
Dion akan mengabulkan apa pun yang diminta Cantika. Pergi kemanapun yang dimau, membeli boneka dan main lucu, serta mempercantik kamar Cantika dengan dekorasi yang indah. Semua dilakukan Dion untuk Cantika tanpa rasa terpaksa.
Hampir setiap pagi, saat sedang sehat, Dion yang akan mengantar Cantika sekolah. Menggunakan salah satu mobil sedan mewah. Dion menunggu hingga Cantika masuk, baru beranjak pergi. Tidak hanya itu, Dion juga menggaji seorang pengasuh serta sopir pribadi untuk Cantika. Anaknya tidak boleh kemana-mana sendirian, harus ada yang menemani.
"Semoga Adam dan Dira nggak ada niat untuk mengambil Cantika."
Sama seperti Mayra, Dion pun punya ketakutan yang sama. Mereka tidak ingin kehilangan Cantika. Tidak peduli kalau harus menggaji banyak orang, yang terpenting anak mereka selamat.
Sebenarnya, Adam bukannya tidak pernah ingin mengambil Cantika. Dalam beberapa kesempatan, menelepon dan mengirim pesan. Menyatakan ingin sekali bertemu Cantika, tapi Mayra menolaknya. Ia masih trauma, akan kelakukan mantan suaminya. Selama mungkin, ia akan menjauhkan Cantika dari Adam.
Keputusan pengadilan terkait hak asuh Cantika sudah direvisi ulang. Kini, Cantikan berada sepenuhnya dalam pengawasan Mayra dan Dion. Adam hanya boleh menjenguk kalau diijinkan. Dion bahkan sudah membuat rencana masa depan untuk Cantika, seperti sekolah, bahkan universitas.
"Cantika itu cerdas. Sebagai papa, aku akan membimbingnya dengan baik."
Dion akan tertawa lebar dengan wajah berseri-seri setiap kali bermain dengan Cantika. Menenangkan Cantika saat Mayra sedang mengomelinya. Kasih sayang yang ditujukan Dion pada Cantika sangat luar biasa. Mayra bahkan tidak tahu, bagaimana anaknya kelak menghadapi kenyataan kalau papanya sakit parah.
"Memangnya kamu mau kemana, May?"
Suara Dion menarik Mayra dari lamunan. Tersenyum kecil, Mayra menatap langit-langit. Mata Dion yang bersinar penuh harap, membuat hatinya berderak menyakitkan. Ia tidak suka melihat laki-laki yang biasanya bersemangat, menjadi lemah dan berbaring di ranjang tak berdaya.
"Bagaimana kalau Bali?"
Dion mengangguk. "Mudah itu. Kita akan pergi, begitu aku sehat."
Mayra mengecup punggung tangan suaminya. "Kalau begitu, kamu harus sembuh."
"Ngomong-ngomong, apa dokter ada bilang aku sakit apa?"
Mayra menghela napas, tercabik antara ingin bicara jujur atau menutupi. Bagaimanapun, Dion memang harus tahu, tapi entah kenapa ia ingin merahasiakan dulu. Setidaknya, jangan memberitahu Dion malam ini, biar suaminya bisa istirahat dengan tenang.
Mayra menggeleng, dan tersenyum lemah. "Belum, mungkin besok."
"Tumben dokternya lama."
"Lagi sibuk mungkin. Sudah, jangan dipikirkan. Kamu tidur dan istirahat."
"Kamu juga, May. Jangan begadang. Harus jaga kesehatan."
"Aku menunggumu tidur, baru aku tidur juga."
Setelah Dion kembali terlelap, Mayra kembali menangis diam-diam di toilet. Ia seolah tidak sanggup berdiri dan menahan beban lebih lama. Dion adalah orang yang sangat berarti untuknya. Orang yang paling dicintainya setelah Cantika. Kenapa semua harus terjadi, saat mereka baru saja mencapai bahagia.
Damar bahkan menginginkan cicit, Cantika ingin punya adik. Ia sendiri juga ingin punya anak lagi. Semua rencana itu musnah sekarang. Mayra terduduk di lantai kamar mandi dan menangis. Ia menepuk-nepuk dadanya yang seolah terhimpit batu besar. Setelah puas menangis, Mayra berusaha merebahkan diri di sofa dan mencoba tertidur. Tubuh dan otaknya harus diistirahatkan. Hati boleh sedih, tapi apa yang terjadi nanti harus dihadapi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Retak
RomanceKisah Mayra yang jatuh bangun membangun hidup setelah bercerai dari suaminya yang berselingkuh. Ia kehilangan hak waris anak, menuai cacian, dan juga rasa permusuhan dari mantan mertua dan juga teman-temannya, karena dianggap tidak mampu menjaga rum...