Bab 24a

10.7K 1K 46
                                    

Dira berbaring nyalang, menatap langit-langit ruangan. Warna putih yang seharusnya terlihat cerah, tak ubah warna kematian baginya. Ia merasa kalau tirai penutup ranjang, dinding dan atap mengurungnya. Bukan hanya tubuh tapi juga jiwa. Pikiranya tak menentu, dihantui rasa bersalah sekaligus amarah. Ia mengangkat tangan, menatap infus yang masih terpasang di perelangan tangannya. Ada bekas luka sayatan di sana, karena ia mencoba memutus selang infus dengan pisau dan melukai tangannya. Kejadian itu membuat para dokter, Adam, dan orang tuanya beranggapan kalau ia depresi dan perlu untuk dirawat intensif. Pukulan berat karena kehilangan anak, membuat jiwanya terguncang.

Dira mengepalkan tangan, menahan geram. Setengah menangis, mengutuk orang-orang yang telah membuatnya kehilangan anak. Ia benci dengan Adam yang matanya penuh dengan tuduhan soal Cantika, ia menaruh dendam pada Dion dan Mayra. Kalau mereka tidak datang di hari itu, tidak mungkin anaknuya mati.

Dira mengusap perutnya yang kempes, menahan air mata di kelopak. Anak itu baik-baik saja seminggu yang lalu, suka menendang, dan membuatnya meringis kesakitan, tapi ia menyukai sensasi itu. Kini, tidak ada lagi yang membuat tubuhnya susah bergerak. Tidak ada lagi denyut nadi di dalam perutnya. Semua musnah dan hilang, mati terbawa angin.

"Anak kita laki-laki, sebelum dimakamkan, aku memberinya nama sesuai permintaanmu, Lucky. Nama yang membawa keberuntungan."

Adama berkata lembut, sambil meremas jemarinya setelah pulang dari kuburan. Tubuh Lucky yang mungil dan kecil, harus dikubur di dalam tanah yang dingin dan kotor. Pikiran Dira menolak kenyataan itu.

"Jangan menangis, jangan sedih. Lucky sudah tenang, Sayang."

Dira menggeleng kencang, tidak peduli apa pun yang dikatakan Adam, ia menolak untuk percaya kalau anaknya sudah terkubur dengan tenang. Batinnya tersiksa, air susu yang mengucur deras, membuat dadanya kesakitan. Pada akhirnya, ia hanya bisa menjerit dan menangis.

"Kamu masih muda, masih bisa punya anak lagi. Jangan terlalu bersedih." Mamanya menghibur dengan suara lembut, Dira mengabaikannya.

"Papa senang kalau anakmu lahir dengan selamat, bagaimanapun itu cucu laki-laki. Tapi, takdir berkata lain Dira. Jangan bersedih terus menerus, kamu harus bangkit." Perkataan sang papa tidak mampu membuatnya terhibur. Ia memaki dunia dan seisinya, berharap semua orang tenggelam dalam penderitaan yang sama sepertinya.

Dira bergerak, dan berusaha bangkit dari tempat tidur saat pintu terbuka. Adam masuk dengan bungkusan di tangan. Tersenyum menatap istrinya.

"Kamu sudah bangun, Sayang? Pastil apar, aku bawa nasi ayam kesukaanmu."'

Dira tidak menjawab, hanya menatap Adam yang kini membuka kotak nasi dan memperlihatkan isinya.

"Lihat, enak'kan? Mau aku suapi?"

Dira menggeleng. "Sebaiknya kamu makan di luar. Aku eneg sama baunya."

Senyum Adam menghilang dari bibir. Ia menutup kotak, dan memasukkan ke dalam kantong plastik. "Kamu belum makan apapun selama beberapa hari. Hanya bubur dari rumah sakit. Mana enak?"

"Enak saja. Lagian, untuk apa aku makan banyak-banyak, toh nggak butuh nutrisi. Asi ngucur tiap hari juga nggak ada yang minum."

Adam menghela napas panjang, menatap istrinya dengan prihatin. Ia duduk di tepi ranjang, meraih jemari sang istri dan buru-buru dilepaskan saat Dira menepiskannya. Sang istri menolak sentuhannya.

"Kamu kenapa? Masih sedih soal Lucky? Seperti yang dibilang dokter, masih banyak waktu dan kesempatan kita untuk punya anak lagi."

Dira melotot, matanya yang merah terlihat membara, penuh dengan kemarahan. "Apa katamu? Kita masih punya banyak kesempatan untuk punya anak lagi?" desisnya marah.

Adam mengangguk. "Iya, Sayang. Masih banyak kesempatan."

"Menurutmu, aku masih ingin hamil lagi? Setelah kehilangan Lucky, menurutmu aku masih ingin punya anak lagi?"

"Kenapa, nggak? Kalau memang Tuhan mengijinkan."

"JANGAN BICARA SOAL TUHAN PADAKU!"

Dira berteriak dan membuat Adam terlonjak dari kursi. Dira meraih bantal, selimut, botol obat-obatan, dan apa pun yang terjangkau oleh tangannya lalu melemparkannya begitu saja ke lantai.

"KALIAN SEMUA, SUDAH MEMBUATKU KEHILANGAN ANAK. AKU PASTIKAN, KALIAN AKAN MEMBAYARNYAA!"

Tanpa perlu diberitahu, Adam sudah tahu siapa yang sedang dimaki oleh istrinya. Ia hanya terdiam, membiarkan Dira melampiaskan marahanya. Selama tidak menyakiti diri sendiri, ia merasa tidak ada yang perlu dikuatirkan. Dira sedang stress dan tertekan, akan lebih baik membiarkannya mengeluarkan uneg-uneg dan kemarahan.

Istrinya menumpahkan kegeramannya pada Mayra dan Dion. Ia tidak masalah, selama segala sesuatu bukan ditujukan padanya. Dira berhak mengamuk, dan ia hanya perlu menunggu sampai gejolak emosi istrinya mereda sebelum kembali mengajaknya bicara.

"Kenapa kamu diam saja?" Dira membentak dengan napas tersengal. Kamar ruang rawat sangat berantakan dengan berbagai barang berserak di lantai. Adam tidak bergerak hanya mengamati apa yang dilakukannya dalam diam. Itu makin membuat Dira kesal.

"Kamu sedang marah, sedang kesal. Untuk apa aku ikut campur, yang terpenting kamu merasa lega, Sayang."

Dira menutup wajah lalu menangis tersengal-sengal. Adam hanya diam, menyimpan kelelahan dalam dirinya. Ia lelah secara mental, diserang semua anggota keluarga Dira dan dianggap sebagai suami yang tidak becus menjaga istri. Ia juga merasa sangat lelah secara fisik. Pekerjaan di kantor tidak kunjung habis, dan masalah bertubi-tubi datang. Dalam kelelahan ganda, ia masih harus menghadapi kemarahan Dira, Adam merasa lebih baik bersikap masa bodo, dari pada menjadi gila.

**

Rumah mereka kedatangan tamu, adik tiri Dion dari pihak sang papa. Berpaut umur hanya dua tahun dari Dion, pemuda itu bersikap seakan dirinya paling tua. Bersikap arogan dan angkuh, Peter menatap sekeliling dengan pandangan meremehkan. Terlebih saat melihat Mayra, ketidaksukaan terlihat jelas di wajahnya.

Mayra mengabaikannya, tetap duduk di samping suaminya yang sedang makan cemilan. Di ruang keluarga itu, ada si kakek. Cantika sedang tidur siang di kamarnya.

Peter menatap Dion dan Mayra bergantian, duduk menyilangkang kaki dengan senyum kecil. "Meninggalkan Andini hanya untuk menikahi janda anak satu, aku merasa otakmu sudah konslet, Kak!"

"Peter! Jaga bicaramu!" bentak Damar. Laki-laki tua itu menuding cucunya dengan marah. "Kalau kamu nggak bisa jaga ucapan, lebih baik kamu pergi sekarang!"

Peter mengangkat bahu, menatap kakeknya sambil tersenyum. "Aku ngomong kenyataan, Kek. Lagian, nggak dibantah juga sama mereka." Ia menunjuk Dion dan Mayra yang duduk berdampingan dengan tenang. "Kenapa nggak dibantah? Karena omonganku benar. Apa Kakek tahu kalau orang-orang di luar menertawakan mereka? Terutama Kak Dion. Laki-laki muda, tampan, dan pebisnis, jatuh cinta dengan janda miskin. Sepertinya, Cinderela memang ada di kehidupan nyata."

Dion menatap adiknya dengan pandangan tidak peduli. Sebenarnya, ia enggan harus meladeni Peter. Ia tidak terlalu suka bicara dengan saudara-saudara tirinya, baik yang laki-laki maupun yang perempuan. Mereka rata-rata dididik dengan cara yang sama, hanya melihat strata sosial serta harta.

"Kalau kamu datang kemari untuk menghina istriku, lebih baik kamu pergi sekarang!" usir Dion dengan ucapan dingin.

Peter mengangkat sebelah alis. "Aku datang untuk bicara hal lain."

"Kalau begitu cepat ngomong. Aku dan istriku sedang sibuk, dalam satu jam kami harus ke restoran."

Damar melambaikan tangan. "Dion benar, mereka suami istri sangat sibuk. Kalau kamu nggak ada perlu penting, lebih baik pergi sekarang Peter."'
.
.
.
.
.
 
Terima kasih bagi yang sudah memesan buku ini

RetakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang