Bab 4a

11K 1.1K 77
                                    

"Kamu nggak nyuruh aku masuk?"

Mayra mengerjap, menyingkir dari tengah pintu. "Silakan."

Dira melenggang masuk, mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu yang bersih. Meskipun tidak terlalu besar tapi nyaman, dengan sofa dan bantal-bantal lembut. Ia tidak dapat menahan senyum saat melihat foto pernikahan dengan pigura pecah disandarkan ke dinding. Tidak perlu bertanya apa yang terjadi, pastinya bukan sesuatu yang bagus dan menimbulkan perdebatan. Duduk di sofa tanpa dipersilakan lebih dulu, Dira menatap Mayra yang berdiri kaku di dekat pintu.

"Duduk! Kita bicara. Kenapa kamu berdiri di situ?"

Cara bicaranya yang memerintah membuat Mayra kesal. Ini rumahnya tapi perempuan itu bersikap seolah pemiliknya. Ia tetap berdiri, menolak untuk tunduk.

"Ada apa kamu kemari?" tanyanya tegas.

Dira tersenyum, menjentikkan kukunya. "Aku mendengar dari Mas Adam kalau kamu menolak untuk dimadu, kenapa?"

Mayra mengernyit. "Pertanyaanmu itu, sungguh nggak tahu malu. Kenapa kulit wajahmu tebal sekali?"

Senyum lenyap dari wajah Dira. Ia menaikkan sebelah kaki, menatap Mayra dari atas ke bawah dengan pandangan meremehkan yang terang-terangan. "Jangan sok keras. Kamu hanya perempuan yatim piatu miskin yang dinikahi Mas Adam karena rasa kasihan. Sungguh disayangkan bukan. Kebaikan hatinya kamu balas dengan sikap nggak tahu diri!"

"Kalau kamu datang untuk menceramahiku, sebaiknya kamu pulang. Aku sudah ngasih tahu Mas Adam, setuju untuk bercerai. Kenapa kalian harus membuatnya lebih rumit?"

Dira kembali tersenyum, menyandarkan tubuhnya pada sofa. Bersikap seakan sedang di rumahnya sendiri. Mau tidak mau ia mengakui kalau Mayra pintar dalam melakukan pekerjaan rumah tangga. Ruang tamu ini bukan hanya rapi tapi juga sangat bersih. Sama sekali tidak ada debu yang menempel di permukaan meja atau kaca. Ia yakin, di bagian dalam rumah pun sama. Sayangnya, rumah ini terlalu kecil untuknya. Ia lebih suka tinggal di rumahnya yang sekarang, lebih besar dan mewah dengan pelayan yang setiap saat melayaninya.

"Kenapa aku harus ceramah? Itu buang-buang tenaga. Aku cuma bilang, kamu sebaiknya lebih tahu diri. Aku dan Mas Adam baik sama kamu. Nggak mau kamu jadi gelandangan di jalan. Tapi, kamunya yang nggak tahu diri."

"Aku nggak butuh bantuan kalian. Itu sama saja kayak penghinaan buat aku."

"Itu hanya menurutmu. Susah kalau orang miskin memang, yang dipikirkan cuma rasa rendah diri. Heran aku, kenapa Mas Adam yang baik gitu bisa jatuh cinta sama perempuan nggak tahu diri macam kamu." Dira mengusap perutnya yang sama sekali belum menunjukkan tanda-tanda kehamilan. "Amit-amit jabang bayi. Nak, kalau kamu nanti sudah gede, jangan kayak orang ini."

Mayra menghela napas panjang, berusaha meredakan hati dan kepalanya yang panas karena amarah. Ia tidak tahu apa yang salah dengan sekitarnya. Ia diselingkuhi, dikhianati, tapi semua orang justru bersatu untuk menentangnya.

Ia mengamati penampilan Dira. Lebih muda darinya mungkin dua atau tiga tahun. Berkulit putih dengan wajah yang cukup cantik. Dira juga berasal dari keluarga kaya, yang membuat sikapnya angkuh dan menyebalkan.

"Kamu cantik dan masih muda. Aku nggak ngerti kenapa kamu mudah saja menyerahkan tubuh pada laki-laki yang sudah menikah. Apa nggak ada laki-laki lain di dunia?"

Perkataan Mayra sama sekali tidak membuat Dira marah, justru sebaliknya. Perempuan itu tersenyum sambil mengangkat bahu. "Apa salahnya dengan mencintai suami orang? Toh, Mas Adam juga mau sama aku. Justru kamu harusnya introkpeksi. Kenapa Mas Adam tergoda sama aku. Tapi, harusnya nggak usah mikir juga tahu. Mana ada orang yang bisa nolak aku? Semua laki-laki di dunia, pasti lebih milih aku yang muda, cantik, dan kaya, dari pada kamu, perempuan gembel!"

