Bab 12b

8.3K 980 20
                                    

Mayra menggeleng, mengusap bahu Nirmala dan mendesah saat tangannya ditepis keras. Sepertinya, memberi nasihat dengan cara keras, tidak mempan untuk Nirmala yang sedang dimabuk cinta.

"Nggak ada yang salah kalau kamu jatuh cinta dan ingin dicintai. Kamu manusia dan perempuan yang normal. Masalahnya, carilah laki-laki baik yang nggak hanya ngincar tubuh kamu. Laki-laki yang bisa buat damping masa depan dan anak kamu, Nirmala."

"Kamu nggak ngerti, May. Toro itu tulus. Soal kerjaan, dia lagi cari."

"Nggak ada laki-laki tulus yang berani ngajak perempuan mesum di gang gelap!"

Nirmala mengepalkan tangan. Gairah yang tercipta saat bersama Toro, musnah karena kedatangan Mayra. Rasa kesal dan marah mendesak keluar dari dalam dada. Semua karena Mayra yang menurutnya sangat sok suci.

"Kita berteman, bukan berarti kamu bebas mengaturku, May. Lebih baik, kita urus diri kita masing-masing."

Mayra tetap duduk di kursi rotan, sementara Nirmala bergegas masuk. Ia masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Bagaimana mungkin sahabatnya itu bisa buta oleh cinta? Toro memang single, tapi perempuan normal tahu bagaimana sikap laki-laki itu. Toro itu difinisi laki-laki mengesalkan. Sudah pengangguran, banyak gaya, dan genit lagi. Nirmala tidak tahu kalau Toro selalu menggodanya, setiap kali mereka bertemu. Rasa jijiklah yang menghalanginya untuk tidak memukul laki-laki itu.

Terdiam dia atas kursi, diselimuti kegelapan, Mayra berdoa semoga Nirmala terbuka pintu hatinya. Tidak jatuh dalam pelukan Toro yang kurang ajar itu.

Malam itu, Mayra tidur dengan gelisah. Perdebatan dan pertengkarannya dengan Nirmala membuat hatinya tidak enak. Pagi-pagi buta, begitu matahari muncul, ia bergegas mandi dan berangkat ke restoran tanpa menunggu Nirmala. Saat kacau begini, akan lebih menenangkan kalau ada di dapur.

Penjaga keamanan membantunya membuka gerbang. Ia menuju ke dapur, mengganti pakaian dan memakai celemek. Hari ini ada lontong istimewa. Ia memesan daun pisang pada tukang sayur langganan dan meminta diantar sepagi mungkin.

Pukul delapan, berbagai daging, sayuran, dan bahan lauk lainnya diantar oleh mobil. Mayra memeriksa dan mencatat. Meminta bantuan mereka membawa bahan-bahan itu ke dapur. Ia mencuci beras, dan mulai membuat lontong. Sambil merebus, ia membuat sarapan untuk dirinya sendiri, berupa mie goreng telur dan menyeduh kopi. Ia sedang menikmati sarapan di meja samping, saat sebuah sedan melaju masuk ke halaman.

"May, pagi amat kamu datang!"

Dion muncul, bersama seorang laki-laki tua yang Mayra tebak adalah sang kakek. Ia bangkit dari kursi dan mengangguk ramah.

"Selamat pagi. Sudah sarapan?"

Dion menggeleng. "Enak sekali sarapanmu."

"Hanya mi goreng."

Damar mengendus udara, menatap mie goreng yang menggugah selera. Ia tidak sampan makan saat buru-buru kemari.

"Kamu, koki baru?" tanyanya.

Mayra mengangguk. "Iya, Pak."

"Siapa namamu?"

"Mayra."

"Mayra, buatkan aku mi goreng yang sama persis denganmu. Tambahan telur ceplok setengah matang satu."

"Sama, aku juga mau. Tapi, kamu habiskan sarapanmu dulu, kami bisa menunggu."

Mayra makan dengan tidak tenang, dengan dua orang sedang menunggunya. Ia menyuap dan mengunyah cepat, hampir tersedak karenanya. Untung saja Dion dan kakeknya sedang memeriksa gudang belakang dan tidak melihatnya sedang gugup. Menyelesaikan makan dalam waktu relative singkat, Mayra bergegas ke dapur. Menambah air ke panci besar yang sedang merebus lontong, lalu menyiapkan dua porsi mie goreng. Tak lupa, ia membuat air jahe hangat untuk mereka.

"Silakan, Pak."

Damar menatap mi goreng yang ditata indah di piring putih besar, dengan minuman yang menguarkan aroma jahe.

"Wedang jahe?" tanyanya sambil menunjuk gelas.

"Iya, Pak. Pagi-pagi, biar perut hangat."

Damar meraih gelas dan menyesapnya, merasakan kehangatan di mulut dan tenggorokannya.

"Aku suka weddang jahe buatan Mayra, Kek. Biasanya, kalau aku lagi batuk Mayra suka buatin," ucap Dion sambil minum bagiannya sendiri.

Damar mengangguk setuju. "Memang enak. Sekarang aku mau coba mi-nya."

"Silakan, makan. Saya ke dapur dulu."

Dion menggeleng. "Ngapain kamu di dapur pagi-pagi begini? Restoran buka jam 11, May."

"Lagi bikin lontong. Takut gosong."

"Ya sudah, tambah airnya lalu balik lagi ke sini."

"Mau ngapaian?"

"Temani aku sarapanlah."

Mayra menatap tercengang pada Dion yang sedikit memaksa. Ia menggeleng keras. "Sarapan aja yang bener. Habisin, awal kalau nggak. Aku sibuk!"

"May, pergi gitu aja. Aku belum selesai ngomong!"

Mayra tidak mengindahkan panggilan Dion, melangkah cepat menuju dapur. Damar mengamati dalam diam, interaksi antara cucunya dan koki baru di restoran ini. Sikap mereka sangat akrab satu sama lain, layaknya teman dan bukan seperti boss dengan karyawannya. Sikap Dion yang begitu ramah, tidak biasanya.

Damar hanya tahu dua teman Dion, yaitu Grifin dan Tina. Selain itu, cucunya tidak pernah beramah tamah dengan orang lain, terutama kalau tidak ada urusan.

"Kalian akrab," ucapnya pelan. Mencecap mi goreng dan mengakui rasanya.

Dion mengangguk. "Memang. Mayra itu perempuan super dengan talenta masak yang luar biasa. Gimana kalau aku nikah sama dia aja, Kek."

Damar tersedak dan terbatuk-batuk. Dion mengusap punggung sang kakek dengan cemas. "Makan pelan-pelan, Kek. Kok bisa tersedak?"

Damar mengehela napas panjang dan memukul bahu cucunya. "Ini karena kamu bikin aku kaget."

"Loh, kok kaget? Bukannya Kakek mau aku nikah? Aku udah temukan calon yang tepat, Kek. Mayra bukan hanya bisa jadi istri tapi juga patner untuk mengurus restoran ini."

"Tidak bisa! Kamu harus menikah dengan Andini!"

"Nggak sudi! Mayra jauh lebih baik dari perempuan licik itu!"

"Oh, kamu mau menentang Kakek? Mau aku cabut warisanmu?"

Dion merangkul bahu sang kakek dan berbisik lembut. "Kek, kalau jatuh cinta, hartapun serasa nggak ada artinya."

"Dasar cucu kurang ajar!"

Teriakan Damar menggema di restoran yang sepi.

**

Di Karyakarsa udah bab 48

RetakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang