Adam berteriak dan mengamuk, saat mendapati istrinya tidak ada di rumah. Ia mencari ke sekeliling rumah, bertanya pada tetangga, tapi tak satu pun yang melihat. Mendapati ada tangga mengarah ke dinding belakang, ia menyadari kebodohannya. Tidak memperhitungkan keberanian Mayra yang akan melarikan diri dengan melompati tembok.
Ia bertanya pada pemilik rumah yang berada tepat di belakangnya. Tentang kemungkinan mereka melihat Mayra dan dibenarkan oleh salah seorang penghuni.
"Kami nggak tahu yang malam itu masuk ke pekarangan seorang laki-laki atau perempuan, karena suasana gelap. Tapi, kami yang ketakutan meneriakinya maling."
"Lalu?"
"Dia lari ke depan, beberapa warga mengejar dan kehilang jejak. Mas bisa tanya sama penjaga komplek, mungkin ada lihat."
Sesuai intruksi pemilik rumah, Adam bergegas ke arah penjaga komplek dan mendapati kenyataan yang membuatnya kaget sekaligus bingung.
"Seorang peremuan cantik, memang lari keluar dari dalam komplek. Kami nggak sempat tanya karena dia lari ke arah jalan raya dan naas, Mas."
"Naas kenapa?"
"Tertabrak mobil."
"Apaa?"
"Iya, tertabrak mobil."
Adam yang shock meraih krah seragam laki-laki itu dan berbisik. "Kamu berbohong'kan?"
Si penjaga menyentakkan lehernya dari cengkeraman Adam. Menatap marah pada laki-laki yang ia anggap kurang ajar itu.
"Situ nanya, kita udah jawab. Malah ngamuk. Kalau mau tahu, cari aja di rumah sakit terdekat. Dia dibawa sama yang nabrak!"
Adam mengeloyor ke arah jalan besar dengan wajah menyiratkan rasa sedih dan marah. Tidak peduli pada omongan orang-orang di belakangnya.
"Lagian, jadi laki gimana? Istrinya kabur nggak tahu."
"Gimana nggak kabur jadi istri, dia aja temperamental."
Adam mengabaikan cibiran mereka. Ia mengakui memang tidak becus jadi suami, sampai membiarkan istrinya kabur dari rumah. Harusnya, ia mengunci semua pintu dan jendela, kalau perlu memakunya agar Mayra tidak bisa kabur. Sekarang, kejadian seperti ini siapa yang harus disalahkan.
Demi memuaskan rasa penasaran, ia bertanya pada para tukang ojek serta preman yang nongkrong di pinggir jalan, tentang kecelakaan yang disebut para penjaga komplek dan jawaban mereka membuatnya gemetar makin dalam.
"Emang bener ada kecelakaan. Parah, si cewek sampai darah-darah."
"Untung yang nabrak tanggung jawab, dibawa ke rumah sakit."
"Hooh, salah si cewek juga. Nyebrang nggak lihat-lihat."
Sudah cukup bagi Adam mencari informasi. Ia pulang dengan langkah gontai, membayangkan tidak ada lagi Mayra yang akan menunggunya di rumah.
Beberapa waktu ini mereka selalu bertengkar setiap kali bertemu. Itu karena Mayra sangat keras kepala dan tidak mau mendengarkannya. Padahal, yang ia minta dan yang dilakukannya semua untuk kebaikan keluarga. Kalau ia menikahi Dira, mendapat jabatan yang lebih tinggi, secara otomatis penghasilannya akan lebih banyak. Bukankah itu bagus bagi Mayra, tidak perlu repot-repot lagi mencari uang. Kenapa hal sepele seperti itu, istrinya tidak mengerti.
Duduk di sofa dengan wajah ditekuk, Adam tidak dapat menahan tangis. Terutama saat melihat pigura berisi foto pernikahan mereka yang retak. Rumah terasa sepi, dan berantakan tanpa Mayra. Ia tidak tahu, bagaimana harus menjelaskan pada Cantika, kalau anak itu bertanya di mana sang mama.
Berbagai kenangan berkelebat dalam ingatannya, tentang masa-masa pacaran dengan Mayra. Saat mereka memutuskan untuk menikah, dan kala tahu Mayra hamil. Rasa bahagianya tidak tertahankan. Segala rencana terbentuk di otaknya, meski keadaan ternyata membuat mereka harus bersikap realistis.
"Biaya cicilan rumah ini tinggi, belum lagi mobil, dan juga kebutuhan Cantika. Aku maunya kamu ikut kerja, Mayra. Tapi, kasihan anak kita kalau nggak ada yang rawat. Uang bisa dicari."
Waktu itu ia membujuk istrinya untuk tidak bekerja dan sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga. Mayra awalnya menolak, sampai akhirnya ia terus membujuk dan menekan. Mayra akhirnya menyerah dan rela meninggalkan pekerjaan dengan gaji yang lumayan demi merawaty Cantika.
Saat itulah ia berkenalan dengan Dira. Anak boss perusahaan yang cantik dan angkuh. Awalnya, Dira sangat memandang remeh padanya. Perempuan itu melihatnya seperti seonggok kotoran di wajah yang mengganggu dan dan harus dihilangkan. Sampai suatu hari, Adam membantunya dari percobaan pemerkosaan oleh klien mereka. Setelah itu, lambat laun sikap Dira padanya berubah.
"Aku menyukaimu, Adam. Baru kali ini aku jatuh cinta dengan pekerja kantorku."
"Maaf, aku sudah menikah," tolaknya.
"Memangnya kenapa kalau kamu sudah menikah? Aku nggak peduli, asalkan kamu mau sama aku."
Dira, yang selalu mendapatkan semua keinginannya, mendekati dan merayunya tanpa ampun. Tidak memberinya ruang untuk bernapas. Hingga pada suatu hari, dalam keadaan mabuk mereka berhubungan badan di hotel. Setelah itu, Adama yang di satu sisi dirundung rasa bersalah pada Mayra, terus menghujani istrinya dengan hadiah. Di sisi yang lain, ia tidak bisa lepas dari jeratan Dira yang memabukkan.
"Kalau kamu nikah sama aku, jangankan jadi manajer, mau jabatan apa juga bisa. Masa, iya, suamiku hanya wakil manajer. Bayangkan, apa saja yang bisa kamu dapatkan dari aku, bukan hanya jabatan, tapi juga penambahan penghasilan, dan kekuasaan."
Iming-iming kekuasaan dan harta mnembuat Adam luluh. Akhirnya menyerah sepenuhnya dalam dekapan Dira dan lambat laun melupakan Mayra yang sudah menemaninya dari nol. Kini, Mayra menghilang, Adam tidak tahu apakah istrinya masih hidup atau tidak. Tertunduk menyesali diri, Adam menggumamkan nama istrinya.
"Mayra, kamu di mana. Pulanglah, Cantika menunggumu."
Suaranya bergaung di rumah yang kosong dan mulai berdebu.
**
"Sepertinya kamu sudah sehat."
"Iya, cukup sehat untuk jalan jalan."
"Bagus, pemulihanmu cukup cepat."
Dion mengajak Mayra bicara di taman. Setelah sepuluh hari dirawat, kondisi Mayra makin membaik. Dion juga sangat perhatian dengan datang hampir tiap hari membawa makanan dan juga membayar obat-obatan.
Dion menawari Mayra ke taman tapi ditolak karena tidak mau merepotkan. Dion memaksa, mengambil kursi roda dan mendudukkan Mayra di atasnya.
"Nikmati saja perjalanan ke taman, lorongnya nggak banyak orang."
Benar yang dikatakan Dion, karena rumah sakit yang ditempatinya merupakan tempat rawat yang cukup mahal, tidak banyak orang yang berlalu lalang di lorong. Mayra membiarkan Dion mendorongnya setelah sebelumnya mencoba menolak dan kalah.
Bunyi roda bergema di lorong yang berlantai keramik putih. Di samping lorong ada tamanan perdu yang dirawat rapi. Di ujung ada minimarket, dan juga toko roti. Mayra teringat akan puding yang pernah dibawa Dion untuknya. Enak, lembut, dengan rasa coklat yang menggelitik di lidah. Ia menyukainya.
"Mayra, boleh aku tanya sesuatu yang pribadi?"
Dion menghentikan kursi roda di pinggir taman. Ada halaman berumput yang cukup luas, di mana ada beberapa pasien yang juga keluar kamar dengan perawat atau anggota keluarga mereka.
"Mau tanya apa?" Mayra tersenyum. Merapikan rambutnya yang acak-acakan karena angin.
"Apa kamu sudah menikah?"
Jemari Mayra berhenti di dahi. Dion menatap tajam ke arahnya, dan ia menjawab lembut.
"Sudah, anak satu perempuan empat tahun. Namanya Cantika."
"Cantika? Nama yang bagus."
Mayra menerawang, menatap awan yang berarak. Sedikit mengernyit, menahan panas. Ia menyukai angin yang bertiup menerpa tubuhnya dan memberikan kesegaran. Jenuh terus menerus berada di kamar dengan aroma obat yang menyengat, taman adalah tempat yang baik untuk duduk dan bersantai.
**
Di Karyakarsa bab 19-22 sudah update
KAMU SEDANG MEMBACA
Retak
RomanceKisah Mayra yang jatuh bangun membangun hidup setelah bercerai dari suaminya yang berselingkuh. Ia kehilangan hak waris anak, menuai cacian, dan juga rasa permusuhan dari mantan mertua dan juga teman-temannya, karena dianggap tidak mampu menjaga rum...