Mayra menahan amarah yang menggelegak, kalau tidak ingat Dira sedang hamil, ia tergoda untuk memukul perempuan itu. Tapi, bukan sifanya menjadi keras dan kejam. Ia tidak akan mengotori tangannya dengan amarah orang lain. Ia terlonjak saat terdengar suara kendaraan mendekat, membuka pintu lebar-lebar, Mayra menyilakan Dira pergi.

"Pergi, anakku sudah pulang. Aku nggak mau dia lihat pertengkaran kita."

Dira mendengkus. "Nggak ada yang bertengkar, kamu aja yang bego!"

"Pergi! Jangan sampai aku mendorongmu keluar. Ingat, aku nggak pernah menjadi pesuruhmu dan Adam. Aku akan mencari jalan hidupku sendiri."

Dira bangkit dari sofa, tersenyum sinis. "Perempuan sok! Jangan sampai harga dirimu yang tinggi, membuatmu terperosok dalam lubang selokan. Mati karena kelaparan."

"Lebih baik aku mati kelaparan dari pada menerima penghinaan kalian," bisik Mayra.

Terdengar langkah kaki berlari, Mayra mengubah wajah kesal menjadi senyuman.

"Mamaaa!"

Cantika muncul dengan seragam PAUD merah muda yang lucu. Wajah cantik dengan bola mata besar terlihat menggemaskan.

"Sayang, kamu sudah pulang? Senang di sekolah?" tanya Mayra.

Cantika mengangguk. "Senang, Mama. Banyak teman." Gadis itu mengangkat wajah dan menatap Dira yang berdiri di dekat pintu. "Tante ini siapa, Ma?"

Terlambat bagi Mayra untuk menyingkirkan anaknya dari hadapan Dira. Perempuan itu mengusap rambut Cantika dengan senyum tersungging.

"Ini Tante Dira, Sayang. Kamu cantik sekali. Nanti, tinggal sama Tante di rumah yang besaaar, ya?"

Mata Cantika terbelalak. "Tinggal sama Tante?"

Dira mengangguk. "Iya ...."

"Mama ikut?"

"Ehm, itu belum tahu."

"Pergi!" bentak Mayra. "Jangan bicara omong kosong sama anakku."

Dira menatap tajam, dan mendesiskan acaman. "Kita lihat nanti, siapa yang akan memiliki Mas Adam dan juga Cantika. Aku akan pastikan, kamu nggak punya apa-apa lagi, perempuan gembel!"

Sekali lagi, pintu luka di hati Mayra terbuka. Memberikan lebih banyak rasa sakit, dan membuat dadanya sesak. Ia hanya bisa diam menerima penghinaan, demi anaknya yang tidak berdosa.

Malamnya, Yuna datang. Dengan sedikit memaksa, mengajak Cantika menginap di rumahnya. Mayra mati-matian menolak tapi Yuna keras kepala.

"Dia cucuku, aku berhak mengasuhnya."

Adam datang melerai pertikaan dan akhirnya, Yuna bisa membawa Cantika pergi. Mayra tidak dapat menahan rasa marah tapi takut untuk mendekati Adam. Luka-lukanya karena pukulan dan aniaya laki-laki itu belum sembuh, ia tidak ingin terjadi lagi penghinaan itu.

"Tadi siang selingkuhanmu datang kemari. Marah-marah dan menghinaku. Sekarang, mamamu datang untuk mengambil anakku. Kenapa? Kalian nggak kasih aku hidup tenang?"

"Kamu istriku, Cantika anakku, memangnya salah kalau mamaku ingin membawa cucunya pergi?"

Mayra menghela napas lalu menggeleng. "Nggak, mereka boleh membawa Cantika pergi. Tapi, nggak malam malam begini. Bisa besok pagi."

Adam berdecak keras, menatap Mayra dengan tatapan tidak percaya. "Mulai kapan kamu gini, May? Penuh curiga, nggak mau ngalah, nggak logis."

"Apa perlu tanya? Tentu saja semenjak aku nggak lagi jadi istri kamu!" sentak Mayra. "Kamu tahu kalau selingkuhanmu datang hari ini? Berpura-pura baik dan menawariku untuk menjadi madu kalian? Sungguh luar biasa, laki-laki dan perempuan sama saja ternyata. Sama brengseknya!"

Mayra menjerit saat Adam melayangkan pukulan di pipinya. Ia terhuyung dan nyaris terjatuh tapi Adam mencengkeram lengannya kuat.

RetakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang